PONTIANAK, borneoreview.co – Pemerintah Indonesia melakukan operasi modifikasi cuaca untuk menekan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat (Kalbar).
Artinya, melawan karhutla di Kalbar dengan modifikasi cuaca. Teknik baru kah? Ternyata tidak, teknologi ini sejatinya teknologi bukanlah hal baru di Indonesia.
Melansir berbagai sumber, Minggu (3/8/2025), nyatanya teknologi modifikasi cuaca telah Pemerintah Indonesia mulai pada akhir 1970-an. Saat itu memang bukan untuk karhutla, tapi untuk sektor pertanian.
Ceritanya, sejak 1977, proyek modifikasi cuaca, yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan, itu sudah dimulai.
Ide ini muncul saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena supply kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.
Berawal dari itu, Presiden Soeharto mengutus BJ Habibie untuk mempelajari teknologi modifikasi cuaca ini.
Pada tahun itu juga proyek percobaan hujan buatan yang waktu itu masih didampingi asistensi dari Thailand dimulai.
Artinya, teknologi modifikasi cuaca ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia, fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.
Pada 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).
Pada 1985 berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985.
Lalu pada 2015, mulai dikenal istilah teknologi modifikasi cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.
Baru pada 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, pelayanan teknologi modifikasi cuaca berada di Laboratorium Pengelolaan teknologi modifikasi cuaca di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi,.
Pada 2024 terbit Perpres No 12, peraturan ini menegaskan bahwa BMKG memiliki kewenangan untuk melakukan modifikasi cuaca, yang sebelumnya dilakukan oleh BRIN.
Seiring waktu modifikasi cuaca tidak lagi hanya fokus pada sektor pertanian.
Ini karena frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik karhutla, longsor, dan banjir. Sehingga pengaplikasian teknologi modifikasi cuaca berkembang untuk memitigasi bencana.
Bahkan, laman BRIN menyebut dalam beberapa waktu terakhir, teknologi modifikasi cuaca paling banyak dan rutin digunakan untuk karhutla.***