Site icon Borneo Review

Proses Pembuatan Perahu dalam Tradisi Pacu Jalur, Harus Izin Alam

Tradisi Pacu Jalur

warga Kuantan Singingi, Riau, dan kayu yang akan dijadikan perahu dalam Tradisi Pacu Jalur. (ig@kuantanesia)

PONTIANAK, borneoreview.co – Tradisi Pacu Jalur terdiri dari dua kata yakni ‘pacu’ dan ‘jalur’. Pacu adalah lomba cepat dan jalur adalah perahu dalam bahasa setempat.

Namun, perahu dalam Tradisi Pacu Jalur tidak bisa sembarangan. Dia berasal dari kayu utuh dan tidak boleh ada sambungan.

Artinya, Tradisi Pacu Jalur ini bukan sekadar lomba ketangkasan perahu, tapi melihat hubungan manusia dengan alam secara lebih luas.

Melansir berbagai sumber, Kamis (21/8/2025), sejatinya nilai kearifan lokal pada Tradisi Pacu Jalur begitu terasa.

Tradisi pembuatan jalur khas Kuantan Singingi, Riau, bukan sekadar soal membentuk kayu menjadi perahu.

Setiap tahapnya sarat akan makna dan filosofi yang diwariskan secara turun-temurun sejak berabad-abad silam.

Jalur adalah perahu tradisional yang dibuat dari satu batang kayu utuh tanpa sambungan atau potongan apa pun.

Perahu ini dikenal kokoh, ramping, dan memiliki nilai seni tinggi. Karena itu, saat berpacu, jalur tidak mudah pecah, meluncur cepat, dan enak dipandang.

Pembuatan jalur membutuhkan waktu dan proses panjang yang melibatkan banyak pihak.

Prosesnya dimulai dari musyawarah kampung yang melibatkan pemuka adat, tokoh masyarakat, pemuda, dan kaum ibu.

Rapat yang dipimpin pemimpin adat ini bertujuan untuk menyepakati pembuatan jalur baru serta menentukan tahapan selanjutnya.

Berikut tahapan atau proses pembuatan perahu dalam Tradisi Pacu Jalur:

1. Izin Alam
Warga Kuantan Singingi melakukan pemilihan pohon terbaik di hutan dengan menjalankan ritual adat untuk memohon izin kepada alam sebelum menebang kayu.

Kayu yang dipilih pun tak sembarangan, harus kuat namun lentur, agar mampu melaju ringan di arus Sungai Kuantan atau Batang Kuantan.

2. Pilihan Kayu
Kayu pilihan umumnya berasal dari jenis banio, kulim kuyiang, atau jenis lain yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.

Kayu yang dicari harus lurus dengan panjang 25–30 meter, diameter 1–2 meter, dan diyakini dihuni mambang, yakni roh penjaga pohon.

3. Peran Pawang
Pemilihan kayu ini tak bisa sembarangan, karena jalur nantinya harus mampu menampung 40 hingga 60 orang pendayung.

Seorang pawang berperan penting dalam prosesi ini, termasuk memimpin ritual semah agar pohon tidak ‘hilang’ secara gaib.

4. Fisik Pohon
Setelah itu, pohon ditebang menggunakan kapak dan beliung, lalu dahan dan rantingnya dipisahkan.

Kayu yang sudah bersih dipotong ujungnya sesuai ukuran jalur, kemudian kulitnya dikupas dan diberi pembagian untuk haluan, badan, dan bagian-bagian penting lainnya.

5. Bentuk Awal
Selanjutnya, proses perataan bagian atas kayu (pendadan) dilakukan, dilanjutkan dengan pengerukan bagian dalam hingga ketebalannya merata (mencaruk).

Bagian sisi atas kayu pun diperhalus, membentuk bibir perahu agar tampil ramping dan seimbang.

6. Jaga Keseimbangan
Proses membalikkan kayu (manggaliak) dilakukan hati-hati agar bentuk dan ketebalan tetap seimbang.

Pengukuran ketebalan menggunakan lubang kecil yang nantinya ditutup pasak.

Setelah bagian luar selesai, jalur dikembalikan ke posisi semula untuk dibentuk haluan dan kemudi-nya.

7. Maelo Jalur
Jalur yang hampir jadi kemudian ditarik bersama-sama ke kampung dalam sebuah tradisi gotong royong yang dikenal dengan maelo jalur, sebuah prosesi penting yang mempererat persatuan warga.

8. Sentuhan Akhir
Di kampung, jalur dihaluskan lagi, dihias dengan ukiran khas, dan diasapi untuk memperkuat kayu.

9. Turun ke Sungai
Proses pembuatan jalur ditutup dengan penurunan perahu ke sungai melalui upacara adat, menandai selesainya seluruh rangkaian pembuatan jalur yang penuh nilai budaya dan kebersamaan.***

Exit mobile version