KUPANG, borneoreview.co – Raungan mesin diesel mobil minibus, tiba beriringan dari arah gerbang, malam itu di Kupang.
Suara memecah konsentrasi para tukang malam itu. Mereka masih sibuk memoles bangunan di Sentra Efata Kupang.
Sentra seluas 12 hektare ini, merupakan UPT Kementerian Sosial di Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejumlah bangunannya dimanfaatkan untuk Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 19.
Bagi sebagian tukang, kedatangan rombongan siswa malam itu mungkin terasa sebagai tanda yang mendesak kalau pekerjaan mereka harus rampung malam itu juga.
“Yoooo ayooo!, selesai-selesai, bersih-bersih,” teriak salah satu tukang dengan bahasa Jawa dari dalam ruang kelas yang diawasi penuh oleh mandornya.
Ada sebanyak sembilan asrama, empat ruang kelas, dua ruang guru, hingga fasilitas penunjang lainnya, seperti laboratorium, perpustakaan, OSIS, ruang kesenian, klinik/UKS termasuk mushala maupun gereja milik sentra yang disiapkan untuk SRMP.
Semua bangunan itu sudah tampak megah, dengan dinding di cat paduan warna putih dan oranye. Namun belum semua fasilitas seperti kursi dan meja tersusun rapi.
Bahkan, perangkat komputer hingga pernak-pernik di laboratorium IPA juba pun belum nampak terpasang pada tempatnya.
Asrama, terutama, mau tidak mau harus segera bersih dari segala debu, sisa cat, hingga tumpukan ember dan sekop agar para siswa yang baru tiba itu bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman.
Pada saat yang sama, sejumlah guru menyambut ramah kedatangan para siswanya. Meski harus meladeni beberapa dari mereka yang tak sabar untuk segera turun saat pintu samping minibus belum terbuka sepenuhnya.
Ada anak yang menjerit karena terjepit, ada satu kakinya sudah menginjak jalan sementara tubuhnya masih tertahan di dalam mobil.
Lalu, ada pula sebagian lain mencoba melintas dari pintu belakang padahal penuh tumpukan koper dan tas jinjing.
Alih-alih marah dengan tingkah polos murid-muridnya, para guru dan wali asrama yang wajahnya sudah tampak kusam itu justru sigap menuntun mereka turun secara tertib.
Barang-barang disusun dan para siswa langsung diarahkan menuju ruang registrasi.
Demikianlah sambutan pertama sekaligus akhir dari perjalanan panjang menjemput seratus anak menjadi siswa SMRP 19 Kupang.
Kalender ajaran baru 2025/2026 pun segera dimulai pada Senin (14/7/2025) pagi. Sejak itu mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan kedua.
Selanjutnya, mengikuti rangkaian orientas agar lebih saling mengenal dengan teman baru, kepala sekolah, para guru, wali asrama, hingga beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang akan menjadi rumah mereka beberapa tahun ke depan.
Salah satu dari mereka adalah Kristo Jenewery Mansula (12). Anak kedua dari empat bersaudara asal Desa Pariti Sulamu, Kabupaten Kupang itu, tiba lebih dulu dibandigkan teman sebayanya, seperti Omri Nomseo dan Irene Patrisia yang tinggal jauh di perbukitan Oemasi, Nekamese.
Ayah Kristo berprofesi sebagai buruh tani musiman dan pedagang ikan keliling dengan penghasilan sekitar Rp500 ribu per bulan.
Jumlah ini jauh dari kata cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Apalagi membiayai pendidikan empat buah hatinya, dimana kakak Kristo masih dibangku SMA, sementara dua adiknya masih SD.
Kristo adalah satu dari sekian banyak anak remaja daerah di jantung Pulau Timor yang tumbuh tanpa gadget.
Selain faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan, ayah dan ibu Kristo juga khawatir hal negatif dari teknologi menghancurkan fokus anaknya belajar.
Apalagi mereka sendiri tidak bisa maksimal mengawasi buah hati sepanjang waktu karena tuntutan pekerjaan sebagian besar waktu dihabiskan di luar rumah.
Memutus Kemiskinan
Keputusan sang ayah untuk mempercayakan Kristo masuk SRMP adalah bentuk nyata ikhtiar keluarga kecil ini memutus rantai kemiskinan lewat pendidikan.
Meski masih banyak bagian yang mesti dirapikan, tapi keberadaan SRMP ini cukup menjadi lentera di tengah angka kemiskinan Kabupaten Kupang yang masih tergolong tinggi.

Berdasarkan data BPS terakhir yang diperbaharui Maret 2025, angka kemiskinan di kabupaten ini mencapai 21,37 persen. Lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional yang berada di angka 8,57 persen.
Kondisi itu berbanding lurus dengan tingginya angka anak dan remaja putus sekolah di Kabupaten Kupang.
Data dari kementerian pendidikan dasar dan menengah (sebelumnya Kemendikbudristek) terhitung sejak tahun 2023 sampai saat ini ada sebanyak 10.206 anak dan remaja belum pernah bersekolah, 1.509 tidak lulus sekolah.
Data-data itu menegaskan bahwa betapa pentingnya kehadiran sekolah berasrama seperti Sekolah Rakyat, yang bukan hanya menawarkan bangku sekolah tanpa pungutan biaya, tetapi juga menjamin anak dapat makan bergizi, seragam, asrama layak, dan pembinaan karakter.
Untuk siswa seperti Kristo, Irene, Omri dan teman-temannya, ini kesempatan yang sangat berarti. Dengan biaya keluarga yang sangat terbatas, mereka nyaris mustahil merasakan pendidikan bermutu.
Pendidikan yang dilengkapi fasilitas boarding school bereknologi dan pelatihan kepemimpinan langsung dari prajurit TNI, dan pendampingan psikolog untuk pembinaan mental yang menyeluruh.
Lebih dari itu, program gagasan Presiden Prabowo Subianto ini juga cukup sempurna sebagai pijakan awal dalam upaya mencetak generasi tangguh yang mengambil peran sentral pada era Indonesia Emas 2045.
Itu bukan tidak mungkin karena kurikulumnya yang dirancang terpadu antara akademik, pendidikan karakter, dan pendidikan agama hingga terbentuk pribadi yang berakhlak dan berdaya saing.
Didukung pula oleh sistem multi entry dan multi exit, yang memungkinkan setiap siswa Sekolah Rakyat ini dapat belajar tanpa terhalang kalender akademik.(Ant)