Site icon Borneo Review

Rio De Janeiro, Kisah Patung Kristus Sang Penebus dan Pesan Damai BRICS

Kota Rio de Janeiro

Lanskap Kota Rio De Janeiro, Brazil, dari balik kaca panoramik Trem generasi keempat yang dioperasikan sejak 2019 menuju ke Patung Kristus Sang Penebus di Gunung Corcovado, Rie De Janeiro, Brazil, Minggu (6/7/2025). (ANTARA/Andi Firdaus)

RIODEJANEIRO, borneoreview.co – Angin dingin di musim panas, membawa aroma lembap dari hutan Tijuca di Rio De Janeiro, Minggu (6/7/2025).

Angin menyelusup hingga ke dalam kabin trem. Yang menanjak perlahan dari Cosme Velho, menuju puncak Gunung Corcovado, tempat Patung Kristus Sang Penebus.

Di sisi kanan posisi duduk, lanskap Kota Rio de Janeiro terbuka, seperti lukisan raksasa.

Jendela panoramiknya menampilkan Samudera Atlantik yang siang itu memantulkan warna biru laut, sebiru langit tak berawan yang menjadi atapnya.

Seiring trem mendaki di ketinggian sekitar 350 meter, Rio de Janeiro, Sang Cidade Maravilhosa, masih memamerkan pesona lanskap perkotaan modern Brasil, di antara gugusan pulau kecil.

Meskipun, status ibu kota telah resmi berpindah ke Brasília sejak 65 tahun silam.

Trem yang kami tumpangi merupakan generasi keempat sejak 2019, berkapasitas 360 wisatawan dari mancanegara, termasuk enam pewarta peliput KTT BRICS yang datang dari Jakarta.

BRICS adalah organisasi antarpemerintah yang bertujuan memperkuat kerja sama ekonomi, politik, dan budaya di antara negara-negara anggotanya.

Ada yang beruntung mendapatkan tempat duduk, menikmati perjalanan dengan keluarga atau kolega mereka.

Namun, tidak sedikit juga yang harus berdiri di lorong tengah atau di antara sambungan gerbong tanpa jendela, berbagi tawa dan decak kagum.

Bagi mereka yang memilih duduk di sisi kanan trem, setiap tikungan jalur menyajikan pemandangan kota yang lebih menakjubkan.

Sementara itu, sisi kiri trem menawarkan dominasi hijaunya Hutan Tijuca yang rimbun, dengan beraneka jenis tanaman tropis yang tumbuh subur.

Setibanya penumpang di stasiun tujuan, mereka diarahkan untuk berjalan kaki menapaki ratusan anak tangga yang membelah hutan.

Sesekali, tampak menyelusup hewan liar, seperti makaka hingga burung elang.

Bagi yang tidak cukup stamina bisa memilih naik lift yang berjarak selemparan batu dari stasiun akhir, atau menaiki eskalator yang terpasang menjelang area patung.

Legenda dari Corcovado

Gunung Corcovado menjulang setinggi 710 meter di atas Rio de Janeiro. Dari sanalah, patung Kristus berdiri, tangannya membentang selebar 28 meter, seolah ingin memeluk seisi kota.

Sebelum menjadi mercusuar spiritual yang mendunia, tempat ini hanya bisa diakses oleh para pendaki atau penunggang kuda.

Segalanya berubah pada 1872, ketika Kaisar Dom Pedro II mengeluarkan dekrit pembangunan Kereta Api Corcovado.

Jalur tersebut diresmikan pada 1884 di hadapan keluarga kekaisaran, dengan kereta uap pertama yang menaklukkan tanjakan ekstrem melalui sistem rel rak.

Jalur trem yang kini dilintasi wisatawan, merupakan transformasi teknologi yang mendahului zaman pada era 1910.

Kereta listrik pertama di Amerika Latin ini awalnya dioperasikan di bawah manajemen perusahaan Light & Power.

Jalur sepanjang 3,8 km ini menjadi urat nadi transportasi menuju ketinggian untuk mengangkut potongan material proyek pembangunan Patung Kristus Sang Penebus.

Patung setinggi 30 meter ditambah pondasi 8 meter ini, bukan sekadar tumpukan batu sabun berbobot 1.145 ton.

Ia adalah doa yang dibangun dengan seni, spiritualitas, dan harapan kolektif manusia.

Peletakan batu pertama dilakukan pada 4 April 1922, bertepatan dengan perayaan 100 tahun kemerdekaan Brasil. Pembangunan fisik baru dimulai pada 1926.

Setiap potongan beton, baja, dan batu sabun diangkut perlahan oleh kereta menuju puncak gunung.

Arsiteknya adalah Heitor da Silva e Costa yang memimpin pembangunan Patung Kristus Sang Penebus, setelah memenangi sayembara di Gereja Katolik pada 1924 dalam rangka memperingati 100 tahun kemerdekaan Brasil.

Untuk bagian kepala dan tangan, dia menggandeng pematung asal Prancis, Maximilien Paul Landowski. Seniman Carlos Oswald menyempurnakan desain akhir, dan pada 12 Oktober 1931, patung itu diresmikan secara nasional.

Pada 2006, lokasi ini ditetapkan sebagai Tempat Suci oleh Keuskupan Agung. Di bagian alas patung, terdapat ruang kapel kecil untuk Bunda Maria dari Aparecida, yang selalu dipadati jemaat Nasrani untuk berdoa.

