SANGGAU, borneoreview.co – Kartu GSM berbagai merek, tersusun rapi di atas meja kayu sederhana. Tidak ada poster promosi. Tidak ada penyejuk ruangan.
Hanya tangan yang terampil memilih dan memilah. Perempuan muda itu bernama Nuraerelani. Ia sedang sibuk menghitung ulang stok kartu.
Nuraerelani penjual kartu GSM harian di kampung Kayu Ara, Desa Kuala Buayan, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Masih muda, berusia 26 tahun. Hidupnya bergantung pulsa data, serta kartu perdana.
Saat rencana registrasi kartu SIM, berbasis pengenalan wajah tahun 2026 beredar luas, keresahan itu terlihat nyata.
“Mau makan apa saya ini, jika benar itu diterapkan. Kartu GSM ini saya beli. Bukan minta,” ucap Nuraerelani kepada Borneoreview.co pada Kamis (25/112/2025).
Kalimat itu bukan retorika. Itu laporan lapangan. Di wilayah pedesaan, kartu GSM bukan sekadar produk. Ia sumber nafkah harian.
Nuraerelani bukan satu satunya. Di banyak wilayah Kalimantan Barat, pedagang kecil bergantung pada perputaran kartu prabayar.
Kebijakan pemerintah pusat, berpotensi menghentikan aliran ekonomi mikro, tanpa peringatan memadai.
Registrasi SIM Wajah
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi)berencana mewajibkan registrasi kartu SIM, memakai teknologi face recognition mulai 2026.
Alasan resmi terdengar normatif, pemberantasan kejahatan siber, serta penipuan daring. Namun, para pengamat melihat sisi gelap yang belum dibuka ke publik.

Pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya secara terbuka mengingatkan negara, agar tidak mengulangi kesalahan lama.
“Kegagalan sistem atau kebocoran data biometrik di masa depan, akan menjadi ancaman serius,” ucap Alfons Tanujaya.
Ia merujuk kasus bocornya ratusan juta data kependudukan nasional, yang hingga kini masih dimanfaatkan pelaku penipuan digital.
Bedanya, kali ini yang dikumpulkan bukan sekadar nama atau nomor induk, melainkan wajah manusia.
Data biometrik bersifat permanen. Sekali bocor tidak dapat ditarik kembali.
Kebijakan Menyimpan Risiko
Kekhawatiran lain datang dari sisi hak warga negara. Mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih menilai kebijakan ini menyimpan risiko struktural.
“Sekali data biometrik bocor, dampaknya terasa seumur hidup. Karena data tersebut tidak bisa di-reset atau diganti, seperti kata sandi,” ujar Alamsyah Saragih.
Pernyataan itu menohok. Negara belum pernah sepenuhnya membuktikan, kemampuan melindungi data sensitif warganya. Namun, kini justru ingin mengumpulkan bentuk data paling intim.

Selain itu ada persoalan akses. Hingga 2023, Indonesia masih memiliki lebih dari 154 ribu menara BTS 2G, terutama wilayah terluar tertinggal. Artinya, jutaan warga masih memakai ponsel fitur tanpa kamera depan.
Alamsyah Saragih mengingatkan, tanpa mitigasi matang, kebijakan ini justru memutus hak komunikasi.
Dari sisi teknis, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti potensi kegagalan sistem.
“Perbedaan wajah saat ini, dengan foto e-KTP lama berisiko menyebabkan exclusion error,” kata Heru Sutadi.
Foto e-KTP mayoritas diambil sekitar 2014. Wajah berubah. Sistem algoritma belum tentu adaptif.
Jika verifikasi gagal, warga tidak bisa membeli kartu baru. Pedagang kehilangan pembeli. Komunikasi terhenti.
Heru menegaskan, negara tidak boleh menutup opsi manual.
“Verifikasi tatap muka harus tetap tersedia, agar warga tidak kehilangan hak layanan telekomunikasi,” ujarnya menjelaskan.
Jadwal implementasi telah disusun. Januari 2026, tahap sukarela. Juli 2026, kewajiban penuh pelanggan baru.
Namun, di meja kayu Nuraerelani jadwal itu terasa mengancam. Tidak ada sosialisasi teknis. Tidak ada jaminan kompensasi. Tidak ada skema transisi ekonomi kecil.
Ia hanya melihat kartu GSM menumpuk perlahan. Ketakutan itu sederhana, kehilangan pembeli kehilangan penghasilan kehilangan makan.
Kebijakan digital sering lahir dari ruang rapat dingin. Dampaknya jatuh di desa panas berdebu.
Negara berbicara keamanan siber. Warga desa berbicara perut. Ironi yang kerap kurang singkron, untuk ketemu atau sekadar tertaut.***
