Site icon Borneo Review

Reforma Agraria, Mencari Tata Cara Baru Demi Keadilan Distribusi Tanah di Indonesia

Reforma Agraria

Kondisi Desa Rejoagung, Kabupaten Jombang, pascamendapat program Reforma Agraria. (ANTARA/HO-Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional )

JAKARTA, borneoreview.co – Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia telah lama menjadi pekerjaan rumah bangsa.

Indeks Gini penguasaan tanah yang mencapai 0,78 menjadi penanda betapa distribusi tanah masih belum merata.

Ada segelintir pihak yang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani belum memiliki lahan untuk bercocok tanam.

Namun, di tengah tantangan besar ini, momentum baru tengah terbuka untuk mencari jalan keluar yang lebih adil dan berkeadilan sosial.

Moh Jumhur Hidayat, Ketua Dewan Penasihat Great Institute, mengingatkan betapa pentingnya menjadikan isu tanah sebagai ruang dialog terbuka.

Ketimpangan tanah dan kasus penggusuran yang masih terjadi justru menjadi alasan kuat untuk membangun semangat baru dalam menyelesaikan persoalan ini.

Diyakini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ada ruang besar untuk orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat kecil.

Optimisme ini lahir dari keyakinan bahwa keberanian politik adalah modal utama untuk membalikkan ketimpangan lama menjadi peluang keadilan baru.

Sebagaimana Ahmad Irawan, anggota Komisi II DPR RI, yang melihat inti masalah terletak pada regulasi yang masih tumpang tindih dan distribusi tanah yang belum terkelola dengan baik.

Menurut dia, ribuan desa masih secara hukum berada di kawasan hutan, meski warganya sudah tinggal di sana jauh sebelum republik berdiri.

Masyarakat di tanah leluhurnya sendiri sering kali dianggap sebagai pendatang.

Kepastian hukum menjadi kunci agar reforma agraria bisa benar-benar berjalan.

Tantangan ini bisa diubah menjadi kesempatan jika negara berani menata ulang regulasi dan menegakkan aturan secara konsisten.

Persoalan juga muncul dari keberadaan Bank Tanah. Meski membawa misi pengelolaan aset tanah negara, lembaga ini dinilai masih perlu membuktikan keberpihakannya.

Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria menekankan bahwa reforma agraria seharusnya dipahami bukan hanya soal administrasi redistribusi.

Tapi juga perubahan struktur kepemilikan tanah agar lebih adil.

Jika reforma agraria berjalan, justru sebenarnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan inklusif.

Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bumi dan air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pandangan ini memperlihatkan bahwa dengan arah yang tepat, reforma agraria bisa menjadi motor pembangunan, bukan hambatan.

Di era digital, solusi teknologi juga memberi harapan baru.

Dr Agung Indrajit, dari Otorita IKN, pernah menegaskan perlunya digitalisasi pertanahan melalui Land Administration Domain Model.

Dengan data yang transparan, interoperable, dan terbuka, ruang untuk manipulasi dan kesenjangan informasi bisa dipersempit.

Tanah tidak lagi sekadar urusan hukum yang rumit, tetapi bisa dikelola dengan sistem data modern yang memberi akses adil kepada semua pihak.

Teknologi menawarkan peluang besar untuk mempercepat reforma agraria, sekaligus menutup celah penyalahgunaan.

Hak Ulayat

Suara masyarakat adat juga tidak boleh diabaikan. Dr. Lilis Mulyani, dari BRIN, menekankan pentingnya memperkuat kembali hak ulayat yang selama ini tergerus oleh regulasi sektoral.

Jika hak-hak kolektif ini dipulihkan, masyarakat adat tidak hanya mendapatkan kembali tanahnya, tetapi juga menjaga identitas, budaya, dan sumber kehidupan mereka.

Inilah bentuk reforma agraria yang lebih holistik, bukan hanya redistribusi lahan, tetapi juga pemulihan martabat.

Kalangan petani, bahkan telah menyerukan dan mengingatkan bahwa reforma agraria adalah soal hidup dan mati.

Selama tanah terkonsentrasi di tangan segelintir pihak, petani akan tetap miskin dan kedaulatan pangan sulit dicapai.

Sementara jika petani memiliki lahan, mereka akan mampu memperkuat fondasi kedaulatan pangan nasional.

Artinya, reforma agraria bukan sekadar isu keadilan, tetapi juga strategi pembangunan ekonomi dan pangan jangka panjang.

Persoalan tanah juga merambah perkotaan. Hendry Harmen, dari Great Institute, menyoroti backlog perumahan yang mencapai 12,7 juta unit.

Kawasan kumuh yang menampung lebih dari satu juta jiwa, serta harga tanah di Jakarta yang melambung tinggi.

Menurutnya, reforma agraria perkotaan harus memberi jawaban nyata, yaitu hunian layak untuk rakyat, terutama pekerja informal yang selama ini terpinggirkan.

Dengan begitu, reforma agraria bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, baik di desa maupun di kota.

Gagasan besar juga pernah disampaikan dari Arwin Lubis, aktivis pertanahan, yang mengusulkan pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) langsung di bawah Presiden.

Lembaga ini, dengan struktur ramping dan satu deputi khusus untuk menegakkan tafsir hukum secara tegas.

Sehingga bisa menjadi terobosan untuk menghapus tarik-menarik kewenangan yang selama ini memperlambat reforma agraria.

BPRA diharapkan mampu mendistribusikan tanah eks-HGU yang sudah lama berakhir, tetapi belum tersentuh redistribusi.

Jika dibentuk, BPRA bisa menjadi simbol keberanian negara untuk berpihak pada rakyat.

Keadilan agraria pada akhirnya adalah fondasi pembangunan Indonesia. Selama masalah tanah belum tuntas, kesenjangan sosial akan terus menganga.

Sebaliknya, jika reforma agraria sejati dijalankan dengan serius, keadilan sosial akan tumbuh, petani akan sejahtera, masyarakat adat terlindungi, pekerja kota mendapat hunian, dan kedaulatan pangan tercapai.

Reforma agraria sejati adalah agenda bangsa, bukan sekadar proyek birokrasi.

Harapan kini tertuju pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Dengan keberanian politik dan dukungan masyarakat.

Reforma agraria bisa menjadi jalan baru untuk menegakkan janji konstitusi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Inilah kesempatan bagi Indonesia untuk menutup luka lama dan membuka lembaran baru, yakni tanah untuk rakyat, keadilan untuk semua, dan masa depan yang lebih berdaulat.***

Exit mobile version