JAKARTA, borneoreview.co – Struktur rantai pasok sawit rakyat di Indonesia dinilai belum siap menghadapi penerapan regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Ketidaksiapan sawit rakyat ini dikhawatirkan akan membuat produk sawit dari petani kecil tereliminasi dari pasar Eropa yang semakin ketat terhadap isu keberlanjutan dan deforestasi.
Peneliti Mitra INDEF, Afaqa Hudaya, mengungkapkan bahwa sistem perdagangan sawit rakyat yang masih bersifat informal dan minim transparansi menjadi akar persoalan utama. Menurutnya, sebagian besar petani kecil masih mengandalkan perantara dalam menjual tandan buah segar (TBS), bukan langsung ke pabrik pengolahan.
“Lebih dari 76 persen petani sawit kecil di Indonesia menjual TBS melalui perantara. Akibatnya, rantai pasok menjadi tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga asal-usul produk sulit dilacak,” ujar Afaqa dalam diskusi publik INDEF bertema “Memperkuat Daya Saing Petani Kecil dalam Kerangka EUDR untuk Sawit Berkelanjutan”, Rabu (15/10/2025).
Ia menegaskan bahwa dalam konteks penerapan EUDR, ketidaktransparanan sistem menjadi masalah serius. “Produk tanpa catatan asal-usul yang jelas tidak akan diterima di pasar Eropa,” tambahnya.
Afaqa menjelaskan, sekitar 41 persen produksi sawit nasional berasal dari petani kecil. Karena itu, ketidaksiapan mereka dalam memenuhi standar keberlanjutan berpotensi mengganggu keberlanjutan ekspor sawit Indonesia.
Sebagai informasi, EUDR mewajibkan seluruh produk sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa untuk memiliki data geolokasi kebun, legalitas lahan, serta sertifikasi keberlanjutan. Tujuannya untuk memastikan produk tersebut tidak berasal dari lahan hasil deforestasi.
Berdasarkan survei INDEF di delapan daerah penghasil sawit, hanya sekitar 10 persen petani kecil yang sudah memiliki sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO maupun RSPO. Sementara itu, tujuh dari sepuluh petani belum memiliki data spasial kebun, padahal ketelusuran geolokasi menjadi salah satu syarat utama dalam sistem EUDR.
“Mayoritas petani sawit kecil belum memiliki kemampuan teknologi, akses pembiayaan, maupun dokumen legal dasar seperti STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya). Kondisi ini membuat mereka rentan tersingkir dari rantai pasok ekspor,” ujar Afaqa.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa tanpa reformasi struktur rantai pasok dan peningkatan kapasitas digital, petani kecil akan terus terjebak dalam lingkaran informalitas. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat pemetaan spasial kebun sawit rakyat, mendorong sertifikasi berbasis kelompok atau koperasi, serta mengembangkan platform digital traceability yang inklusif agar data petani dapat diverifikasi secara kolektif.
“EUDR seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai momentum memperbaiki tata kelola sawit rakyat. Namun, upaya ini harus disertai dukungan kebijakan, pembiayaan, dan pendampingan yang memadai,” tutup Afaqa.***

