Sawit dan Tambang di Kalbar: Antara Kekayaan Melimpah dan Kesejahteraan yang Masih Tertunda

PONTIANAK, borneoreview.co – Di tengah riuh tepuk tangan para peserta Konferensi Wilayah III AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Kalimantan Barat digelar, Kamis (12/6/2025) di Hotel Harris Pontianak Kalimantan Barat.

Ada sebuah pertanyaan besar bergema pelan namun menggelegar: apakah kekayaan alam Kalimantan Barat, terutama sawit dan tambang, benar-benar telah membawa kemakmuran bagi rakyatnya?

Acara seminar dengan tema “Bagaimana Bisnis Sawit dan Tambang Membawa Kemakmuran Rakyat dan Bersinergi dengan Bisnis Media di Kalbar” menjadi momen reflektif penting.

Di sela-sela diskusi serius namun santai itu, Dr. Rosyadi H.M Yusuf, Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi FEB Universitas Tanjungpura, menyampaikan data dan analisis menggelitik hati nurani.

Kekayaan Alam Belum Menyejahterakan

Dengan luas perkebunan kelapa sawit mencapai ±2 juta hektare sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978, Kalbar kini menempati posisi ketiga sebagai penghasil sawit terbesar di Indonesia.

Terdapat 198 perusahaan sawit dan 126 pabrik pengolahan CPO (Crude Palm Oil) yang tersebar di wilayah ini.

Nilai ekspor CPO dari Kalbar mencapai 21–25% dari total ekspor daerah — angka yang sangat fantastis jika dibayangkan dalam bentuk uang tunai.

Namun, ironinya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar masih rendah. Bahkan masuk lima besar provinsi dengan IPM terendah di Indonesia.

Artinya, meski kekayaan mengalir deras dari bumi Kalbar, kesejahteraan dan kualitas hidup warganya belum beranjak signifikan.

“Investasi seperti sawit dan tambang seharusnya diarahkan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup warga lokal,” kata Rosyadi.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu dugaan penyebab utama adalah lemahnya struktur industri hilir sawit di Kalbar.

Selama ini, produk unggulan Kalbar hanya berhenti pada level CPO atau Crude Palm Oil — produk mentah yang langsung diekspor tanpa melalui proses pengolahan lanjutan.

Padahal, nilai tambah sesungguhnya ada pada turunan sawit seperti minyak goreng, kosmetik, oleokimia, hingga biodiesel.

Akibatnya, nilai ekonomi yang tercipta lebih banyak dinikmati oleh pihak luar daerah.

Bukan saja karena rantai pasok dan distribusi, tetapi juga karena faktor produksi — mulai dari bibit, pupuk, alat berat, hingga tenaga ahli — sebagian besar datang dari luar Kalbar.

“Uang dan keuntungan mengalir ke luar daerah,” ujar Rosyadi menjelaskan.

Selain itu, struktur tenaga kerja di sektor sawit didominasi oleh buruh kasar (unskilled labor ), yang jumlahnya jauh lebih besar daripada tenaga kerja terampil.

Fenomena ini menciptakan jurang ketimpangan pendapatan yang semakin lebar antara pekerja lokal dengan manajemen atau investor asing.

Solusi Masih Jauh

Meski potensi hilirisasi sudah lama diserukan, nyatanya belum ada upaya serius dari pemangku kebijakan maupun pelaku usaha untuk menjadikan Kalbar sebagai basis industri turunan sawit bernilai tinggi.

“Tantangan hilirisasi sawit masih besar,” kata Rosyadi. “Perlu ada komitmen kolektif untuk membangun ekosistem industri dalam negeri yang kuat.”

Jika tidak, maka ekspansi sawit hanya akan memperparah ketimpangan dan kerusakan lingkungan tanpa meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata.

Isu Lingkungan dan Persaingan Global

Industri sawit juga kerap menjadi bulan-bulan kritik global, terutama terkait isu deforestasi dan monokultur lahan.

Namun, menurut Rosyadi, tuduhan ini tak selalu adil. Ia menegaskan bahwa sebenarnya isu tersebut merupakan bagian dari persaingan bisnis global antarnegara produsen minyak nabati.

“Kelapa sawit justru lebih produktif dibanding minyak nabati lain. Produktivitasnya bisa 20 kali lebih tinggi dibanding kanola atau bunga matahari,” paparnya.

Sayangnya, negara-negara maju sering menetapkan standar keberlanjutan yang tinggi seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) atau RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) justru menjadi hambatan bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam menembus pasar internasional.

Menulis Ulang Narasi Sawit: Kolaborasi Media dan Pemerintah

Sebagai media, peran wartawan dan penulis tidak sekadar memberitakan fakta. Lebih dari itu, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk ikut membentuk narasi publik yang bijak, kritis, namun tetap solutif.

Media harus bersinergi dengan pemerintah dan pelaku usaha untuk mengedukasi masyarakat.

Ini bukan soal anti-sawit atau anti-tambang, tapi soal bagaimana menjadikan dua sektor strategis ini sebagai instrumen pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan paradigma SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya penghapusan kemiskinan sebagai tujuan utama, maka arah investasi sawit dan tambang haruslah dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup warga lokal.

Siapa Harus Mulai Berubah?

Di akhir sesi, sebuah ajakan reflektif dilontarkan: jangan biarkan kekayaan daerah diangkut keluar sementara kerusakan dan kemiskinan ditinggalkan di dalam.

Kalbar punya potensi. Sawit dan tambang bisa menjadi motor penggerak kesejahteraan. Tapi semua itu membutuhkan keberanian politik, kesadaran kolektif, dan sinergi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan tentunya media.

Karena pada akhirnya, kemakmuran tidak hanya diukur dari angka ekspor atau laba perusahaan.

Tapi dari apakah seorang ibu di desa bisa mengirim anaknya ke sekolah dengan biaya hasil kebun sawit yang dikelola secara adil. Dan itu, barangkali, adalah ukuran kemakmuran yang sesungguhnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *