Oleh: E. N.
KETAPANG, borneoreview.co – Setiap tahun, tanggal 17 September diperingati sebagai Hari Perhubungan Nasional. Di berbagai kota, momen ini dirayakan dengan upacara, seminar, dan publikasi kinerja. Media sosial pun dipenuhi dengan status twibbon dan ucapan selamat memperingati Hari Perhubungan Nasional.
Namun, di ujung barat Pulau Borneo, tepatnya di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, saya justru ingin bertanya: apa yang sebenarnya kita peringati? Sebab hingga kini, dampak nyata dari peringatan itu belum benar-benar dirasakan oleh masyarakat, karena faktanya masih banyak warga yang justru belum benar-benar terhubung.
Sebagai seorang putra daerah yang lahir dan tumbuh di sini, saya nyaris tak pernah merasakan hadirnya negara dalam urusan transportasi. Sejak kecil, ketika hendak berangkat sekolah, saya kerap menumpang truk pengangkut batu dan tanah yang sedang bekerja memperbaiki jalan. Sejak dulu pula, perjalanan antarwilayah di kampung kami selalu mengandalkan sepeda motor.
Saya masih ingat, pamanku pernah menempuh perjalanan dari Teluk Batang ke Ketapang hanya dengan mengayuh sepeda—bukan karena ingin berhemat, melainkan karena memang tidak pernah ada transportasi publik yang disediakan pemerintah.
Ironisnya, hingga tahun 2025 ini, kondisi tersebut masih sama: kami tidak memiliki sistem angkutan publik resmi yang terjangkau dan teratur. Memang benar ada penerbangan umum di Ketapang dan kapal feri di jalur Teluk Batang–Rasau, tetapi layanan itu tidak menjawab kebutuhan mobilitas harian masyarakat. Yang tersedia hanyalah mobil-mobil pribadi yang menawarkan jasa angkutan dengan dalih sebagai travel, beroperasi tanpa regulasi jelas dan tanpa keberpihakan pada rakyat kecil.
Transportasi Bukan Sekedar Jalan, Tapi Sistem dan Akses
Sebagian mungkin akan membantah, “Bukankah jalan-jalan utama sudah dibangun?” Ya, infrastruktur jalan memang ada—tetapi kualitasnya sering naik-turun. Jalan poros utama pernah terlihat mulus dan seakan menjanjikan, namun kondisi itu jarang bertahan lama. Hanya dalam hitungan bulan, permukaan mulai rusak, lubang menganga, hingga akhirnya putus di beberapa titik. Bagi masyarakat Ketapang dan Kayong Utara, pemandangan semacam ini bukan hal baru, melainkan kenyataan sehari-hari yang terulang.
Pengalaman ini memperlihatkan bahwa membangun jalan saja tidak cukup. Transportasi bukan sekadar beton dan aspal, melainkan sebuah sistem utuh yang harus berfungsi terus-menerus. Sistem itu mencakup kendaraan yang layak jalan, operator yang bertanggung jawab, terminal yang melayani, jadwal yang teratur, tarif yang wajar, standar keselamatan yang jelas, serta pengawasan yang konsisten. Tanpa itu semua, jalan hanya akan menjadi infrastruktur setengah hati—ada wujudnya, tetapi gagal menjawab kebutuhan masyarakat.
Ketiadaan sistem inilah yang paling terasa dalam keseharian warga. Ongkos mobilitas sangat tinggi. Tiket pesawat dari Pontianak ke Ketapang, misalnya, bisa menembus Rp1,2 juta padahal hanya ditempuh dalam waktu 50 menit. Ironisnya, rute Pontianak–Jakarta yang berjarak lebih jauh dengan durasi sekitar 90 menit justru sering kali lebih murah. Jalur darat pun tidak kalah mahal; travel Pontianak–Ketapang rata-rata Rp400 ribu sekali jalan. Sedangkan jalur laut, meski sedikit lebih terjangkau, tetap menyedot biaya: speed boat Pontianak–Sukadana Rp250 ribu, kapal kelotok Pontianak–Teluk Batang Rp100 ribu, dan rute Rasau–Teluk Batang Rp90 ribu.
Lebih memprihatinkan lagi, jalur laut juga menyimpan risiko keselamatan. Jumlah jaket pelampung yang tersedia di kapal atau speed boat sering kali tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang diangkut. Banyak orang akhirnya berlayar tanpa perlindungan memadai, padahal mereka melintasi sungai atau laut yang sewaktu-waktu bisa menghadirkan bahaya. Kondisi ini berlangsung karena lemahnya pengawasan, sehingga standar keselamatan dianggap sepele. Pada akhirnya, masyarakatlah yang menanggung risiko, seakan-akan keselamatan mereka hanya bergantung pada nasib baik.
