KUPANG, borneoreview.co – Hari itu adalah sore pertama mereka menempati asrama. Matahari belum benar-benar tergelincir.
Tapi suara riuh sudah lebih dulu membelah sunyi kompleks Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 19 Kupang di kawasan Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sumber kegaduhan itu bukan hal besar. Hanya seekor cicak yang tersesat ke dalam bak mandi, tapi sembilan anak perempuan yang baru semalam menginap di asrama, sontak menjerit, seperti tengah menghadapi makhluk buas.
Ada yang jijik, ada yang geli, dan ada pula yang pura-pura berani.
Setelah mengatur siasat dan berbagi peran, akhirnya Maiyena Erzella Vanjelin yang berusaha tampil gagah maju paling depan, menggenggam gayung seperti ksatria.
Dengan hati-hati ia menengok permukaan air di bak mandi. Cicak yang disangka mati itu mengambang tenang.
Tapi begitu tubuh reptil kecil itu disenggol, mendadak bergerak, teriakan mereka pecah serempak, seperti ledakan kecil yang menggema keluar asrama.
“Tolong… cicak hidup!” suara Maiyena menembus jendela, disambut gelak tawa para pendamping.
“Buang… cepat buang. Buang sama gayungnya.. Itu ada satu lagi, Arrrrrrrrrrh,” teriak Awkila membuat temannya bertambah heboh.
Demikian secuil riuh dalam hari pertama mereka menempati salah satu asrama putri yang sepi, berada di ujung paling belakang kebun pisang Sentra Efata.
Sentra seluas 12 hektare yang merupakan UPT Kementerian Sosial, yang sejumlah bangunannya sementara dimanfaatkan untuk SRMP 19 ini.
Dari asrama itulah, sembilan anak perempuan dari berbagai pelosok desa di Kabupaten Kupang, kini resmi tinggal bersama di bawah satu atap.
Mereka adalah angkatan pertama asrama putri Sekolah Rakyat, tempat belajar, bermain, dan membentuk diri bagi anak-anak dari keluarga penerima bantuan sosial.
Tawa dan Tanggung Jawab
Rutinitas di asrama dimulai pukul 05.00 pagi. Para siswi dibangunkan untuk berdoa, lalu merapikan tempat tidur dan menyapu kamar.
Setelah itu, mereka mandi bergiliran dan sarapan pukul 06.30 Wita. Seusai makan, ada satu tugas wajib lagi, yaitu mencuci piring dan gelas masing-masing.
Setelah semuanya selesai dikerjakan, barulah mereka menuju ke ruang kelas masing-masing untuk memulai aktivitas pekan pertama masa orientasi atau masa pengenalan lingkungan sekolah.
MPLS yang diisi dengan kegiatan berlatih kedisiplinan, baris-berbaris bersama pelatih dari TNI/Polri, hingga ditutup dengan kelas menari dan bahasa.
Di balik keceriaan anak-anak, ada sosok yang senantiasa hadir membersamai mereka. Dia adalah Costodia (34), yang kini tinggal satu asrama bersama sembilan anak-anak itu.
Dia adalah wali asuh, sekaligus petugas pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial Kabupaten Kupang.
Sebelumnya, Costodia bertugas sebagai verifikator lapangan untuk menjaring siswa Sekolah Rakyat dari desa-desa terpencil. Kini, ia menjadi “mama kos” penuh waktu bagi sembilan siswi binaannya.
“Dulu saya datangi rumah mereka satu per satu, sekarang saya tinggal bareng mereka,” ujarnya sembari tersenyum, ketika ditemui ANTARA.
Ia mengenal betul latar belakang tiap anak asuhnya. Priscilia Marta Lilo dari Desa Oefafi. Tirzayana Athalia dari Oetata. Maiyena dari Pantai Beringin. Putri Magdalena dari Fatukanutu. Akwila Ratu dari Oelomin. Firjin Rabeca dari Pariti. Irene, Sofia, dan Melati dari kawasan sekitar Kupang Timur dan perbukitan Sulamu.
Kebersamaan mereka tidak hanya membentuk kedekatan, tapi juga kerja sama. Jadwal harian dibagi rata; dari menyapu lorong, mengepel kamar, hingga mencuci pakaian sendiri. Tentu, masih ada bantuan wali asuh.
Kalau semuanya dilepaskan ke para anak asuh, sambil tertawa Costodia berujar, satu bungkus sabun cuci dihabiskan untuk satu baju. Maklum, mereka belum terbiasa mandiri untuk mengurusi keperluannya.
Kutu dan Boneka
Malam hari, bukan berarti mereka diam dan lelah. Di dalam kamar, ada ritual khusus yang membuat mereka cekikikan sampai larut; berburu kutu rambut.
Firjin dan Irene, dua anak yang tinggal sekamar, punya agenda rutin sebelum tidur.
Saling memeriksa kepala, sembari mengaduk-ngaduk rambut satu sama lain, mencari serangga mungil yang kerap bersembunyi di sela-sela helai rambut keriting mereka.
Cerita yang lucu, Firjin punya alasan pribadi. Ia tidak ingin kutu dari kepala Irene berpindah ke boneka beruang pink miliknya yang bernama “Princess”. Boneka itu menjadi benda paling berharga yang ia bawa dari kampung.
“Iren, tolong lima kutu sudah saya temukan dari kepala mu,” kata Firjin dengan dialek khasnya sambil cekikikan. “Aduh tolong jangan dekat-dekat dulu ke boneka beruang,” sambung Firjin, yang disambut tawa melengking Irene.

