Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Detik Menentukan dan Kisah di Seputarnya (bagian tiga)

Rumah Laksamana Maeda

PONTIANAK, borneoreview.co – Proklamasi kemerdekaan Indonesia, merupakan satu momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

Ada kisah di seputarnya yang membuat momen dan sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, patut dijadikan pelajaran.

Seperti kisan Bung Karno dan Bung Hatta, jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang dibawa para pemuda menuju Rengasdengklok.

Bung Karno dan Bung Hatta setelah dibawa dari Jakarta, menuju Rengasdengklok, Karawang.

Mereka tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 09.00 WIB, 16 Agustus 1945, ditempatkan di asrama PETA selama kira-kira satu jam, sebelum dipindahkan ke rumah seorang Tionghoa, Djiauw Kie Siong, berjarak kurang lebih 300 meter.

Di sana, kegiatan Bung Karno dan Bung Hatta hanya menunggu kabar revolusi. Yang katanya dilaksanakan di Jakarta, sambil mengemong Guntur bergantian.

“Kami menghabiskan hari di Rengasdengklok dengan tidak mengerjakan apa-apa, kecuali menjaga Guntur,” kata Hatta.

Sementara itu di Jakarta, Achmad Soebardjo yang berkunjung ke rumah Bung Karno pada pagi hari, 16 Agustus 1945, akhirnya mengetahui Bung Karno dan Bung Hatta dibawa oleh pemuda. Akan tetapi, dia belum tahu ke mana.

Dalam buku Revoloesi Pemoeda – Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), Benedict Anderson menulis, informasi hilangnya Soekarno dan Hatta dari Jakarta, sampai ke atasan Soebardjo di Kantor Penghubung Angkatan Darat dan Laut Jepang di Indonesia, Laksamana Tadashi Maeda.

Awalnya, kata Anderson, Tadashi Maeda mengira Bung Karno dan Hatta diculik Angkatan Darat Jepang. Bayangannya itu buyar, ketika pihak angkatan darat negaranya, juga tidak mendengar kabar tersebut.

Dari Soebardjo, Maeda mendapatkan informasi bahwa Soekarno dijemput pemuda pada dini hari. Maeda kemudian mengutus salah satu staf kepercayaannya, yakni Shigetada Nishijima untuk menemui Wikana.

“Adu argumentasi yang emosional terjadi saat Nishijima mencoba membujuk Wikana, agar menunjukkan di mana kedua pemimpin itu, dan berjanji bahwa jika Wikana bersedia, maka Nishijima dan Maeda akan bekerja sama sepenuhnya dalam upaya mengumumkan kemerdekaan Indonesia,” kata Benedict Anderson.

Wikana pun bersedia memulangkan Bung Karno dan Bung Hatta. Untuk itu, diutuslah Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok bersama Jusuf Kunto dan Sudiro.

Turut serta pula bersama mereka, Tomegoro Yoshizumi, jurnalis dan mata-mata Jepang yang juga teman dan sepandangan dengan Nishijima.

Anderson menyebut, Maeda memberikan jaminan rombongan tersebut, tidak akan diganggu oleh kempeitai (polisi militer/polisi rahasia Jepang) sepanjang perjalanan. Keberadaan Yoshizumi juga menjadi peredam untuk gangguan-gangguan dari militer Jepang.

Sekira pukul 18.00 WIB, Soebardjo tiba di Rengasdengklok untuk membawa Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur kembali ke Jakarta. Ternyata, revolusi dengan belasan ribu pasukan tidak pernah terjadi di Jakarta.

Mereka tiba di Jakarta sekitar pukul 20.00 WIB. Hatta langsung meminta Soebardjo untuk menelepon Hotel Des Indes, tempat anggota PPKI menginap, dengan harapan dapat mengadakan rapat yang seharusnya dilaksanakan pukul 10.00 WIB di sana.

Namun, pihak Hotel Des Indes menolak memberikan ruang, lantaran aturan di sana tidak memperbolehkan kegiatan di luar menginap, lewat pukul 22.00 WIB.

Soebardjo, dengan izin Hatta, lalu menelepon Laksamana Maeda untuk rapat tersebut. Maeda setuju. Dari instruksi Hatta, Soebardjo kemudian menghubungi semua anggota PPKI, untuk berkumpul pada pukul 00.00 WIB di rumah Maeda.

