Site icon Borneo Review

Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kotawaringin Timur Menurun, Warga Diminta Tetap Waspada

Ilustrasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Balangan

Ilustrasi Kebakaran Hutan dan Lahan. (Ant)

BANJARBARU, borneoreview.co – Potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) mengalami penurunan signifikan. Potensi kebakaran hutan dan lahan menurun setelah hujan mengguyur daerah tersebut selama beberapa hari terakhir.

Informasi ini disampaikan oleh Rahmat Wahidin Abdi, Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Haji Asan Sampit, pada Sabtu (3/8).

Menurut Abdi, curah hujan yang terjadi sejak Rabu (31/7) dengan intensitas ringan hingga lebat, telah meningkatkan kelembaban tanah di seluruh wilayah Kotim.

“Sebab hujan meningkatkan kelembaban tanah, hingga pada akhirnya mengurangi potensi terjadinya kebakaran,” jelasnya.

Meskipun demikian, Abdi mengingatkan bahwa Kotim masih berada dalam fase peralihan musim, yang sering disebut musim pancaroba. Fase ini ditandai dengan curah hujan yang tiba-tiba dan sering disertai angin kencang. Pada saat ini, arah angin yang berubah-ubah membuat prediksi cuaca menjadi sulit, meskipun puncak musim kemarau diperkirakan baru akan terjadi pada Agustus.

Sejak awal Juli, kasus karhutla di Kotim mulai meningkat. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, sejak status siaga darurat bencana karhutla ditetapkan pada 4 Juli hingga 10 Oktober 2024, telah terjadi setidaknya 21 kejadian karhutla di wilayah Kotim.

Namun, dengan kondisi cuaca yang kini menunjukkan adanya peningkatan kelembaban tanah, peta potensi kebakaran di wilayah Kalimantan Tengah kini berada pada tingkat aman dan tidak mudah terbakar. Meski demikian, masyarakat tetap diimbau untuk waspada dan berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya karhutla, terutama karena sebagian besar wilayah Kotim merupakan lahan gambut yang rentan terbakar saat musim kemarau.

Abdi juga menjelaskan bahwa pada 2023 terjadi fenomena El Nino aktif sehingga memperkuat dampak musim kemarau. Sedangkan tahun ini, musim kemarau diperkirakan akan lebih pendek dan dengan tingkat kekeringan yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

“Jadi, kalau musim kemarau dipadukan dengan La Nina akan terjadi suatu kondisi yang orang awam biasanya menyebutnya sebagai kemarau basah, meskipun musim kemarau tetap ada hujan,” pungkasnya.

Sebagai informasi, l Nino dan La Nina adalah dua fase dari siklus iklim ENSO yang memengaruhi cuaca global. El Nino ditandai oleh pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tengah dan timur, yang dapat menyebabkan cuaca kering di beberapa wilayah seperti Indonesia dan Australia, serta hujan deras di tempat lain. Sebaliknya, La Nina ditandai oleh pendinginan suhu laut di area yang sama, yang biasanya membawa curah hujan lebih tinggi ke wilayah seperti Indonesia, namun bisa menyebabkan kekeringan di bagian lain dunia. Kedua fenomena ini memengaruhi pola cuaca secara signifikan dan terjadi secara bergantian setiap beberapa tahun.

Exit mobile version