Site icon Borneo Review

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Detik Menentukan dan Kisah di Seputarnya (bagian empat)

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Bung Karno didampingi Bung Hatta, membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56 . (Foto ANRI)

JAKARTA, borneoreview.co – Proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi tonggak bagi bangsa, untuk menentukan nasib sendiri.

Ada banyak peristiwa dengan tensi dan detik menentukan. Juga kisah di seputarnya.

Seperti diungkapkan Benedict Anderson dalam buku “Revoloesi Pemoeda”, bahwa Nishijima menyatakan, kata “pemindahan kekuasaan” dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Kata itu dirancang sebagai terjemahan kasar dari kata-kata “gyoseiken no iten” atau pemindahan pengawasan adminstratif. Bukan “shuken na joto” atau penyerahan kedaulatan sah.

Hal itu, membuat Shunkichiro Miyoshi memberikan laporan ke pihak Jepang bahwa pemimpin Indonesia cuma menuntut hak atas pengawasan administratif.

Padahal dalam ungkapan Indonesia yang lebih tersamar, ‘pemindahan kekuasaan’. Dapat diartikan mencakup pula anggapan kekuasaan politik yang jauh lebih luas, dan memang diartikan demikian, tulis Anderson.

Pagi hari, 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia siap dibacakan pada waktu, dan di tempat yang telah ditentukan sebelumnya.

Setelah rapat di rumah Maeda, Bung Karno yang tidak tidur dua hari, terserang demam. Selain kelelahan, dia juga menderita malaria.

Di luar kediaman Bung Karno, acara pembacaan Proklamasi Indonesia pada hari itu, diberitahukan dari rumah ke rumah. Dari telepon, teriakan-teriakan di jalan dan lain-lain.

Itu membuat rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56 dipadati masyarakat. Mulai dari petani, pedagang kelontong, nelayan pegawai negeri, orang tua, pemuda hingga pasukan militer tanah air seperti PETA.

Bung Karno mengatakan, ada 500-an orang hadir di rumahnya, untuk menyaksikan pernyataan kemerdekaan.

Ratusan orang itu berteriak-teriak di luar. Meminta Bung Karno cepat-cepat membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, Bung Karno tidak mau melakukannya tanpa kehadiran Mohammad Hatta.

“Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta,” tutur Bung Karno, seperti yang tertuang di biografinya.

Dalam bukunya “Sekitar Proklamasi”, Bung Hatta menyebut dirinya berangkat ke kediaman Bung Karno, pukul 09.50 WIB. Sebelumnya, Hatta mandi juga bercukur rapi, dan sampai di lokasi lima menit kemudian.

Begitu tiba, Hatta langsung ke kamar Bung Karno, di mana sahabatnya itu tengah terbaring.

Melihat Hatta, Bung Karno langsung bangkit dan berganti pakaian putih. Kata Bung Karno, tidak banyak omongan yang mereka keluarkan saat itu, karena sama-sama letih.

Seperti yang dideskripsikannya dalam biografinya Bung Karno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, selesai berpakaian, Bung Karno keluar rumah diikuti Hatta dan Fatmawati di belakangnya.

Perwira senior PETA Latif Hendraningrat sudah siap di halaman, sebelumnya ia memanggil Bung Karno di dalam rumah.

Begitu Bung Karno muncul di teras, suasana hening bercampur tegang. Tentara dari garnisun PETA berjaga, mewaspadai datangnya militer Jepang.

Upacara itu pun berlangsung, tanpa protokol.

Bung Karno mengambil posisi ke depan pengeras suara, hasil curian dari stasiun radio Jepang. Bung Karno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya, Bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan oleh Latif Hendradiningrat, seorang diri.

Bendera pertama Republik Indonesia tersebut, diikatkan ke sebuah tiang bambu. Yang baru ditancapkan ke tanah beberapa saat, sebelum upacara.

Prosesi yang berlangsung dengan khidmat, diikuti dengan menyanyi lagu Indonesia Raya.

Bung Karno, dalam biografinya, “Saat itu pukul 10. Revolusi sudah dimulai. Alhamdulillah bendera Republik sekarang telah berkibar, kataku dalam hati.

Kalau pun ia diturunkan lagi, itu harus melalui mayat dari tujuh puluh dua juta bangsaku. Apapun yang terjadi, kami tak kan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka,” tulisnya.

Kebahagiaan juga dirasakan Bung Hatta. Dia merayakan Kemerdekaan Indonesia bersama-sama Bung Karno dan masyarakat di Pegangsaan Timur No 56, selama sekitar setengah jam setelah Proklamasi.

Hatta lalu kembali ke rumah, di mana dirinya sudah ditunggu sanak saudara yang berkumpul.

“Semua terharu dan memberi selamat Indonesia Merdeka,” tutur Hatta.

Bukan Pemberian Jepang

Melihat kronologinya, terlihat jelas bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, merupakan hasil jerih payah bangsa Indonesia sendiri. Bukan pemberian Jepang.

Benar, jika dikatakan Jepang membantu Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan dengan membentuk badan-badan terkait, seperti BPUPKI dan PPKI.

Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa Jepang sebagai negara, tidak pernah menyatakan bahwa mereka memerdekakan Indonesia.

Bahkan, Jepang melalui Sumobuco (Kepala Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura, ingin supaya Indonesia membatalkan rencana rapat kemerdekaan di saat-saat terakhir.

Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selesai dibacakan, Bung Karno juga mendapatkan intimidasi dari lima anggota kempeitai yang datang ke rumahnya.

Mereka menegaskan larangan soal menyatakan kemerdekaan.

Bung Karno tidak mundur selangkah pun dengan gertakan dan kerumunan masyarakat di rumahnya, siap membela jika polisi rahasia Jepang itu melakukan hal-hal nekat.

Para Kempeitai itu memutuskan untuk pergi.

Dengan demikian, hanya karena kekerasan hati dan tekad para pemimpin Indonesia ketika itulah, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, proklamasi kemerdekaan Indonesia, dapat disusun. Dibacakan dan disebarluaskan ke seluruh dunia.

Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa menegaskan bahwa Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari Jepang.

Menurut Aiko, dalam wawancaranya dengan penerbit Komunitas Bambu, diunggah kanal Youtube Komunitas Bambu pada 20 November 2023,.

Pmerintah Jepang sebenarnya tidak mau melepas Indonesia, yang kaya akan sumber daya alam, begitu saja.

Namun,dia tidak menampik jika ada orang Jepang yang bersimpati,dan akhirnya menyokong kemerdekaan Indonesia.

Tatkala pemerintah Jepang menolak kemerdekaan Indonesia, orang Jepang seperti Laksamana Tadashi Maeda,justru memberikan dukungan penuh.

Tanpa Maeda, dan para stafnya seperti Nishijima, serta Shunkichiro Miyoshi, proses penyusunan naskah Proklamasi sulit berlangsung dengan lancar, di bawah bayang-bayang pendudukan militer Jepang.

“Bukan hanya Maeda, ada kira-kira 1.000 orang Jepang yang menolong kemerdekaan Indonesia. (Oleh Jepang-red) mereka disebut desertir,” tutur Aiko.

Maeda, Aiko menyebut, tidak pernah dianggap pahlawan di Jepang. Achmad Soebardjo, dalam tulisannya “In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda” yang dimuat dalam buku “Seputar Proklamasi Kemerdekaan” (diterbitkan Kompas, 2015).

Bahwa, ketika dalam keadaan sakit di Jepang, Maeda dilarang dijenguk oleh dokter, kecuali oleh keluarganya. Soebardjo menyebut, dirinya menerima berita wafatnya Maeda, 14 Desember 1977.

Kemerdekaan Indonesia hasil dari jerih payah bangsa Indonesia sendiri. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu.

Sekali merdeka, tetap merdeka!

Exit mobile version