Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Detik Menentukan dan Kisah di Seputarnya (bagian dua)

Sidang PPKI

JAKARTA, borneoreview.co – Jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, ada detik detik menentukan dan kisah di seputarnya dalam sejarah bangsa.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, menjadi sosok penting dalam kronik dan sejarah bangsa.

Jelang proklamasi kemerdekaan, 13 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta beserta rombongan kembali dari Saigon menuju Indonesia. Rombongan singgah dan bermalam di Singapura.

Keesokan harinya, Bung Karno, Bung Hatta dan sejawat bertolak ke Indonesia. Pada hari ini, kabar soal penyerbuan pasukan Uni Soviet ke wilayah jajahan Jepang di Mancuria, mulai menyebar ke pejuang-pejuang tanah air.

Ketika tiba di Indonesia, tepatnya di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, siang hari, Bung Karno dan Bung Hatta mendapatkan sambutan meriah dari masyarakat.

Para anggota PPKI meneriakkan “Indonesia Merdeka!”.

Belum sempat beristirahat sepenuhnya, baik Bung Hatta dan Bung Karno, kembali bertemu menjelang sore.

Kali ini, di rumah Bung Karno untuk membicarakan tentang serangan Uni Soviet ke Manchuria yang mereka yakini membuat Jepang akan menyerah kepada sekutu.

Dalam kejadian ini, turut pula Sutan Sjahrir, datang bersama Bung Hatta.

Dalam pembicaraan tersebut, menurut Bung Hatta, Sjahrir mengusulkan Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tapi, tidak melalui PPKI, supaya tidak ada kesan kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Jepang. Namun, Bung Karno menolak.

“Saya tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah hak dan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya menjadi ketuanya,” kata Bung Karno, seperti dituliskan Bung Hatta dalam “Sekitar Proklamasi”.

“Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia saya bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya ketuai,” lanjutnya.

Pembicaraan Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir juga menyangkut soal kabar, semakin terdesaknya Jepang di Perang Dunia II.

Untuk mendapatkan kepastian soal nasib Jepang di pertempuran, Bung Karno dan Bung Hatta mendatangi Gunseikanbu, Kantor Pusat Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia, pada 15 Agustus 1945.

Ditemani Achmad Soebardjo, tokoh nasional yang ketika itu juga staf Kantor Penghubung Angkatan darat dan Laut Jepang di Indonesia,

Soekarno dan Hatta tiba di Gunseikanbu yang ternyata kosong, tidak ada orang.

Mereka pun pergi ke kantor Laksamana Tadashi Maeda, pemimpin kantor penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang di Jakarta.

Maeda, kata sejarawan Jepang Aiko Kurasawa dalam buku Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya (2002), memang bersimpati dengan nasionalisme Indonesia. Begitu pula staf-stafnya, termasuk ​​​​​Shigetada Nishijima.

Bung Karno, sebut Hatta, bertanya dengan tegas kepada Maeda, soal apakah benar Jepang menyerah kepada sekutu.

Maeda, menurut Hatta, tidak memberikan jawaban pasti. Itu membuat Hatta dan Soekarno menyimpulkan, kabar Jepang telah bertekuk lutut itu benar.

Begitu meninggalkan kantor Maeda, Hatta dan Soekarno menyepakati PPKI mengadakan rapat Kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945.

Momentumnya dirasa tepat, lantaran anggota-anggota PPKI sudah berada di Jakarta dan menginap di Hotel Des Indes, Menteng.

Anggota PPKI memang bersiap untuk bekerja, setelah Soekarno dan Hatta kembali dari Dalat.

Jadwal pun ditetapkan. PPKI akan mengadakan rapat pada 16 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB di Kantor Dewan Sanyo Kaigi atau Dewan Penasihat Jepang, Pejambon, Jakarta Pusat.

Sore harinya, masih di tanggal 15 Agustus 1945, dua pemuda Indonesia, yakni Subadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikusumo, berkunjung ke rumah Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.

