Sektor Otomotif Butuh Insentif, Bila Ingin Majukan Industri Kendaraan

Kendaraan Listrik

JAKARTA, borneoreview.co – Pemerintah mengandalkan insentif sebagai jurus jitu dalam mendorong pertumbuhan industri otomotif dalam negeri.

Insentif dianggap sebagai upaya strategis untuk menjaga daya saing, meningkatkan produksi, serta memperluas pasar penjualan kendaraan bermotor.

Khususnya, bagi kendaraan roda empat, baik untuk konsumsi domestik maupun dijual ke pasar internasional (ekspor).

Pemerintah mencatat bahwa pemberian insentif fiskal atau nonfiskal terbukti bisa mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional, yang merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia.

Industri ini berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) dan serapan tenaga kerja, sekaligus menjadi penggerak sektor industri pendukung seperti baja, plastik, kimia, dan komponen elektronik lainnya.

Pemerintah mencatat, investasi yang masuk di sektor otomotif sudah mencapai Rp174,31 triliun dengan total penyerapan tenaga kerja langsung di sektor tersebut sebanyak 99.700 orang.

Dari sisi penjualan dan kapasitas produksi, manufaktur mobil pada tahun 2024 memiliki kinerja produksi mencapai 1,19 juta unit, penjualan (wholesales) 865 ribu unit, dan ekspor mobil jadi (completely built-up/CBU) 472 ribu unit.

Sedangkan pada triwulan I 2025 kinerja produksi mencapai 288 ribu unit, penjualan 205 ribu unit, ekspor CBU 110 ribu unit, dan impor CBU pada periode tersebut sebanyak 11 ribu unit.

Dari catatan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) produksi dan penjualan kendaraan roda empat di Indonesia turun dibanding tiga tahun sebelumnya.

Pada 2023 penjualan 1,05 juta, dan produksi 1,395 juta. Selanjutnya pada 2022, penjualan sebanyak 1,04 juta dan produksi 1,47 juta.

Sementara pada tahun 2021 yang merupakan tahun perbaikan (recovery) dari pandemi COVID-19, penjualan pada tahun tersebut mencapai 887 ribu unit dan produksi 1,12 juta unit. Angka ini lebih tinggi dibanding penjualan pada tahun 2024.

Saat ini rasio kepemilikan kendaraan roda empat di Indonesia juga tergolong rendah, yakni 99 mobil per 1.000 orang. Angka ini jauh di bawah Malaysia yang sebanyak 400 mobil per 1.000 orang, dan Thailand 275 mobil per 1.000 orang.

Pengusaha otomotif menilai, naiknya (rebound) industri otomotif dari COVID-19 yang pada tahun 2020 penjualan hanya 532 ribu unit dan produksi 690 ribu unit, dikarenakan pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang diberikan.

Saat ini, salah satu bentuk insentif yang paling menonjol adalah pemberian potongan PPnBM untuk kendaraan ramah lingkungan seperti mobil listrik.

Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 yang diperpanjang hingga 31 Desember 2025 melalui PMK/135/2024.

Selain itu Pemerintah juga memberikan keringanan bea masuk 0 persen untuk kendaraan listrik berbasis baterai, termasuk mobil CBU dan mobil completely knock down (CKD) yang dikukuhkan dalam PMK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.

Beleid tersebut bertujuan untuk mempercepat adopsi kendaraan rendah emisi karbon di Tanah Air dan memacu investasi Battery Electric Vehicle (BEV).

Meski pemerintah gencar mendorong adopsi kendaraan listrik dengan memberikan insentif, pelaku industri menilai dukungan itu mestinya tak hanya menyasar segmen BEV.

Produsen kendaraan bermesin konvensional, seperti internal combustion engine/ICE, terutama manufaktur eksisting yang memproduksi kendaraan hemat energi dan harga terjangkau (low cost green car/LCGC) dan kendaraan niaga.

Juga memerlukan dukungan agar bisa kompetitif di pasar domestik maupun internasional, apalagi di tengah kondisi ketidakpastian global.

Bahkan Gaikindo menilai, mobil di bawah Rp400 juta tidak semestinya dikenakan PPnBM karena saat ini banyak digunakan sebagai barang modal untuk bekerja dan mencari nafkah.

Dampak Berkelanjutan

Secara historis, insentif memang memberikan dampak besar bagi pemajuan industri otomotif domestik.

Apabila melihat catatan pada masa COVID-19 yang membuat penjualan dan produksi merosot, insentif PPnBM dan PPN DTP yang diberikan Pemerintah menggairahkan daya beli konsumen ke industri ini.

Penjualan mobil baru di Indonesia misalnya, melesat 72,6 persen dari 49.202 unit pada Februari 2021 menjadi 84.910 unit pada Maret 2021 (month to month).

Kenaikan penjualan hingga 72,5 persen terjadi setelah Pemerintah menerapkan insentif PPnBM pada 1 Maret 2021 untuk mobil berkapasitas mesin 1.500cc ke bawah, yang dilanjutkan untuk kendaraan bermesin 1.501cc hingga 2.500cc pada awal April di tahun yang sama.

Penjualan sebanyak 84.910 hampir mendekati rata-rata penjualan mobil pada 2019 atau sebelum pandemi COVID-19 masuk Indonesia, yakni rata-rata 85.576 unit dari total tahunan 1,03 juta mobil.

Hasil niaga pada Maret 2021 bahkan melewati tiga bulan pertama 2020 yakni Januari 80.435 unit, Februari 79.644 unit, dan Maret 76.811 unit secara wholesales.

Sedangkan pada saat pandemi, penjualan bulanan untuk mobil baru dalam sebulan maksimal hanya mencapai 50-an ribu unit. Sayangnya kebijakan ini tak dilanjutkan untuk semua segmen otomotif.

Institute for Strategic Initiatives (ISI) menyebut bahwa diskon PPnBM pada masa COVID-19 telah meningkatkan nilai penjualan mobil sebesar Rp22,95 triliun.

Angka ini lebih tinggi dari periode yang sama pada 2020 yang hanya sebesar Rp10,62 triliun. Pendapatan negara juga melonjak menjadi Rp5,17 triliun, lebih tinggi di periode yang sama secara tahunan yang sebesar Rp3,3 triliun.

Ini berarti tak selalu relaksasi pajak membuat pendapatan negara turun.

Selain berdampak positif langsung terhadap industri otomotif, ternyata pemberian insentif PPnBM maupun PPN DTP juga memberikan dampak berkelanjutan (multiplier effect) ke penyerapan tenaga kerja dan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB).

Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Indonesia (LPEM) UI Riyanto mencatat, pemberian insentif PPnBM dengan skema 10 persen.

Hal itu bisa memacu kontribusi industri otomotif domestik terhadap PDB nasional sebesar 0,72 persen dan memberikan total tambahan tenaga kerja secara menyeluruh sebanyak 15.790 orang.

Apabila diterapkan dengan skema PPnBM 0 persen, kontribusi industri otomotif terhadap PDB akan melonjak hingga 0,79 persen dan memberikan peluang penyerapan tenaga kerja secara keseluruhan sebanyak 47.371 orang.

Butuh Konsistensi

Manufaktur otomotif nasional saat ini berada di persimpangan penting, dengan potensi pasar yang besar, bonus demografi, serta tren persaingan global.

Meski insentif dinilai sebagai jurus jitu, namun dalam pelaksanaannya perlu konsistensi kebijakan dan evaluasi berkala agar anggaran negara yang digelontorkan tepat sasaran.

Pemerintah diharapkan melihat kondisi sebenarnya dari kebutuhan masyarakat, supaya insentif tak disalahartikan sebagai subsidi atau dukungan jangka pendek yang tak berkelanjutan, dan bahkan hanya bermanfaat bagi segelintir kelompok saja.

Indonesia punya peluang besar untuk menjadi pemain utama otomotif di Asia. Namun, keberhasilan itu bergantung pada efektivitas kebijakan insentif dan keseriusan seluruh pihak dalam menciptakan ekosistem yang terintegrasi.

Insentif bukan semata keringanan biaya, tapi mesti diartikan sebagai strategi untuk membentuk masa depan industri otomotif yang berkelanjutan, inklusif, dan kompetitif.

Pemberian insentif harus mencakup semua segmen otomotif, ICE, BEV, dan Hybrid harus merasakan manisnya dukungan. Pengusaha manufaktur hingga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) pemasok suku cadang juga perlu diperhatikan dalam ekosistem ini.

Terdapat risiko ketimpangan dalam pertumbuhan antarsegmen industri otomotif apabila insentif yang diberikan tak menyeluruh. Padahal ekosistem industri otomotif yang kuat bergantung pada keberlangsungan semua jenis kendaraan.

Pemerintah hingga kini terus mengkaji pemberian insentif untuk semua jenis kendaraan. Ini dilakukan sebagai upaya mendorong agar industri otomotif nasional terus berkembang.

Dalam hal ini, pemerintah diharapkan bisa mengambil kebijakan dengan melihat lebih dalam peranan industri yang berkontribusi besar terhadap pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai opsi penilaian pemberian insentif.

Jika dijalankan dengan konsisten dan tepat sasaran, insentif bisa menjadi kunci emas dalam memperkuat kontribusi industri otomotif terhadap ekonomi Indonesia, dan menjadikannya sebagai pemain utama tak hanya di ASEAN, melainkan Asia.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *