Sejarah Tambang Bauksit di Kalimantan Barat, Lihat Dampaknya Berikut Ini

Tambang Bauksit

PONTIANAK, borneoreview.co – Bauksit merupakan jenis tambang yang sedang populer di Kalimantan Barat.

Bauksit tersebar di sebagian besar wilayah Kalimantan Barat. Lokasi utama cadangan tambang bauksit meliputi Kabupaten Sanggau, Ketapang, Mempawah, Landak, dan Bengkayang.

Perkembangan bauksit dimulai era kolonial hingga awal modern. Bauksit pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1924 di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Setelah ditambang, bauksit diekspor mulai pada pertengahan 1930-an.

Setelah Indonesia merdeka, penanganan tambang bauksit diberikan kepada PT Antam, pada 1968.

Meskipun Pulau Bintan menjadi pusat awal penemuan bauksit, Kalimantan Barat juga dikaji sebagai lokasi potensial, pengolahan dan refinasi bauksit.

Alasannya, Kalbar berdekatan dengan cadangan utama bauksit.

Cadangan bauksit melimpah di Kalimantan Barat.
Provinsi Kalbar, menyimpan sekitar 57 persen dari total sumber daya bauksit nasional atau sekitar 2,07 miliar ton. Atau, sekitar 66,8 persen dari total cadangan atau sekitar 0,84 miliar ton.

Modernisasi dan Hilirisasi
Pemerintah pusat memberlakukan berbagai penanganan dalam tambang bauksit. Misalnya, larangan ekspor bahan mentah pada 2014.

Pemerintah melarang ekspor bauksit dalam bentuk mentah mulai Januari 2014, mendorong pembangunan smelter dalam negeri.

Dampaknya cukup besar, akibat aturan itu. Data Kadin Kalbar, sekitar 50 perusahaan tambang bauksit berhenti beroperasi, dan sekitar 7.000 tenaga kerja terdampak.

Pembangunan Smelter dan Refinery

Ada beberapa perusahaan yang bergelut di bisnis tambang bauskit. Di antaranya, PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) di Tayan, Sanggau.

PT ICA mulai beroperasi pada 2014, dengan kapasitas 300.000 ton alumina per tahun.

Pemain lainnya, PT Well Harvest Winning (WHW) di Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Ada refinery SGA pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

PT WHW mulai beroperasi pada 2016 di Kalbar, dengan kapasitas 1 juta ton per tahun.

Perusahaan lainnya, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI). Yang merupakan kerja sama antara PT Inalum dan PT Antam.

Kerja sama itu membangun Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Kabupaten Mempawah. Pembangunan dimulai akhir 2020, dan operasional mulai tahun 2023.

Proyek injeksi pertama SGAR diresmikan September 2024, dengan kapasitas penuh awal diharap tercapai kuartal pertama 2025.

Selanjutnya, ditingkatkan menjadi 1 juta ton per tahun pada 2028.

Hilirisasi Strategi
Kalimantan Barat diposisikan sebagai pusat hilirisasi alumina di Indonesia.

Hilirisasi dilakukan dengan mengolah bauksit (bahan mentah), menjadi produk bernilai tambah yang siap dipakai di industri lain.

Hal itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan meningkatkan nilai tambah produk pertambangan.

Tahapan hilirisaasi dilakukan dengan menambang bauksit dari lapisan permukaan tanah menggunakan metode tambang terbuka (open pit).

Penambangan dilakukan dengan pengupasan tanah penutup (overburden removal), sebelum mengambil bijih bauksit.

Setelah itu, bauksit dicuci untuk menghilangkan tanah liat, pasir, dan pengotor.

Bauksit dihancurkan menjadi ukuran kecil agar mudah diproses di pabrik.

Selanjutnya, bauksit dimurnikan menjadi Alumina (Refining). Proses dilakukan dengan menggunakan bayer process.

Caranya, bauksit direaksikan dengan larutan soda kaustik pada suhu dan tekanan tinggi, untuk memisahkan alumina (Al₂O₃) dari residu (red mud).

Hasilnya adalah Smelter Grade Alumina (SGA).

Tahap selanjutnya, peleburan menjadi Aluminium (Smelting). Tahap ini, Alumina dimurnikan lebih lanjut.

Tahap ini, Alumina dilebur menggunakan proses Hall–Héroult dalam elektrolisis, untuk menghasilkan logam aluminium.

Proses ini memerlukan listrik sangat besar. Karenanya, pabrik peleburan sering ditempatkan dekat sumber energi murah.

Produk Alumina juga menghasilkan produk turunan. Antara lain, Aluminium batangan (ingot), billet, sheet, dan foil.

Ada juga komponen industri. Yaitu, otomotif, konstruksi, kemasan, peralatan listrik, dan lainnya.

Pencemaran Lingkungan
Bisnis pertambangan bauksit tentu saja membawa konsekuensi. Di antaranya, pencemaran sungai dan dampak kesehatan.

Tanah merah hasil kupasan lapisan bauksit, mudah hanyut ke sungai saat hujan. Lapisan itu mengendap di dasar sungai, sehingga air menjadi keruh (turbiditas tinggi).

Misalnya, aktivitas pertambangan di wilayah Tayan dan sekitar Sungai Kapuas.

Lapisan tanah penutup (overburden) dibuang sembarangan → tanah gundul, kehilangan unsur hara.

Pertambangan bauksit yang membongkar tanah dan mencuci tambang bauksit, menyebabkan sedimentasi dan pencemaran air.

Di Kabupaten Landak dan Bengkayang, lahan bekas tambang menganga tanpa reklamasi memadai, menjadi kubangan berwarna merah pekat.

Hal itu berdampak pada kesehatan masyarakat, termasuk iritasi kulit, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan.

Cemaran Bahan Kimia
Pencucian bauksit dapat melepaskan partikel logam, seperti aluminium, besi, dan residu soda kaustik dari proses refinery.

Contoh kasus di Kalbar, Sungai Kapuas dan anak sungainya di Sungai Tayan, Landak, dan Ketapang, mengalami kekeruhan permanen, memengaruhi air baku PDAM dan nelayan.

Selain itu, limbah padat berupa red mud (residu pemurnian Bayer Process), bersifat alkalis tinggi dengan pH lebih dari 12.

Bila limbah itu bicir, bisa meracuni tanah.

Penambangan bauksit juga dapat mencemari lingkungan udara. Sebab, udara debu merah (red dust) dari jalan tambang, dan area stockpile dapat terhirup masyarakat.

Misalnya, di Kendawangan, Ketapang. Debu merah dari jalan angkut tambang, mengganggu warga sekitar.

Hal itu berisiko memicu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).

Gas buang dari alat berat dan PLTU yang memasok listrik ke smelter menambah polusi udara.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *