Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Detik Menentukan dan Kisah di Seputarnya (bagian satu)

Istana Merdeka

JAKARTA, borneoreview.co – Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, 17 Agustus 1945.

Setiap tahun, bangsa Indonesia memperingatinya dengan berbagai upacara, lomba permainan, segala pesta dan kegembiraan.

Namun, detik-detik menentukan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, merupakan momen dramatik dan menentukan dalam sejarah bangsa. Ada detik menentukan dan kisah di seputarnya yang patut dilihat dan dikenang.

“Upacara itu berlangsung sederhana. Tetapi apa yang kami rasakan kurang dalam kemegahannya, kami penuhi dalam harapan,” ujar Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, mengenang momen Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Seolah menggambarkan kesederhanaan itu, dalam biografinya, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Cindy Adams, edisi revisi 2007).

Soekarno mendeskripsikan peristiwa dirinya membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, hanya dalam satu kalimat.

“Aku berjalan ke pengeras suara hasil curian dari stasiun radio Jepang, dan dengan singkat mengucapkan Proklamasi itu,” kata Soekarno, yang di kalangan pejuang tanah air dikenal dengan sapaan Bung Karno.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memang cuma terdiri dari dua alinea dan, ketika disampaikan Bung Karno di hadapan rakyat, tertera di secarik kertas.

Akan tetapi, dokumen itulah menjadi alasan keberadaan sebuah negara bernama Republik Indonesia.

Oleh karena itu, semua kisah, sosok, peristiwa yang menyertainya tidak patut dilupakan.

Setiap titik perjalanan Proklamasi wajib terpatri dengan tinta emas dalam prasasti memori kolektif bangsa.

Sayangnya, seperti disampaikan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta, tidak jarang sejarah Proklamasi dibumbui dengan cerita-cerita yang dibuat-buat atau disebut Hatta dichtung, alih-alih yang benar atau wahrheit.

Hatta, dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyesalkan banyaknya kisah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang lebih mirip dongeng daripada fakta.

“Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu kejadian besar yang menentukan jalannya sejarah Indonesia. Dan sebagai suatu kejadian yang bersejarah, sudah tentu dia diikuti pula oleh berbagai dongeng dan legenda, yang jika diperhatikan betul satu sama lain ada yang tidak sesuai dan bertentangan,” kata Hatta.

Kegelisahan Hatta cukup beralasan, mengingat dirinya merupakan salah satu tokoh utama dalam pusaran sejarah Proklamasi.

Bagi Bung Hatta, panggilan akrabnya dalam lingkup pergerakan nasional, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia wajib tercatat dengan benar demi memberikan penghormatan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Kronik dan Kisah

Ketika Perang Dunia II sampai di tahun 1945, militer Jepang mulai terdesak lantaran dikepung sekutu nyaris dari segala penjuru, termasuk di wilayah-wilayah jajahannya seperti Indonesia.

Hal tersebut membuat penguasa militer Jepang memberikan keleluasaan kepada Indonesia, yang mereka kuasai sejak tahun 1942, untuk mempersiapkan kemerdekaan.

Dari sana, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang keberadaannya diresmikan pada 29 April 1945.

BPUPKI diketuai oleh dr Radjiman Wedyodiningrat, tokoh kawakan yang kala itu sudah berusia 66 tahun.

Radjiman dianggap sangat senior lantaran dokter lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) tersebut sudah aktif di pergerakan.

Ia pernah menjadi anggota Boedi Oetomo, yang berdiri pada 1908, dan pernah menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915.

Kepiawaian Radjiman dalam memimpin rapat-rapat, membuat BPUPKI mampu menghasilkan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dasar negara Pancasila.

Pada 7 Agustus 1945, sehari setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke Kota Hiroshima, Jepang, ada kejadian penting.

Markas Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara yang bermarkas di Saigon, membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk menggantikan BPUPKI yang sudah selesai bertugas.

Dalam bukunya Revoloesi Pemoeda – Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), Benedict Anderson menyebut, setelah diizinkan markas besar di Saigon, PPKI diberikan lampu hijau untuk beroperasi di Jawa.

Hal itu sesuai instruksi dari Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Jawa, Jenderal Moichiro Yamamoto.

“Panitia persiapan ini akan diadakan di Djawa dan goenanja adalah untuk menjempoernakan oesaha kemerdekaan Indonesia seloeroehnja, sehingga djika segala persiapan di Djawa itoe selesai, hal itoe berarti bahwa seloeroeh daerah Indonesia mendjadi sebagai negara baroe,” kata Moichiro.

Jepang menunjuk Bung Karno, pemimpin nasional yang sebelumnya anggota BPUPKI bersama Bung Hatta, sebagai ketua PPKI dan Hatta menjadi wakil ketua.

Setelah penunjukan itu, Bung Karno dan Bung Hatta dipanggil ke Dalat, Vietnam, (sekitar 300 kilometer dari Saigon) untuk menghadap Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia tenggara Jenderal Hisaichi Terauchi.

Mereka berangkat dengan pesawat terbang pada pagi hari, 9 Agustus 1945, tanggal yang sama ketika AS kembali meledakkan salah satu kota di Jepang, Nagasaki, dengan bom atom.

Bersama mereka dari tanah air turut pula beberapa sosok lain, seperti Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI), dan dokter Suharto, dokter pribadi Bung Karno.

Juga, Letnan Kolonel Nomura dari bagian perencanaan pemerintah militer di Jawa. Ada, Shunkichiro Miyoshi, administrator militer urusan Indonesia sekaligus penerjemah, pernah menjadi pejabat dinas luar negeri Jepang yang berkarier di Indonesia sejak 1926.

Bung Hatta mencatat, mereka terbang ke Dalat dan transit di Singapura. Baru tanggal 10 Agustus 1945, rombongan itu bergeser ke Saigon. Keesokan harinya tiba di Dalat, juga dengan pesawat.

Pada 12 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta dan tamu lainnya dari Indonesia berjumpa Terauchi. Hatta menggambarkan, pertemuan resmi tersebut berlangsung singkat.

Bung Karno dalam biografinya menyampaikan, Terauchi memberikan kebebasan bagi Indonesia untuk merdeka.

“Sekarang terserah pada Tuan. Pemerintah Kaisar menyerahkan proses kemerdekaan sama sekali di tangan Tuan,” tutur Terauchi.

Pernyataan itu membuat Bung Karno dan Hatta sangat senang. Mereka jadi seolah tidak mengerti situasi yang terjadi.

“Kami hanya berkomat-kamit. ‘Terima kasih. Terima kasih banyak’,” ujar Bung Karno.

Sementara Hatta mengaku gembira sekali karena pernyataan Jepang tersebut, diberikan tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-43. Akan tetapi, Hatta tidak mau terlalu larut dalam perasaan menggebu-gebu.

“Kegembiraan hati saya itu tidak saya bayangkan kepada siapa pun, kepada Soekarno pun tidak. Saya ingin supaya pikiran dan perasaan hati semuanya dipusatkan kepada peristiwa pengakuan kemerdekaan itu,” kata Hatta dalam Sekitar Proklamasi (1970).(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *