JAKARTA, borneoreview.co – Di tengah geliat riset di perguruan tinggi dan lembaga penelitian Indonesia, ada satu kenyataan yang makin menonjol dan mestinya menjadi perhatian nasional.
Yakni, karya ilmiah yang dahulu dianggap public good, kini kian tergantung biaya, agar bisa dipublikasikan.
Penulis atau peneliti sekarang tidak hanya mengejar gagasan yang orisinal atau metode yang kuat. Juga harus memikirkan: “Apakah saya mampu membayar Article Processing Charge (APC)?”
Beberapa jurnal di Indonesia sudah terang-terangan menetapkan biaya publikasi, dan nominalnya bervariasi tergantung reputasi jurnal dan tingkat akses terbuka (open access).
“Biaya publikasi tersebut berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp3 juta per artikel, bahkan ada yang menetapkan standar biaya hingga Rp50 juta per artikel,” tulis Pormadi Simbolon, pemerhati isu pendidikan dan pegiat literasi, tinggal di Banten.
Jelas, biaya publikasi bukanlah angka kecil, terutama bagi peneliti yang tidak memiliki dana proyek besar, atau fasilitas institusi mumpuni.
Dampak dan Risiko
Ada beberapa dampak dari komoditas pengetahuan tersebut.
Pertama, terjadi ketimpangan antar peneliti dan institusi. Peneliti di universitas ternama atau yang memiliki akses ke dana riset lebih mudah membayar APC.
Sebaliknya, peneliti dari daerah, dari institusi lebih kecil, atau yang belum punya dana penelitian lancar bisa tersisih, bahkan jika gagasan mereka sama kuatnya.
Kedua, publikasi tidak sepenuhnya tentang kualitas ilmiah. Bila bayar publikasi menjadi bagian tak terelakkan, ada potensi bahwa keputusan untuk menulis, memilih jurnal.
Atau, kolaborasi mulai dipengaruhi oleh kemampuan dana, bukan semata-mata relevansi atau mutu riset.
Ketiga, waspada predatory journals dan beban reputasi. Ada risiko meningkatnya jurnal-jurnal yang menawarkan penerbitan cepat dengan biaya.
Tapi mengabaikan peer review dan standar etika. Peneliti yang “terpancing” bisa merusak reputasi diri dan lembaganya.
Keempat, dana penelitian teralihkan. Uang yang seharusnya digunakan untuk survei lapangan, eksperimen, pengumpul data.
Atau, publikasi non-ilmiah (pengabdian masyarakat, diseminasi) terkikis oleh biaya publikasi.
Jalan Tengah
Walaupun model publikasi dengan open access bertujuan mulia yaitu membuka akses ilmu bagi public, sistem pembiayaannya perlu dibangun dengan prinsip keadilan epistemik.
Siapa pun yang berkontribusi pada pengetahuan, harus punya kesempatan yang sama untuk menyebarkannya.
Ada beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh oleh pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas ilmiah Indonesia.
Pertama, perlu adanya fasilitas dana publikasi terarah dari pemerintah. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Pemerintah dapat membuat skema hibah APC nasional yang tidak hanya didasarkan pada prestise jurnal, tetapi juga pada relevansi sosial dan kontribusi penelitian terhadap pembangunan bangsa.
Dengan mekanisme seleksi yang transparan, dana ini bisa menjadi jembatan bagi peneliti daerah, dosen muda, dan peneliti independen yang kesulitan menembus jurnal bereputasi karena keterbatasan biaya.
Kedua, perguruan tinggi perlu memperkuat jurnal internal (institusional) mereka. Banyak universitas di Indonesia telah menggunakan platform Open Journal Systems (OJS) yang memungkinkan penerbitan tanpa biaya besar.
Menurut pengamatan penulis di tempat bekerja, dengan dukungan anggaran, pelatihan editor, dan pendampingan dari lembaga nasional.
Seperti BRIN, jurnal-jurnal tersebut dapat menjadi wadah publikasi kredibel yang gratis, setara, dan berstandar internasional.
Pendekatan ini bukan hanya soal penghematan, tetapi tentang membangun kedaulatan ilmu pengetahuan nasional.
Ketiga, penting bagi asosiasi profesi dan lembaga penelitian untuk mengembangkan pedoman etika publikasi dan daftar jurnal terpercaya.
Kementerian dapat bekerja sama dengan Forum Pengelola Jurnal Indonesia atau Asosiasi Penerbit Ilmiah Indonesia untuk menyusun indeks jurnal yang memenuhi kriteria transparansi, etika, dan mutu.
Edukasi publikasi ini akan menekan maraknya predatory journals yang mencoreng reputasi akademik.
Keempat, perlu perubahan paradigma dalam penilaian kinerja dosen dan peneliti. Evaluasi akademik sebaiknya tidak lagi semata-mata didasarkan pada kuantitas publikasi.
Atau indeks sitasi, tetapi pada substansi riset, dampak sosial, dan kebermanfaatan bagi masyarakat.
Dengan demikian, dosen tidak lagi “dipaksa” mengejar publikasi berbayar, melainkan termotivasi menghasilkan karya yang bermakna dan dapat diakses luas.
Kelima, negosiasi kolektif dengan penerbit internasional perlu segera dipertimbangkan.
Perguruan tinggi negeri dan lembaga penelitian besar, bisa membentuk konsorsium nasional untuk menegosiasikan potongan biaya APC dengan penerbit besar. Seperti Elsevier, Springer, atau Taylor & Francis.
Model serupa telah berhasil dilakukan oleh beberapa negara Eropa melalui skema transformative agreement yang menekan biaya publikasi hingga 50 persen.
Keenam, dorong literasi publikasi terbuka yang kritis dan humanis.
Open access bukan sekadar soal gratis atau bayar, tetapi tentang tanggung jawab moral untuk membagikan pengetahuan.
Kampus perlu menanamkan nilai bahwa menulis ilmiah bukan demi angka kredit atau gengsi akademik, melainkan bagian dari panggilan untuk membangun masyarakat berpengetahuan.
Ilmu Adalah Kunci
Publikasi ilmiah adalah kunci pembangunan intelektual dan pembangunan bangsa. Namun, ketika akses ke publikasi dijual, bukan hanya literatur yang dibatasi
“Melainkan membatasi juga siapa yang boleh berbicara dalam ruang ilmiah,” tulis Pormadi Simbolon.
Jika biaya publikasi menjadi penentu, kita berisiko kehilangan suara dari daerah terpencil, dari penelitian budaya lokal, dan dari gagasan-gagasan kritis yang tidak mendapat prioritas pendanaan besar.
Media-media nasional, sebagai jendela opini masyarakat yang luas, dapat menjadi arena untuk mendorong perubahan kebijakan ini.
Agar ilmu pengetahuan bukan lagi komoditas yang hanya terjangkau oleh mereka yang mampu membayar. Tapi tetap menjadi warisan untuk seluruh bangsa.
“Indonesia butuh kebijakan yang memastikan bahwa kemampuan ilmuwan menulis bukan diukur dari dompetnya, tapi dari kedalaman pikir dan keberanian bertanya,” tulis Pormadi Simbolon.(Ant)