Subianto merupakan adik kandung dari ayah Presiden kedelapan RI Prabowo Subianto, Soemitro Djojohadikusumo.

Hatta menemui Subadio dan Subianto, tetapi langsung bersitegang. Kedua pemuda melontarkan desakan yang sama dengan Sjahrir, yaitu agar kemerdekaan tidak dinyatakan oleh PPKI yang dibentuk Jepang.

Hatta menolak. Sampai Subadio dan Subianto pulang, tidak ada titik temu.

Bung Hatta tidak terlalu memikirkan situasi itu, dan kembali fokus ke kesibukannya.

Yaitu, mengetik naskah proklamasi yang akan dibacakan dan dibagikan kepada para anggota PPKI, dalam rapat esok hari.

Sekitar pukul 21.30 WIB, pekerjaan Hatta kembali terganggu karena ajakan Achmad Soebardjo, untuk lekas-lekas ke rumah Soekarno.

Dalam biografinya, Soekarno menyebut bahwa malam hari itu, beberapa pemuda datang ke rumahnya di tengah pekerjaannya.

Soekarno mempersiapkan rapat PPKI, bersama Sayuti Melik dan istrinya, yang juga sekretaris Bung Karno, SK Trimurti.

Bung Karno menyebut nama-nama yang hadir di rumahnya kala itu. Seperti, Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana. Mereka membawa senjata, bedil dan pisau, dan meminta Soekarno segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Melihat panasnya situasi, Soekarno sempat mengkhawatirkan istrinya Fatmawati, Sayuti Melik dan Trimurti yang sudah diungsikan ke dalam rumah.

Ketika Hatta tiba, perseteruan Bung Karno dan pemuda masih berlangsung. Puncaknya adalah ketika Wikana mengancam Bung Karno, jika tidak mau memproklamasikan kemerdekaan malam itu juga.

“Kalau Bung tidak mau memulai revolusi malam ini, lalu…”

Mendengar ancaman, Bung Karno mengamuk.

Bung Karno dalam biografinya menulis, “Lalu apa? Teriakku sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. Aku melompat ke tengah para pemuda yang memegang senjata itu, menekukkan kepalaku ke bawah, menjulurkan leherku keluar dan membuat gerak untuk memotong tenggorokanku.”

“Ini, katakau mencemooh. Ini leherku. Boleh potong. Hayo, boleh penggal kepalaku. Kalian bisa membunuhku, tapi aku tidak pernah mau mengambil risiko, untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian,” tulis biografi Soekarno.

Ribut-ribut itu baru berakhir sekira tengah malam. Namun, kurang lebih pukul 03.00 WIB atau ketika waktu makan sahur (karena saat itu bulan Ramadhan) pada 16 Agustus 1945, para pemuda itu kembali datang ke rumah Bung Karno dan Bung Hatta.

“Penculikan” hingga Proklamasi

Para pemuda termasuk Sukarni menyampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta, pada hari itu belasan ribu pejuang termasuk dari Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho akan menyerbu Jakarta untuk revolusi. Maka, Soekarno dan Hatta harus diamankan.

Hatta resah karena pada hari itu pukul 10.00 WIB PPKI akan menggelar rapat kemerdekaan Indonesia. Namun, dia tetap menurut.

Dari rumah Hatta, rombongan beranjak ke rumah Bung Karno. Bung Karno membawa serta istrinya, Fatmawati dan anak pertama mereka, Guntur yang baru berumur sembilan bulan.

Bung Karno dan Bung Hatta dibawa dengan mobil sedang menuju asrama PETA di Rengasdengklok, Karawang.

Di tengah perjalanan, Bung Karno, Bung Hatta dan semua penumpang diminta pindah ke mobil pick up militer. Yang sudah disediakan dengan alasan, sedan terlalu besar untuk masuk ke wilayah asrama tersebut.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *