JAKARTA, borneoreview.co – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), memblokir rekening bank warga yang tidak aktif selama 3 hingga 12 bulan.
Pemblokiran itu, kini dikenal sebagai rekening dormant. Hal itu memicu keresahan publik dan layak, untuk dikaji ulang secara komprehensif.
Tujuan dari kebijakan pemblokiran rekening dormant, sejatinya terpuji. Yaitu, melindungi masyarakat dari risiko kejahatan keuangan, seperti penampungan dana judi daring dan tindak pidana pencucian uang.
Namun, implementasinya yang dilakukan secara mendadak, menimbulkan dampak psikologis dan praktis mengejutkan masyarakat luas yang merasa menjadi korban sebagai pemilik rekening dormant.
Sejak diberlakukannya kebijakan pemblokiran rekening dormant ini pada Senin, 28 Juli 2025, banyak masyarakat merasa terkejut ketika mengetahui rekening mereka diblokir, tanpa pemberitahuan jauh-jauh hari sebelumnya.
Untuk mengaktifkan kembali rekening dormant yang dibekukan itu, nasabah harus datang langsung ke bank, mengisi formulir aktivasi ulang, dan mengikuti proses yang memakan waktu dan energi.
Dampak yang bisa terjadi dari kebijakan pemblokiran rekening dorman ini adalah antrean panjang di customer service bank-bank yang jauh lebih lama dibandingkan antrean di teller menambah beban yang tidak perlu.
Di tengah kemacetan kota dan kesibukan harian, prosedur ini tentu menjadi kendala serius, terlebih bagi pekerja, lansia, dan mereka yang tinggal jauh dari kantor cabang bank.
Dampak sosial dari kebijakan ini juga signifikan. Banyak warga mengaku khawatir dengan hilangnya dana yang telah lama mereka simpan di bank.
Sebagian dari mereka, bahkan mulai menyerukan penarikan dana besar-besaran dari perbankan, sehingga kondisi ini berisiko menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional.
Kasus seperti yang dialami oleh Nurwanto, warga yang rekeningnya diblokir, padahal hanya menyimpan dana sejak 2014 untuk biaya kuliah anaknya, menunjukkan bahwa kebijakan ini telah menyasar kelompok masyarakat yang tidak semestinya.
Proses reaktivasi yang dijanjikan selesai dalam 14 hari kerja, ternyata molor, hingga lebih dari sebulan, ini mempertegas adanya ketidaksiapan dalam implementasi kebijakan.
PPATK memang memiliki landasan hukum dalam pelaksanaan, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam UU tersebut, kewenangan untuk melakukan pemblokiran rekening sebenarnya berada di tangan penyidik, yakni Kepolisian, Kejaksaan, atau pihak kehakiman.
PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan hanya berwenang melaporkan kepada penegak hukum jika menemukan indikasi rekening yang mencurigakan.
Dengan kata lain, pemblokiran langsung atas jutaan rekening oleh PPATK, tanpa proses verifikasi yang ketat dan tanpa koordinasi dengan penyidik, berpotensi melanggar prinsip legalitas.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga patut dikritisi dari sisi hak asasi manusia. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pendekatan Proporsional
Dengan pemblokiran yang dilakukan, PPATK dikhawatirkan menjadi pihak yang berisiko melanggar hak konstitusional warga negara.
Alih-alih melakukan sweeping terhadap rekening dormant, perlu ada pendekatan yang lebih proporsional dan akurat untuk ditempuh.
Misalnya, PPATK dapat membangun sistem risk-based monitoring terhadap pembukaan rekening baru, memanfaatkan algoritma kecerdasan buatan untuk mendeteksi pola transaksi yang mencurigakan, serta meningkatkan sinergi dengan bank dan aparat penegak hukum.
Upaya pencegahan terhadap praktik kejahatan keuangan memang perlu, tetapi harus berbasis pada analisis yang akurat dan prosedur hukum yang adil.
Semua pasti sepakat bahwa pemberantasan judi daring, transaksi ilegal, dan pencucian uang merupakan misi baik dengan tantangan besar.
Namun, langkah solutif yang tepat dengan tanpa mengorbankan kenyamanan dan rasa aman jutaan warga negara yang patuh hukum sangat diperlukan.
Justru keberanian untuk membangun sinergi antar-lembaga, baik PPATK, OJK, Bank Indonesia, Kemenkominfo, Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga peradilan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem keuangan yang bersih, transparan, dan inklusif.
Pada konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik adalah hal yang tidak boleh diabaikan.
Sosialisasi kebijakan, pelibatan publik, serta pemberian informasi yang jelas kepada masyarakat adalah bagian integral dari pelayanan publik yang berkeadilan.
PPATK perlu mengakui bahwa langkah teknokratis, tanpa sensitivitas sosial, dapat menciptakan kegaduhan yang justru kontraproduktif.
Ke depan, pemerintah juga perlu mengevaluasi ulang mekanisme pelaksanaan kebijakan pemblokiran rekening dorman.
Solusi yang lebih moderat bisa berupa pemberitahuan resmi secara bertahap kepada pemilik rekening, pemberian waktu reaktivasi, sebelum blokir, serta penyaringan berbasis data untuk memisahkan rekening pasif dari rekening yang memang terindikasi digunakan untuk kejahatan.
Kebijakan publik yang baik bukan hanya dilihat dari niatnya yang mulia, tetapi dari implementasi yang tepat sasaran dan tidak menimbulkan kerugian lebih besar daripada manfaatnya.
Dalam demokrasi, kritik publik bukan bentuk perlawanan, tetapi merupakan wujud perhatian warga negara untuk mengembalikan kebijakan ke rel yang benar dan tidak melanggar prinsip keadilan.
*) Andi Setyanto, SE adalah alumnus Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Lady HRK, SSi, MSi adalah mahasiswa doktoral Universitas Indonesia