JAKARTA, borneoreview.co- Sawit Watch mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024 yang memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang hidup turun-temurun dan melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan.
Adapun Sawit Watch atau Perkumpulan Pemantau Sawit merupakan pemohon yang mengajukan perkara uji materi tersebut.
“Putusan ini telah menjadi kemenangan rakyat karena melindungi hak masyarakat atas hutan,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Achmad menegaskan signifikansi putusan MK itu terhadap perlindungan hak-hak masyarakat. Bagi dia, putusan yang diucapkan pada Kamis (16/10/2025) ini tidak hanya sebuah kemenangan, tetapi juga menjadi pemicu untuk evaluasi kebijakan turunan.
“Menurut pandangan kami, seharusnya putusan ini dapat dimaknai bahwa definisi masyarakat adalah termasuk petani kecil perkebunan sawit yang melakukan aktivitas perkebunan di hutan yang terlepas dari sanksi administratif yang sebelumnya dikenakan melalui Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.
“Kemudian yang seharusnya menjadi bahan koreksi adalah segala aturan pelaksana atau aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang terkait penataan kawasan hutan, khususnya yang berdampak bagi masyarakat di kawasan hutan,” imbuh dia.
Senada, penasihat senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan putusan MK dapat menjadi fondasi memperkuat mekanisme reforma agraria, khususnya dalam penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.
“Putusan MK tersebut seharusnya menjadi landasan untuk penguatan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dalam kerangka reforma agraria sehingga skema penataan hutan tidak semuanya melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan, tapi juga melalui Gugus Tugas Reforma Agraria,” ucapnya.
Sawit Watch bersama IHCS berkomitmen melakukan pemantauan terhadap putusan MK ini, termasuk akan melakukan pengaduan konstitusional jika putusan tersebut dilanggar.
Sebelumnya, MK memutuskan masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan tidak memerlukan perizinan berusaha dari pemerintah pusat jika ingin berkebun di kawasan hutan, asal tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Dalam hal ini, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU Cipta Kerja.
MK menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.”
Artinya, MK menyatakan larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin usaha dikecualikan bagi masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. (Ant)