Hampir pukul 22.00 WIB, Soekarno dan Hatta tiba di kediaman Laksamana Maeda. Akan tetapi, mereka belum dapat mengadakan rapat lantaran dipanggil oleh Sumobuco (Kepala Pemerintahan Umum), Mayor Jenderal Nishimura ke rumahnya.

Dalam pertemuan itu, Nishimura tidak mengizinkan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, lantaran Jepang sudah dalam kekuasaan sekutu.

Itu membuat semua perubahan “status quo” di daerah jajahan Jepang, harus dengan seizin sekutu.

Bung Karno dan Bung Hatta geram dengan pernyataan itu. Kemerdekaan Indonesia sudah di depan mata. Hatta menyebut, pertemuan yang berlangsung kira-kira dua jam tersebut, diwarnai perdebatan tetapi tidak menemui solusi.

Sepulang dari sana, Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda yang sudah ramai dengan anggota PPKI, para pemuda dan anggota Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat Jepang di Indonesia).

Hatta melihat ada setidak-tidaknya 40-50 orang di sana.

Bung Karno dan Bung Hatta bersikeras tetap melanjutkan pembicaraan kemerdekaan Indonesia, meski Nishimura tidak memberikan lampu hijau.

“Persoalannya sekarang adalah, bertindak atau mati,” tutur Bung Karno di biografinya.

Tidak lama setelah tiba di kediaman Maeda, Hatta menuturkan dalam Seputar Proklamasi bahwa dirinya, Soekarno, Soebardjo dan Sukarni, mengadakan rapat di ruang tamu untuk menyusun teks Proklamasi.

Hatta mengisahkan, Soekarno memintanya untuk membuat teks Proklamasi tersebut. Permohonan itu dibalas Hatta dengan jawaban, “Kalau saya mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, saya mendiktekannya.”

Kalimat pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebut Hatta, diambil dari paragraf ketiga rencana Pembukaan UUD 1945, sehingga menjadi “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.

Sementara kalimat kedua, Hatta melanjutkan, menggambarkan bagaimana revolusi harus dijalankan setelah merdeka.

“Lalu saya diktekan kalimat yang berikut: ‘Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’,” ujar Hatta.

Kalimat tersebut lalu ditanggapi dan didiskusikan lebih lanjut, sebelum akhirnya diterima. Hatta mengungkapkan, dalam rapat itu, Sukarni lebih banyak diam.

Menurut Hatta, ketika mereka tengah merumuskan Proklamasi, Laksamana Maeda naik ke lantai kedua, yang diyakininya ke kamar tidur. Namun, semua proses itu disaksikan oleh penerjemah Shunkichiro Miyoshi.

Rampung menyusun teks Proklamasi, Soekarno, Hatta, Soebardjo dan Sukarni bergeser ke ruang tengah.

Mereka lalu membicarakan teks tersebut dengan semua orang yang ada di sana, termasuk anggota PPKI dan para pemuda.

Seusai mendapatkan persetujuan dari semuanya, muncul persoalan baru tentang siapa yang menandatangani Proklamasi tersebut.

Hatta menegaskan, sepanjang ingatannya, yang memberikan usulan agar Proklamasi ditandatangani oleh Bung Karno dan Hatta atas nama rakyat Indonesia adalah Sukarni, yang diterima seluruh peserta.

Pernyataan tersebut sekaligus menolak anggapan, salah satunya dari Soebardjo sendiri, yang mengatakan bahwa ide agar Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani Proklamasi datang dari Sayuti Melik.

Kesepakatan supaya Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta, memunculkan sedikit kekecewaan di benak Hatta.

Bung Hatta ingin dokumen tersebut ditandatangani semua yang hadir di sana, mirip seperti Proklamasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

“Saya merasa kecewa karena saya harapkan mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari. Tetapi apa yang akan dikata?” kata Hatta dalam Sekitar Proklamasi.

Bung Hatta mengisahkan bahwa seluruh rangkaian rapat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selesai sekira pukul 03.00 WIB.

Pada momen inilah Laksamana Maeda dan anak buahnya seperti Nishijima, kembali ke tengah-tengah rapat dan mengucapkan selamat atas lahirnya Proklamasi itu.

Miyoshi sudah tidak lagi berada di rumah Maeda itu ketika rapat pindah ke ruang tengah.

“Sebelum rapat ditutup, Bung Karno memperingatkan bahwa hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945, jam 10 pagi Proklamasi itu akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur 56,” tutur Hatta.

Adapun teks Proklamasi yang disepakati kala itu dan diketik oleh Sayuti Melik adalah:

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *