JAKARTA, borneoreview.co – Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dalam Rapat Paripurna DPR RI, Jumat (15/8/2025).
RAPBN 2026, menandai arsitektur fiskal pertama yang dirumuskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, setelah resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
Lebih dari sekadar hitung-hitungan dan pos belanja, RAPBN 2026, menjadi kompas yang mengarahkan langkah pembangunan Indonesia ke depan.
Sejatinya, arah kebijakan era pemerintahan baru ini sudah mulai terbaca sejak penyusunan RAPBN 2025.
Demi menjaga keberlanjutan, APBN 2025 memuat sejumlah program yang berkesinambungan dari era Joko Widodo (Jokowi) ke era Prabowo.
Dalam pidato kenegaraan perdananya, Presiden Prabowo menekankan agenda penguatan ketahanan pangan, energi, ekonomi, dan pertahanan.
Dalam hal ini, APBN diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan publik terbaik bagi rakyat.
Presiden juga menggarisbawahi pentingnya APBN yang harus terus dijaga tetap sehat dan kredibel, melalui optimalisasi pendapatan, penguatan kualitas belanja, serta inovasi pembiayaan.
Di balik garis besar tersebut, RAPBN 2026 membawa pesan penting bahwa belanja negara tidak lagi sekadar menutup kebutuhan rutin dan program prioritas.
Melainkan juga diarahkan, untuk menghasilkan daya ungkit ekonomi yang nyata.
Pemerintah ingin setiap rupiah yang dibelanjakan mampu memacu produktivitas, menciptakan lapangan kerja, sekaligus memperkuat fondasi kemandirian bangsa.
Karena itu, kebijakan fiskal 2026 disusun tetap ekspansif untuk memberi ruang tumbuh, tetapi juga terarah dan terukur agar disiplin fiskal tetap terjaga.
Sebagai instrumen kebijakan, APBN memiliki peran strategis dalam memengaruhi arah perekonomian.
APBN dapat berdampak langsung pada permintaan agregat di sektor riil, memengaruhi stabilitas moneter, sekaligus berpengaruh ke neraca pembayaran.
Pada titik inilah RAPBN 2026 diposisikan bukan sekadar perhitungan kas negara, melainkan sebagai arsitektur fiskal yang menentukan seberapa kuat Indonesia bisa berdiri menghadapi tantangan global.
Arah Fiskal 2026
Untuk mengoptimalkan ruang fiskal yang terbatas, pemerintah menekankan efisiensi dengan memastikan setiap rupiah belanja negara pada 2026 benar-benar berkualitas.
Pesan Presiden sederhana tapi tegas: belanja negara harus memberi manfaat nyata, menciptakan lapangan kerja, memperkuat daya beli, dan menghadirkan layanan publik yang lebih baik.
Salah satu wujudnya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak APBN 2025 sudah mendapat “karpet merah”.
Program ini dipandang bukan sekadar urusan kesehatan dan sosial atau peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Melainkan juga pengungkit ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, peluang usaha baru, dan rantai pasok bahan pangan lokal yang berkelanjutan.
Pemerintah menyiapkan alokasi Rp335 triliun untuk menjangkau lebih dari 82,9 juta penerima manfaat MBG, mulai dari siswa, ibu hamil, hingga balita.
Selain MBG, RAPBN 2026 juga memprioritaskan sejumlah agenda besar, antara lain ketahanan pangan dengan dukungan lebih dari Rp164 triliun, ketahanan energi Rp402 triliun, pendidikan Rp757 triliun, hingga kesehatan Rp244 triliun.
Pembangunan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, penguatan Pertahanan Semesta, percepatan investasi melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Selain itu, program tiga juta rumah dengan 770 ribu unit turut masuk dalam barisan agenda prioritas.
Secara keseluruhan, belanja negara 2026 dirancang mencapai Rp3.786,5 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp3.136,5 triliun dan transfer ke daerah Rp650 triliun.
Adapun porsi belanja prioritas kementerian/lembaga mencapai Rp934,1 triliun yang di dalamnya termasuk belanja program MBG.
Meski ekspansif, pemerintah tetap menargetkan defisit fiskal yang makin menyempit.
Tahun 2026, defisit dipatok Rp638,8 triliun atau 2,48 persen terhadap PDB, lebih kecil dari outlook 2025 yang sebesar 2,78 persen terhadap PBD.
Target ini disebut cukup prudent untuk menopang agenda pembangunan, meski para pakar memberi catatan.
Ekonom dari LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI Teuku Riefky menilai, target defisit 2,48 persen masih realistis. Namun, ia mengingatkan implikasinya pada postur belanja.
Beberapa pos, menurutnya, mungkin perlu dikurangi atau diarahkan lebih ketat agar ruang fiskal tidak semakin sempit.
Sementara itu, Permata Institute for Economic Research (PIER) mengambil sikap lebih konservatif. Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan defisit 2026 bisa mencapai 2,70 persen dari PDB.
Namun, angka ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,05 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,4 persen.
Adapun Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menekankan perlunya disiplin fiskal dan upaya mendongkrak efisiensi.
Tanpa itu, menurutnya, target defisit 2,48 persen akan sulit dipertahankan dan berisiko melebar hingga mendekati 3 persen dari PDB.
Meski proyeksi defisit masih dalam batas aman, arah fiskal 2026 jelas menuntut disiplin lebih ketat.
Belanja yang ekspansif hanya akan bermakna jika ditopang penerimaan yang kokoh dan kredibel.
Karena itu, strategi pemerintah dalam menata basis penerimaan negara menjadi kunci, bukan hanya untuk menjaga kas tetap sehat.
Tetapi juga memastikan keberlanjutan agenda pembangunan di tengah tantangan global yang kian kompleks.
Menata Penerimaan dan Kredibilitas Fiskal
Belanja negara diarahkan agar lebih tepat sasaran dan berdampak nyata bagi masyarakat. Namun, kualitas belanja tak akan berarti tanpa penerimaan yang kokoh.
Karena itu, pengelolaan penerimaan negara menjadi kunci menjaga kredibilitas fiskal sekaligus menjamin keberlanjutan pembangunan di tengah ketidakpastian global.
RAPBN 2026 menargetkan pendapatan negara pada 2026 sebesar Rp3.147,7 triliun, tumbuh 9,8 persen dibandingkan outlook 2025 Rp2.865,5 triliun.
Dari jumlah itu, penerimaan pajak ditetapkan Rp2.357,7 triliun atau naik 13,5 persen.
Target ini diakui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merupakan angka yang terbilang ambisius.
Bukan hal mudah mengingat pada 2024 penerimaan hanya tumbuh 2,4 persen dan tahun ini diperkirakan 0,5 persen.
Ia menegaskan, target penerimaan tidak akan ditempuh melalui penambahan jenis pajak maupun tarif baru, melainkan memperkuat reformasi internal.
Fokus diarahkan pada pemanfaatan Coretax serta sinergi pertukaran data antar-kementerian/lembaga.
Selain itu, melalui sistem pemungutan transaksi digital dalam dan luar negeri; serta joint program untuk analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen, dan peningkatan kepatuhan perpajakan.
Pada saat yang sama, pemerintah tetap memberikan insentif daya beli, investasi, dan hilirisasi.
Kenaikan penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 juga dihitung dengan mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dan inflasi 2,5 persen.
Dengan elastisitas penerimaan terhadap PDB yang sudah mendekati 7-9 persen, pemerintah menargetkan tambahan usaha sekitar 5 persen melalui berbagai langkah optimalisasi.
Wijayanto mengingatkan, kenaikan tarif pajak berisiko menggerus daya saing produk nasional sekaligus mengganggu iklim usaha dan investasi.

Oleh sebab itu, langkah tersebut sebaiknya dihindari, atau setidaknya diputuskan dengan pertimbangan yang matang.
Namun, tanpa terobosan, target penerimaan akan sulit tercapai. Menurutnya, salah satu pintu terbesar justru ada pada pemberantasan underground economy.
Yang diperkirakan mencapai 23,6 persen PDB dengan potensi penerimaan hingga Rp500 triliun.
Rokok dan minuman beralkohol tanpa cukai, serta penyelundupan pakaian bekas maupun tekstil merupakan contoh nyata, aktivitas ilegal yang bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menjadi pesaing utama industri dalam negeri.
Pemerintah pun mengakui besarnya tantangan shadow economy ini yang berpotensi menggerus basis penerimaan pajak.
Karena itu, langkah pengawasan dan penegakan hukum akan terus diperkuat, terutama di sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi.
Menutup celah saja tentu tidak cukup. Pemerintah juga berupaya memperkuat fondasi penerimaan dengan menargetkan rasio perpajakan yang lebih tinggi, yakni 10,47 persen dari PDB.
Angka ini mencerminkan konsistensi upaya memperkuat basis penerimaan, meski tren beberapa tahun terakhir masih fluktuatif dengan capaian 10,31 persen pada 2023, turun menjadi 10,08 persen pada 2024, dan diproyeksikan hanya 10,03 persen pada 2025.
Di sisi lain, kesehatan fiskal tetap dijaga melalui pembiayaan yang hati-hati. Rasio utang pemerintah masih di kisaran 39,96 persen PDB, relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah mengutamakan sumber utang dalam negeri, mengembangkan pembiayaan inovatif, dan mengelola portofolio utang secara aktif.
Selain itu, juga mengoptimalkan dan bersinergi dengan Badan Layanan Umum (BLU), Special Mission Vehicle (SMVs), Indonesian Investment Authority (INA), dan BPI Danantara.
Adapun Saldo Anggaran Lebih (SAL) dimanfaatkan sebagai bantalan fiskal untuk meredam gejolak pasar, khususnya di pasar obligasi.
Yang kerap dipicu faktor eksternal seperti dinamika ekonomi Amerika Serikat (AS) maupun perubahan kebijakan global yang berada di luar kendali.
Dengan pengelolaan fiskal yang sehat dan transformasi ekonomi yang berlanjut, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4 persen.
Dalam kerangka itu, Presiden menekankan pentingnya konsistensi optimalisasi pendapatan negara, dengan pajak berperan sebagai instrumen keadilan dan sarana redistribusi pendapatan.
Keberhasilan tentu bergantung pada konsistensi pelaksanaan dan pengawasan kebijakan.
Seperti disampaikan Presiden, “keberlanjutan fiskal jangka menengah-panjang adalah jangkar bagi stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.”
RAPBN 2026 pada akhirnya akan diuji bukan dari seberapa besar angka-angka ditetapkan, melainkan dari sejauh mana ia mampu menjawab kebutuhan rakyat secara nyata.
Anggaran tidak boleh berhenti sebagai janji di atas kertas, tetapi harus hadir sebagai bukti bahwa disiplin fiskal dan kepedulian sosial bisa berjalan beriringan.
Di balik rancangan kebijakan yang ambisius, keberhasilan akan ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan, integritas aparat, serta keberanian menutup celah shadow economy.
Supaya fondasi fiskal benar-benar kokoh, menopang stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.***