Pada tahun yang sama, statusnya diakui sebagai Situs Warisan Nasional, dan pada 2007, dunia pun memberi pengakuan kepada Patung Kristus Sang Penebus resmi sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Modern.

Hari ini, lebih dari 2 juta pengunjung datang setiap tahun, dengan harga tiket berkisar Rp192.000 hingga Rp373.000 per orang, tergantung usia untuk sekali kunjungan.

Salah satunya, Yohanes Leonardo Rudolf (27), satu dari enam pewarta BRICS dari Jakarta yang menyempatkan mampir ke Patung Kristus.

Perjalanan menuju puncak bukit ini bukan sekadar perjalanan wisata, ini adalah ziarah ke jantung spiritual Brasil: Patung Kristus Sang Penebus.

Kesempatan untuk dapat melihat dan bersimpuh dalam doa di hadapan Patung Kristus Sang Penebus itu benar-benar membuat hatinya sejuk.

Wisatawan asal Jakarta itu menyebut kehadiran Yesus lebih dari sekadar patung atau salib. Secara filosofis, patung itu seolah melindungi warga Brazil dengan ketinggiannya yang menjulang.

Ada makna khusus yang terasa, katanya, ketika ia berada serendah mungkin di Rio dan masih bisa melihat Tuhan Yesus menjaga Brazil.

Bahkan, ketika ia sudah mendaki hingga ke perbukitan Corcovado sekalipun, ia tetap memandang Tuhan Yesus ke atas dan merasa bahwa ia masih dalam lindungan-Nya.

Bagi banyak umat Katolik di sana, keberadaan fasilitas taman doa juga sangat membantu untuk melakukan penitensi atau sekadar merefleksikan diri di hadapan Tuhan.

Spot Foto

Berada di area patung Kristus, terutama saat dipadati wisatawan, adalah pengalaman yang unik sekaligus penuh upaya.

Dari kejauhan, kemegahan patung ini sudah sangat terasa, namun begitu mendekat, pemandangan yang terjadi adalah kerumunan manusia yang bergerak dan berinteraksi.

Sayup terdengar berbagai bahasa yang silih berganti. Para pengunjung saling berdesakan dengan sabar, atau terkadang sedikit berebut demi mendapatkan titik foto terbaik dari ketinggian Gunung Corcovado.

Setiap sudut pandang menjadi incaran, dan orang-orang tak henti-hentinya mengangkat ponsel atau kamera mereka.

Mengingat posisi patung yang menjulang tinggi, tantangan utama adalah menangkap seluruh bagiannya dalam satu bingkai foto.

Tidak heran, jika banyak yang terlihat mendongakkan kamera, membuat lensa menghadap langsung ke langit, berusaha keras mengabadikan keseluruhan siluet Kristus.

Usaha ini seringkali menghasilkan foto dengan latar belakang biru cerah dan awan, serta menangkap ketinggian patung.

Trem generasi keempat yang dioperasikan sejak 2019 menuju ke Patung Kristus Sang Penebus di Gunung Corcovado, Rie De Janeiro, Brazil, Minggu (6/7/2025). (ANTARA/Andi Firdaus)

Bagi yang ingin kemudahan dan hasil yang lebih profesional, opsi jasa fotografer pihak ketiga menjadi pilihan menarik.

Dengan biaya sekitar Rp250 ribu hingga Rp300 ribu untuk beberapa frame, wisatawan bisa mendapatkan foto-foto yang sempurna, tanpa perlu bersusah payah mencari titik pembidikan foto.

Para fotografer ini biasanya sudah mengetahui titik terbaik dan memiliki teknik yang mumpuni, sehingga hasilnya pun lebih memuaskan.

Tidak hanya itu, alat bantu, seperti tongsis, menjadi sangat direkomendasikan. Keberadaan tongsis sangat memudahkan pengambilan titik pembidikan.

Terutama untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas atau menangkap diri sendiri dengan latar belakang patung tanpa harus meminta bantuan orang lain.

Diplomasi Damai

Ketika Brasil menjadi tuan rumah KTT BRICS, Patung Kristus bukan sekadar tujuan wisata dunia.

Ia menjadi simbol bahwa di tengah ketegangan geopolitik, krisis energi, dan ketidakpastian global, dunia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan militer atau angka GDP.

Dunia membutuhkan tangan yang terbuka, bukan tangan yang mengepal. Para kepala negara anggota BRICS berdiskusi tentang masa depan energi, teknologi, dan keuangan global.

Di sisi lain, bayang-bayang Kristus dari Corcovado mengingatkan mereka kepada hal yang lebih mendasar, kemanusiaan.

Bahwa pembangunan sejati tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari kemampuan untuk menghindari perang, memelihara Bumi dan mengangkat martabat semua manusia.

Patung Kristus di Rio berdiri sebagai pengingat moral bahwa diplomasi tidak bisa hanya bersandar pada strategi, tapi juga pada empati.

Posisi tangan Kristus yang terbuka memberi pesan tentang nilai-nilai yang sedang diperjuangkan oleh BRICS, “Keadilan global, multilateralisme, dan rekonsiliasi antarbangsa”.(Ant)

Exit mobile version