PONTIANAK, borneoreview.co – Hujan deras mengguyur Bandara Supadio, Kubu Raya, Rabu (12/11/2025) sore. Hujan deras tak mampu meredam, suasana hangat yang terpancar dari ruang VIP Pemerintah Daerah Kalimantan Barat.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalbar, Harisson, berdiri tegap menyambut Wakil Menteri (Wamen) Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Mugiyanto, yang baru saja menginjakkan kaki di Bumi Khatulistiwa.
Rintik hujan menetes di luar kaca jendela. Ia seolah ikut menyaksikan pertemuan dua pejabat, membawa misi kemanusiaan dan HAM di tengah hiruk-pikuk urusan pemerintahan.
Dalam balutan jas sederhana, Sekda Harisson menyapa tamunya dengan senyum tulus, tak kalah hangat dari secangkir kopi yang mengepul di meja tamu.
“Kami menyambut dengan hangat, kehadiran Bapak Wakil Menteri HAM di Bumi Khatulistiwa. Semoga kunjungan ini dapat memperkuat, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam bidang HAM,” tutur Harisson, suaranya mantap di tengah denting hujan, yang terus mengetuk jendela.
Kata sinergi bukan hanya jargon. Dalam konteks Kalimantan Barat, provinsi dengan ragam etnis, budaya, dan sejarah sosial yang panjang.
Isu HAM bukan sekadar laporan rutin. Melainkan denyut hidup yang selalu terpompa, dari harmoni keseharian masyarakatnya.
Di Balik Rintik Diplomasi
Kedatangan Wamen HAM Mugiyanto, kali ini bukan sekadar kunjungan seremonial.
Wamen HAM menghadiri Rapat Kerja Pemerintah Daerah (Rakerda) bidang HAM, dan Konferensi Kota Toleran (KKT) Tahun 2025 di Singkawang.
Wamen HAM Mugiyanto juga memberikan kuliah umum di Universitas Panca Bhakti, Pontianak.

Di balik agenda resmi padat bersama instansi vertikal dan perangkat daerah, tersimpan semangat memperkuat layanan publik.
Yaitu, menegakkan hukum yang berkeadilan, serta menghidupkan kesadaran akan hak asasi manusia, hingga ke pelosok Kalimantan Barat.
Sekda Harisson paham betul, bahwa membangun sistem HAM bukan perkara rapat dan seremoni belaka.
Ia adalah soal keberanian pemerintah daerah, membuka ruang dialog antara negara dan rakyat. Antara penguasa dan suara-suara kecil di sudut kampung.
Sekda Harisson menegaskan, Kalimantan Barat selalu terbuka untuk bekerja sama, memperkuat sistem perlindungan HAM.
“Kami ingin memastikan setiap kebijakan pembangunan, tetap berpihak pada manusia,” ujarnya pelan, namun pasti dan penuh keteguhan.
Kata-kata itu mengalir seperti air di musim hujan lembut, tapi menembus. Di antara percakapan hangat itu, suasana VIP Room semakin terasa abadi.
Seperti ruang diplomasi kecil di tengah badai. Yang menuntut arah baru. Yaitu, manusia sebagai subyek pembangunan, bukan sekadar objek.
HAM di Tanah Khatulistiwa
Kalimantan Barat, dengan segala kompleksitas sosialnya, menyimpan potret nyata tentang tantangan implementasi HAM di level daerah.
Dari isu tanah adat, hingga perlindungan pekerja migran. Dari hak masyarakat adat, hingga akses keadilan di pelosok. Semua menuntut kehadiran negara yang lebih manusiawi.
Karenanya, kunjungan Wamen HAM, menjadi sesuatu yang penting. Kunjungan itu seolah menjadi sumbu.
Negara masih hadir, tak hanya lewat kebijakan dan aturan semata. Tapi, lewat langkah nyata yang lebih implementatif.
Di bawah langit masih basah oleh hujan. Sekda Harisson dan Wamen HAM Mugiyanto berbincang hangat tentang agenda bersama ke depan.
Keduanya sepakat, penguatan layanan publik dan perlindungan HAM, harus menembus batas birokrasi.
Harisson menegaskan, pemerintah Provinsi Kalimantan Barat siap menjadi mitra aktif, memperluas jaringan penguatan HAM dan menyentuh langsung masyarakat akar rumput.
Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah ini, bagi sebagian orang mungkin tampak kecil. Tapi sesungguhnya, inilah denyut awal dari pergerakan besar membangun Kalbar. Adil, manusiawi, dan berempati.
Di luar ruang pertemuan, hujan perlahan reda. Sisa embun di kaca jendela, memantulkan cahaya senja yang mulai menipis. Angin Khatuliswa terus berhembus. Menebar aroma khas: tanah gambut dan air payau.
Dalam suasana itu, seolah semesta turut mendengar harapan sederhana, terselip dalam pertemuan sore itu. Hak asasi manusia bukan hanya wacana. Tapi napas keseharian yang harus dijaga bersama.
Kehadiran Waman HAM Mugiyanto di Kalimantan Barat, membawa makna lebih dari sekadar agenda birokrasi.
Ia menggambarkan pertemuan dua wajah. Pemerintahan pusat yang membawa mandat konstitusi, dan pemerintah daerah yang menafsirkan nilai-nilai itu dalam realitas lokal.
Sekda Harisson, dengan pengalaman panjang di pemerintahan, memahami bahwa membangun HAM di daerah, tidak cukup dengan peraturan.
Membangun pemahaman yang baik terkait HAM, butuh kedekatan, empati, dan pemahaman terhadap ragam konteks masyarakat.
Di Kalbar, manusia dan hutan, budaya dan sejarah, selalu saling berkait. Bagaimana kehangatan dalam penyambutan, bisa menjadi simbol komunikasi antarstruktur negara.
Bahwa di tengah hujan deras, masih ada ruang untuk dialog yang lembut. Seperti cara Kalimantan Barat, menjaga dirinya di antara derasnya perubahan zaman.

Ketika pesawat-pesawat kembali lepas landas dari Bandara Supadio, barangkali hanya sedikit tahu. Bahwa, di ruang kecil bernama VIP Room, dua pejabat negara sedang menulis bab kecil tentang kemanusiaan.
Dari sana, semoga kisah tentang HAM di Bumi Khatulistiwa terus berlanjut. Tak hanya di atas kertas putih saja. Tapi di setiap denyut hidup manusia yang tinggal di bawah garis khatulistiwa.
Singkawang Siap
Sementara itu, Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie menegaskan komitmen Pemerintah Kota Singkawang, untuk terus memperkuat nilai-nilai toleransi.
Juga penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), sebagai fondasi utama pembangunan daerah.
Tjhai Chui Mie menekankan, pelaksanaan Raker HAM dan Konferensi Kota Toleran 2025, memiliki makna strategis bagi Singkawang.
Tak hanya sebagai tuan rumah kegiatan berskala nasional. Juga sebagai kota yang telah lama dikenal karena harmoni dan keberagamannya.
“Kegiatan ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen kita bersama dalam menjaga toleransi, kebersamaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ujarnya, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, prinsip toleransi dan penghormatan terhadap HAM telah menjadi bagian penting dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Singkawang.
Ia berharap kegiatan tersebut dapat memperkuat sinergi antar-instansi dan membuka ruang dialog yang konstruktif.
Bagi seluruh peserta untuk berbagi praktik baik, dalam membangun kota yang inklusif dan damai.
Wali Kota Singkawang menegaskan, sebagai kota dengan masyarakat yang majemuk, ia memiliki tanggung jawab untuk terus menjaga kerukunan, serta menjadikannya modal sosial dalam pembangunan.
“Keberagaman adalah kekuatan yang harus kita rawat bersama,” ujar Tjhai Chui Mie.(AM/Ant)
