Site icon Borneo Review

Sekolah Rakyat, Ketika Ayah Berdoa di Gerbang Pendidikan Sang Anak

Sekolah Rakyat

Ilustrasi - Petugas medis memeriksa kesehatan mata peserta didik baru di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 17, Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, Senin (14/7/2025). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

JAKARTA, borneoreview.co – Sosok tegap itu duduk termenung di tepi halaman sekolah, matanya menatap anak-anak berseragam yang berlalu-lalang.

Raut wajahnya tampak tegas, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan kerinduan dan harapan.

Dia menantikan sang putra bungsu menghampirinya dengan mengenakan seragam baru dengan senyuman pasti untuk melangkah menuju gerbang masa depan.

Bagi Junaedi, Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar. Ia menaruh doa dan harapan agar anaknya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari dirinya.

“Anak saya cita-citanya nyeleneh, pengin kuliah di Jepang,” ujar Junaedi sambil tertawa kecil.

Sebagai kurir kantor dengan penghasilan pas-pasan, ia tak berani bermimpi terlalu tinggi. Baginya, yang penting sekolah dulu, sisanya serahkan pada penulis skenario kehidupan.

Ia mengisahkan bagaimana awalnya ragu saat mendapat kabar bahwa anak bungsunya terdaftar sebagai calon siswa Sekolah Rakyat.

Informasi datang dari pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), yang menyebut hanya ada dua hari untuk memutuskan apakah akan bergabung atau tidak.

Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Margaguna di Jakarta Selatan menjanjikan pendidikan gratis dari awal hingga lulus. Fasilitas yang diberikan meliputi seragam, sepatu, alat tulis, hingga kebutuhan pribadi lainnya.

Bahkan, anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, sesuai Desil 1 dan 2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), akan tinggal di asrama dan dibimbing secara intensif.

Junaedi menjadi satu dari sedikit orang tua di lingkungannya yang bersedia mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Banyak tetangganya memilih menolak karena minimnya sosialisasi dan kekhawatiran soal kualitas pendidikan.

“Dari lingkungan saya cuma sembilan orang yang daftar. Padahal yang dapat undangan lumayan banyak. Sekarang banyak yang nyesel karena anak-anak mereka nggak dapat sekolah, dan masuk sekolah negeri juga susah,” kata Junaedi.

Kemudian, dia juga merasa proses pendaftaran berbeda dengan sekolah negeri pada umumnya. Informasi pun hanya disampaikan melalui grup pendamping PKH tanpa keterlibatan RT atau RW setempat.

Namun, Junaedi tetap yakin demi masa depan anaknya. “Anak saya empat. Ini yang paling kecil. Saya kerja jadi kurir kantor, usia saya juga nggak muda lagi. Kalau bisa sekolah gratis sampai kerja, saya bersyukur banget,” katanya.

Bagi Junaedi, berdiri di depan gerbang sekolah setiap pagi bukan hanya rutinitas antar-jemput. Itu adalah bagian dari perjuangannya sebagai orang tua untuk menebus masa lalu dan menanam harapan untuk masa depan.

Meski program Sekolah Rakyat masih baru dan belum sempurna, ia berharap janji-janji pemerintah benar-benar ditepati, termasuk penyaluran kerja setelah lulus nanti.

Saat ditanya kembali soal mimpi anaknya yang ingin kuliah di Jepang, Junaedi hanya tertawa kecil, namun matanya terlihat berkaca-kaca.

“Saya bilang ke anak, mimpi itu boleh. Tapi jangan cuma mimpi, harus usaha. Kalau dia semangat, saya pasti dukung,” kata Junaedi.

Sekolah Rakyat Margaguna memiliki pendekatan berbeda dari pendidikan sebelumnya. Selain pembelajaran reguler pukul 07.00–14.30 WIB, sekolah juga membuka kelas malam hingga pukul 21.00 WIB untuk memperkuat pendampingan belajar.

Fasilitas yang tersedia pun lengkap. Di lahan seluas lebih dari empat hektare, SRMA Margaguna dilengkapi perpustakaan, pusat kebugaran, studio musik, lapangan voli, hingga asrama yang dihuni maksimal empat siswa per kamar.

Program ini digagas Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari upaya memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan yang menyeluruh, terstruktur, dan gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin di Jakarta.

Pembukaan masa pengenalan lingkungan satuan pendidikan (MPLS) siswa Sekolah Rakyat juga dilakukan serentak di 62 titik lainnya di seluruh Indonesia. Sedangkan 37 titik lainnya akan memulai MPLS pada akhir Juli 2025.

Total terdapat 100 titik lokasi rintisan Sekolah Rakyat yang mulai beroperasi di berbagai daerah pada Tahun Ajaran 2025/2026.

Harapannya, para lulusan Sekolah Rakyat dapat sejajar dengan siswa reguler lainnya dan tidak lagi dipandang sebelah mata.

Langkah Junaedi juga sejalan dengan kebijakan baru pemerintah. Pada 10 Juli 2025, melalui Surat Edaran (Kemendukbangga/BKKBN) Nomor 7 Tahun 2025, diluncurkan Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.

Tujuannya untuk memperkuat peran keluarga dalam pendidikan anak sejak hari pertama.

Dan pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya, Junaedi kembali berdiri di gerbang sekolah. Menggenggam harapan yang tak kasat mata, menyaksikan anaknya melangkah ke ruang kelas dengan membawa impian yang kini tak lagi terasa mustahil.

Dalam bayangannya, Junaedi tahu betul bahwa impian tidak tumbuh dari kenyamanan. Ia tahu jalan anaknya tidak akan mulus, namun dia percaya akan ada hari baik tengah menanti.

Dia percaya setiap tetes peluh yang dia keluarkan setiap hari, setiap langkah yang ia ambil dari rumah ke gerbang sekolah, adalah bukti bahwa cinta seorang ayah untuk bisa menjangkau masa depan yang tak sempat ia miliki.

Latih hidup mandiri

Siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) Margaguna, Jakarta Selatan, ingin terlatih hidup mandiri di asrama yang disediakan gratis dan berkualitas sebagai bantuan pemerintah.

“Karena fasilitas di situ udah lengkap, jadinya gampang gitu kita tinggal jalanin aja buat hidup mandiri,” kata siswa bernama Chiko Ananda (15).

Chiko yang bercita-cita ingin menjadi anggota TNI mengaku nyaman dengan fasilitas yang disediakan lantaran hanya perlu membawa pakaian.

Sementara itu, Ilyas (15) mengatakan, memilih mendaftar sekolah rakyat untuk membantu perekonomian keluarga terutama pendapatan orangtua.

“Milih Sekolah Rakyat karena kebutuhan orang tua semakin menipis. Jadi kalau di Sekolah Rakyat kan gratis, dibayarin sama pemerintah mulai dari fasilitas hingga makanan gratis,” ujar Ilyas.

Siswa yang ingin menjadi masinis ini berharap setelah lulus nantinya bisa menjadi orang yang berguna bagi keluarga maupun nusa bangsa.(Ant)

Exit mobile version