Potret mahalnya biaya transportasi sekaligus rentannya keselamatan menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang ada. Tanpa peran nyata negara, transportasi di daerah ini berjalan sebagai pasar bebas—yang kuat yang bertahan, sementara rakyat kecil harus berjuang sendiri.
Di Mana Peran Dinas Perhubungan?
Pertanyaan sederhana namun mendasar: apa sebenarnya peran Dinas Perhubungan di Ketapang dan Kayong Utara selama ini? Selama bertahun-tahun, yang paling nyata hanya penarikan retribusi keluar-masuk pelabuhan. Tetapi tanggung jawab lebih besarnya—sebagai perencana, pengendali, bahkan penyedia layanan publik—hampir tak terasa.
Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan angkutan umum yang memenuhi prinsip keterjangkauan, keselamatan, keteraturan, dan keberlanjutan. Sayangnya, tanggung jawab itu masih sebatas dokumen.
Konsekuensi Diam: Rakyat Jadi Korban
Ketidakhadiran negara berimbas langsung pada rakyat. Tarif transportasi jauh lebih mahal dibanding daerah lain yang mendapat subsidi. Keselamatan juga dipertaruhkan: kendaraan tanpa izin, tidak layak jalan, atau tanpa asuransi bebas beroperasi karena tidak ada pengawasan lapangan.
Lebih jauh lagi, akses pendidikan dan kesehatan pun terganggu. Anak-anak sekolah masih ada yang menumpang truk sawit, sementara ibu hamil kesulitan mencari kendaraan saat darurat medis. Situasi ini bukan hanya masalah teknis, tapi soal hak dasar warga negara untuk bergerak.
Belajar dari Daerah Lain
Di banyak daerah lain di Kalimantan bahkan Papua, pemerintah daerah sudah bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan menghadirkan program angkutan perintis dan subsidi penumpang. Meski sederhana, paling tidak rakyat merasakan kehadiran negara.
Lalu, mengapa Ketapang dan Kayong Utara tertinggal? Apakah benar tidak ada dana, atau sebenarnya tidak ada kemauan politik?
Harapan: Mulai dari yang Kecil, Tapi Nyata
Saya menulis ini bukan untuk mencela, melainkan sebagai pengingat. Sebab saya percaya, masih banyak pejabat dan ASN di daerah yang sebenarnya memiliki kepedulian, hanya saja mereka membutuhkan dorongan dan keberanian untuk mengambil langkah nyata.
Harapan itu tidak harus dimulai dari sesuatu yang besar. Satu rute bus kecil bersubsidi antar-kecamatan saja, misalnya, sudah bisa memberi perubahan besar bagi warga yang selama ini bergantung pada transportasi mahal. Atau sebuah dermaga rakyat yang difungsikan kembali sebagai terminal air sederhana, yang memungkinkan orang kampung menjangkau pusat layanan dengan biaya lebih terjangkau.
Bahkan, sebuah tim kecil lintas instansi yang benar-benar serius memetakan kebutuhan rute transportasi prioritas akan menjadi awal yang berarti.
Karena sesungguhnya transportasi bukan semata-mata soal kendaraan. Lebih dari itu, ia adalah persoalan keadilan sosial. Transportasi menyatukan yang jauh, mempertemukan yang terpisah, dan menjembatani ketimpangan.
Kehadirannya bisa menentukan apakah seorang anak dapat bersekolah tepat waktu, apakah seorang ibu hamil dapat selamat sampai rumah sakit, dan apakah sebuah keluarga mampu menjaga ikatan dengan sanak saudaranya di kampung seberang. Semua itu bisa dimulai dari langkah kecil, asalkan nyata dan berkesinambungan.
Jangan Biarkan Rakyat Berjalan Sendiri
Hari Perhubungan Nasional mestinya bukan sekadar seremoni. Ia harus menjadi momen refleksi: apakah negara sudah hadir di setiap jengkal tanahnya?
Saya, seorang anak dari perbatasan antara Ketapang dan Kayong Utara, masih ingin percaya bahwa negara belum sepenuhnya absen. Bahwa suara kecil ini bisa didengar oleh mereka yang berwenang mengubah arah.
Karena rakyat tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin hak untuk bergerak—bergerak tanpa dihantui rasa waswas, bergerak dengan selamat sampai tujuan, dan bergerak dengan biaya yang masih sanggup mereka jangkau. Dan untuk itu, negara semestinya hadir, bukan hanya sebagai pengatur dari jauh, tetapi sebagai penggerak yang nyata, yang memastikan setiap langkah rakyatnya sampai di tujuan dengan aman dan bermartabat.***
*Penulis merupakan Putra Daerah Kayong Utara, Kalimantan Barat