Oleh: Aceng Mukaram
PONTIANAK, borneoreview.co – Langit Kota Pontianak pagi itu tampak bersih, seakan ikut tersenyum. Udara lembut menyapa di Jalan Nipah Kuning Dalam, Kelurahan Pal Lima, Kecamatan Pontianak Barat.
Di sebuah bangunan sederhana, kursi plastik tersusun rapi, menunggu kisah baru dimulai.
Bukan sekadar upacara. Hari itu, PLN Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Barat (UIP Kalbagbar) datang membawa perubahan. Sebuah langkah kecil namun berdampak panjang, Planet Care Peduli Sampah.
Di hadapan undangan, mereka menyerahkan mesin daur ulang kepada Bank Sampah Induk Khatulistiwa.
Mesin pencacah plastik, extruder, dan maggot box kini resmi menjadi jantung baru pengelolaan sampah di kota Khatulistiwa itu.
Sebuah langkah konkret, tak hanya simbolik, menuju ekonomi sirkular yang diidamkan banyak kota besar.
Mereka tak sekadar memberi bantuan. Mereka menyalakan harapan di balik tumpukan plastik yang dulu hanya dianggap remeh. Dari limbah, kini lahir peluang hidup.
Asa Kolaborasi Nyata
Adalah M Harry Febriandono. Ia merupakan Manager Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Kalbagbar, berdiri di podium sederhana.
Wajahnya tenang, nadanya mantap. Ia tahu, kalimatnya hari itu bukan sekadar sambutan, tapi komitmen.
“Bantuan ini diharapkan memberi dampak nyata bagi lingkungan dan ekonomi warga,” ujar Harry pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Kata nyata menjadi kunci dari gerakan ini. Program (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) TJSL bukan sekadar formalitas korporasi, tapi tanggung jawab sosial yang menuntut keberlanjutan.
PLN menyebutnya Planet Care Peduli Sampah, karena planet ini memang perlu dijaga bersama.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak, Syarif Usmulyono, tak menyembunyikan rasa bangganya.
“Sebelumnya masih manual. Sekarang bisa olah sampai tiga ton per hari,” tuturnya, senyum lebar mengiringi kalimat itu.
Baginya, mesin baru bukan hanya alat. Ia adalah simbol perubahan dari kerja keras tanpa alat menjadi kerja cerdas penuh makna.
Efisiensi meningkat, pendapatan ikut mengalir, dan harapan tumbuh di antara karung-karung plastik.
“Kalau harga plastik stabil di Rp6.000 per kilo, mereka makin semangat. Ekonomi ikut bergerak,” ucap Syarif Usmulyono, matanya menatap jauh ke arah tumpukan sampah yang kini berubah jadi peluang rupiah.
Ia tahu betul kalau kolaborasi inilah kuncinya. Antara BUMN, pemerintah daerah, dan warga. Karena keberlanjutan tak mungkin lahir dari satu tangan saja.
“Dengan komunikasi yang baik, bantuan tidak salah alamat. Hasilnya bisa langsung dirasakan masyarakat,” ucapnya menjelaskan.
Pernyataan itu sederhana, tapi mengandung filosofi mendalam tanggung jawab sosial tanpa sinergi hanya akan jadi seremoni pudar.
Dari Limbah Jadi Berkah
Suara mesin daur ulang kini terdengar lirih di sudut bangunan. Di sanalah Chairil Anwar berdiri dengan mata berbinar.
Pria yang didapuk sebagai Direktur Bank Sampah Induk Khatulistiwa itu bergelut dengan waktu tanpa lelah. Tangannya cekatan menyentuh potongan plastik yang siap diproses.
“Plastik bisa diolah jadi produk bernilai jual seperti kursi dan plakat,” tuturnya dengan nada penuh syukur.
Baginya, bantuan dari PLN bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang keberlanjutan hidup warga yang kini punya semangat baru.
Sampah yang dulu dianggap beban kini jadi sumber penghidupan. Di sisi lain, maggot box berisi larva mungil menjadi pahlawan kecil di balik layar. Sampah organik kini tak terbuang sia-sia.
“Sekali kirim hasil olahan bisa dapat Rp10 juta sampai Rp20 juta,” jelas Chairil, sembari menunjukkan wadah pakan ternak siap dijual.
Angka itu mungkin kecil di mata industri besar, tapi bagi pemulung, ibu rumah tangga, dan warga sekitar, nilainya berarti kehidupan.
“Ibu rumah tangga dan pemulung ikut dapat penghasilan tambahan,” ucapnya lembut.
Kini, semangat memilah sampah bukan lagi wacana di atas kertas putih saja. Ia menjelma jadi gerakan kecil tumbuh dari bawah, dari tangan-tangan dulu terabaikan.
Bank Sampah Induk Khatulistiwa menjadi bukti, bahwa perubahan bisa lahir dari kesadaran bersama, bukan paksaan dari luar.
PLN UIP Kalbagbar melalui Planet Care Peduli Sampah menjadi katalis yang menyalakan api itu.
Esensi Refleksi Hidup
Kota Pontianak perlahan bergerak menuju cita-cita besar, kota bebas sampah 2030. Gerakan tanpa kantong plastik dan penguatan bank sampah jadi jantung perjuangan.
Syarif Usmulyono percaya itu bukan mimpi kosong. Ia optimis sekali soal kolaborasi ini bisa membawa Pontianak ke target nasional.
Di tengah hiruk-pikuk kota yang terus tumbuh, gerakan kecil seperti Planet Care mengingatkan kita bahwa tanggung jawab sosial bukan hanya urusan perusahaan besar.
Ia adalah bentuk cinta yang konkret pada bumi. Sampah memang tak pernah berhenti datang, tapi harapan juga tak boleh berhenti tumbuh.
Karena di balik setiap botol plastik dan sisa makanan, ada potensi kehidupan baru bila mau melihatnya dengan hati.
Program Planet Care Peduli Sampah dari PLN UIP Kalbagbar menjadi contoh nyata sinergi antara korporasi dan masyarakat.
Bukan sekadar proyek CSR, tetapi implementasi Shared Value di mana lingkungan dan ekonomi lokal berjalan beriringan.
Pendekatan seperti ini layak menjadi model nasional untuk pengelolaan sampah berkelanjutan.
Di sudut Kota Pontianak, sebuah laboratorium sosial perlahan lahir. Di sini, teknologi sederhana berpadu dengan semangat gotong royong warga.
Merajut mimpi tentang ekonomi hijau dari hal-hal paling dekat, sampah terabaikan, limbah tak dihiraukan.
Dampaknya tak hanya terasa di jalanan yang kian bersih, tetapi lebih dalam lagi di sanubari warga kini belajar memungut, memilah, dan memelihara setiap sisa kehidupan dengan penuh kesadaran.
Sebuah perubahan mentalitas yang lahir dari rasa memiliki dan cinta pada tempat tinggalnya.
Di tengah bumi yang semakin letih oleh keserakahan manusia, gerakan kecil ini bagai setetes embun di daun kering.
Mungil, sederhana, namun memberi napas segar menyejukkan, mengingatkan bahwa harapan tak pernah mati, selama masih ada tangan rela bergerak dan hati tak berhenti peduli.
Sebuah pengingat lembut, bahwa planet ini masih bisa diselamatkan, selama ada peduli dan mau bergerak, sekecil apa pun langkahnya.***