Tawa mereka tidak pernah cukup untuk kamar tidak seberapa lebar itu. Putri dan Akwila, dari kamar sebelah, ikut bergabung, membentuk geng pencari kutu malam hari.
Suasana semakin ramai, sampai membuat wali asuh geleng kepala. Bukan marah, tapi tidak kuasa menahan ia ikut melebur melihat gestur Tirza yang centil dan celotehannya bagai pembawa acara gosip di televisi.
Mereka tertawa lepas, saling menggoda, saling sayang. Tidak ada sekat suku, desa, atau status sosial, di antara mereka.
Hingga akhirnya, mau tidak mau, wali asuh membubarkan mereka untuk kembali ke kamar masing-masing, karena hari sudah menunjukkan jam tidur.
Ruang Harapan
Semua anak ini berasal dari keluarga sederhana. Orang tua mereka adalah petani, perajin kain tradisional, buruh kebun, atau nelayan. Tidak sedikit dari mereka yang sebelumnya belum pernah keluar dari kampung halaman.
Kini, mereka menempuh pendidikan dengan sistem asrama, dibiayai penuh negara melalui program Sekolah Rakyat di bawah kendali Kementerian Sosial.
Penerimaan siswa dilakukan melalui seleksi ketat berbasis data terpadu kesejahteraan sosial.
Costodia dan timnya mendatangi rumah-rumah, meyakinkan para orang tua bahwa anak-anak mereka bisa sekolah secara gratis, tinggal di asrama yang layak, dan dibina secara utuh dari jasmani, rohani, dan sosial.
Ada orang tua yang awalnya ragu, tapi setelah kunjungan, banyak yang malah menangis karena bahagia. Seleksi itu merupakan perjalanan panjang karena ada ratusan calon siswa yang terjaring sepanjang Maret-Juni itu.
Kini di Sekolah Rakyat itu menampung 100 anak 12-15 tahun untuk belajar tentang makna kehidupan, bukan sekadar bersekolah.
Mereka semua diajarkan menyapu sendiri, mencuci sendiri, berbagi kamar, belajar kerja tim, mengenal teman dari desa lain, dan menyusun cita-cita yang kelak akan ditunaikan.
Kamar-kamar di asrama mungkin belum sempurna. Dindingnya masih kosong, belum ada poster atau pajangan. Beberapa ranjang bertingkat itu masih ada sisa bungkus plastiknya.
Tapi, keceriaan penghuninya sudah memenuhi seluruh ruangan. Tangis karena rindu, tawa karena keusilan, dan pelukan kecil di kala takut membuat tempat ini tidak sekadar bangunan, melainkan rumah kedua bagi mereka.
Costodia tahu betul, tugasnya bukan hanya memastikan anak-anak asuhnya makan dan tidur tepat waktu. Ia juga pendengar, penenang, pelindung, bahkan pengganti ibu sementara.
Karena itu, Costodia selalu menyampaikan kepada anak asuhnya bahwa ini rumah mereka. Kalau mereka saling menjaga, maka asrama itu akan menjadi surga kecil.
Maiyena, Putri, Tirzayana, dan kawan-kawan, kini memulai lembar baru dalam hidup mereka. Mereka tidak lagi sekadar anak desa yang dicatat dalam daftar PKH Kementerian Sosial.
Mereka adalah penjelajah masa depan yang sedang ditempa di “dapur kecil” bernama asrama. Dan siapa sangka, perjalanan besar itu dimulai dari seekor cicak yang nyasar ke bak mandi.
Meski masih banyak bagian yang harus dirapikan, tapi keberadaan SRMP ini cukup menjadi lentera di tengah angka kemiskinan Kabupaten Kupang yang masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data BPS terakhir yang diperbaharui Maret 2025, angka kemiskinan di kabupaten itu mencapai 21,37 persen, lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional yang berada di angka 8,57 persen.
Kondisi itu berbanding lurus dengan tingginya angka anak dan remaja putus sekolah di Kabupaten Kupang. Data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (sebelumnya Kemendikbudristek).
Terhitung sejak tahun 2023 sampai saat ini ada sebanyak 10.206 anak dan remaja belum pernah bersekolah, 1.509 tidak lulus sekolah.
Data-data itu menegaskan bahwa betapa pentingnya kehadiran sekolah berasrama seperti Sekolah Rakyat, yang bukan hanya menawarkan bangku sekolah, tanpa pungutan biaya.
Sekolah Rakyat juga menjamin anak mendapat makan bergizi, seragam, asrama layak, dan pembinaan karakter.
Untuk siswa, seperti Irene dan teman-temannya, ini kesempatan yang sangat berarti. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat terbatas, mereka nyaris mustahil merasakan pendidikan bermutu.
Sekolah Rakyat dilengkapi fasilitas boarding school berteknologi dan pelatihan kepemimpinan langsung dari prajurit TNI, dan pendampingan psikolog untuk pembinaan mental yang menyeluruh.
Lebih dari itu, program gagasan Presiden Prabowo Subianto ini juga cukup sempurna sebagai pijakan awal dalam upaya mencetak generasi tangguh yang mengambil peran sentral pada era Indonesia Emas 2045.
Itu bukan tidak mungkin, karena kurikulumnya yang dirancang terpadu, antara akademik, pendidikan karakter, dan pendidikan agama, hingga terbentuk pribadi yang berakhlak dan berdaya saing.
Didukung pula oleh sistem multi entry dan multi exit, yang memungkinkan setiap siswa Sekolah Rakyat ini dapat belajar, tanpa terhalang kalender akademik.(Ant)