Sekolah Rakyat, Melihat Potret Pendidikan Lebih Humanis di Pulau Timor

Sekolah Rakyat

KUPANG, borneoreview.co – Melihat Sekolah Rakyat, siang itu di Desa Oemasi, Nekamese, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Siang lebih terasa lebih sejuk sekalipun ditemani matahari yang berada tepat di atas kepala.

Desir angin timur yang menggoyang pepohonan ditambah panorama perbukitan nan indah, cukup mengubah suasana perjalanan melelahkan menjadi penuh makna, saat menuju Sekolah Rakyat.

Apalagi bertemu anak perempuan di Sekolah Rakyat, berperilaku manis di desa yang berjarak satu jam dari Oelamasi, Ibu Kota Kabupaten Kupang itu.

Anak perempuan itu bernama Irene Patrisia. Usianya 13 tahun dan sudah terbiasa hidup mandiri tanpa ada sosok ayah yang menemaninya.

Sepenggal kisah kemandirian Irene menjadi alasan bagi ANTARA untuk menemuinya yang tinggal menghuni rumah reot di pelosok perbukitan pada sisi bagian barat Pulau Timor itu.

Di sana, Irene bersama tiga saudaranya berjuang menghadapi gelombang kehidupan hanya bersama mamanya yang berprofesi sebagai penenun kain tradisional.

Setiap sepulang sekolah, dia selalu duduk bersila kaki di samping sang mama, untuk membantu meluruskan benang, menggulung gulungan kecil atau menahan alat tenun kayu agar tetap seimbang.

Jemari kecilnya sudah terbiasa kotor oleh debu dari sisa-sisa benang. Ia pandai menyembunyikan raut muka lelah di hadapan mama dengan tetap melempar senyum hingga memperlihatkan gigi kelincinya yang lucu.

“Beta biasa bantu mama supaya mama sonde terlalu cape,” kata Irene dalam bahasa daerahnya yang artinya saya biasa membantu supaya mama tidak terlalu capek.

Irene mengaku sejak kelas tiga SD sudah terbiasa membantu pekerjaan rumah. Bahkan saat mamanya sibuk menenun, dia juga membuat adonan tepung bahan baku gorengan seperti makao (bakwan yang dicetak bulat), tempe, dan pisang goreng.

Usaha kecil-kecilan itu adalah ide dari Irene untuk meringankan beban mamanya. Puluhan gorengan pun dibuat setiap sore dan langsung dijual berkeliling desa bersama kakak ketiganya, Tiko.

Satu potong gorengan dijual Rp1.000, dan biasanya mereka bisa membawa pulang Rp50.000 – Rp70.000 dari hasil jualan.

Uang itu digunakan untuk membeli beras, sabun, atau bahkan membantu membayar iuran bulanan sekolah Irene di SD Katolik St Yoseph Kuaputu, dan kakaknya yang duduk di bangku SMA.

“Beta (saya) senang bantu-bantu mama,” kata dia. Matanya sesekali melihat ke arah alat tenun yang sedang dirapikan sang mama.

Dibalik sikap kemandiriannya, Irene memendam cita-cita yang mulia, menjadi seorang suster untuk mengabdikan diri pada kehidupan religius dan pelayanan umat Kristiani.

Cita-cita ini tumbuh setelah ia melihat langsung para suster yang datang ke sekolahnya beberapa tahun lalu. Dimata Irene, para suster dari Spanyol itu sosok yang tulus melayani jamaat gereja dan anggun ketika berbicara di depan banyak orang.

“Beta suka pelajaran agama sama bahasa Indonesia, supaya bisa ngomong baik kayak suster-suster itu,” ujar Irene yang malu-malu sembari melayangkan tangan hingga menutupi mukanya.

Bukan hanya faktor ekonomi kelurga tapi kepribadian Irene yang rajin membantu orang tua tunggalnya inilah yang kemudian membuatnya dikenal oleh petugas pendamping dari Sentra Efata, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial sekaligus bagian penyelenggara Sekolah Rakyat Berasrama Kabupaten Kupang.

Irene terpilih menjadi salah satu siswa Sekolah Rakyat Kupang yang disiapkan untuk jenjang SMP itu melalui tahapan penyaringan ketat pada medio April-Juni yang lalu.

Sekolah baru Irene yang memang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi dasar (desil 1–4) tanpa pungutan biaya itu memanfaatkan bangunan milik Sentra Efata di Naibonat, Kabupaten Kupang.

Irene mengaku senang diterima di sekolah boarding gagasan Presiden Prabowo Subianto yang sudah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat se-Kabupaten Kupang ini. Namun ia juga sempat merasa gugup karena akan meninggalkan ibu sekaligus sahabatnya itu.

Rasa gugup itu pun perlahan sirna berkat dukungan segenap keluarga dan para tetangga yang sering melihat rumah Irene didatangi oleh tim verifikator Sekolah Rakyat hampir setiap pekan.

Sekolah Rakyat_2
Irene berpamitan dengan mamanya untuk tinggal menempati asrama Sekolah Rakyat Kupang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat (11/7/2025) ANTARA FOTO/FAUZAN

Motivasi dari orang-orang yang menyayanginya itu membuat Irene semakin memantapkan diri untuk mengikuti program Sekolah Rakyat. Dengan harapan ibunya selalu sehat sehingga sesekali bisa menjenguknya di asrama.

Sisilia Taneno, mamanya Irene, siang itu masih terlalu sibuk menenun kain dari sisa benang dari pesanan sebelumnya. Profesi ini telah ia geluti sejak sang suami pergi menelantarkan mereka 14 tahun silam.

Satu kain tenun polos bisa diselesaikan dalam waktu empat hari dan dijual sekitar Rp12.500 – Rp15.000 per helainya, sedangkan kain tenun motif sotis kupang butuh waktu sebulan penuh dan bisa dijual hingga Rp800 ribu per helai.

“Tenun sotis baru dibuat tunggu ada yang pesan. Saya bisa banyak motif. Tapi itu pesanan sudah sangat jarang, kalau pun ada paling satu atau dua saja dalam setahun,” kata Sisil dengan logat khasnya.

Namun dari tenun inilah, dia bisa mengantarkan putri sulungnya kuliah di salah satu universitas di Kota Kupang hingga mendapat beasiswa penuh dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sementara dua putranya lagi bisa duduk di bangku SMA.

Dan bagi Sisilia, diterimanya Irene di Sekolah Rakyat bukan sekadar meringankan bebannya, tapi rezeki yang tak terhingga karena buah hatinya akan aman selama berada dalam asuhan negara, dan punya masa depan yang cerah.

Hingga akhirnya hari perpisahan pun tiba. Mama Sisil dengan tegar melepas keberangkatan putri bungsunya, pada Jumat, 11 Juli untuk tinggal menempati asrama Sekolah Rakyat Kupang.

Di sana, Irene akan tinggal dan belajar memanfaatkan segenap fasilitas terbaik bersama anak-anak lainnya tanpa pungutan apapun pada tahun ajaran baru 2025/2026, yang di mulai Senin, 14 Juli.

Mama Sisil tak berhenti memandangi Irene yang tertawa riang bersama teman-temannya di dalam minibus operasional Kementerian Sosial itu, sampai mereka benar-benar pergi menjauh dan menghilang meninggalkan desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *