DEPOK, borneoreview.co – Belajar di sekolah yang menerapkan filosofi semut, tentu membawa rasa ingin tahu.
Kenapa harus berpegang pada filosofi, dan cara hidup koloni semut. Apa istimewanya?
Tapi, itulah yang membedakan sekolah yang satu ini: Semut-Semut. Mengunjunginya, merupakan pengalaman batin tersendiri.
Seperti pagi itu. Pagi selalu sibuk di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi jika itu hari Senin.
Di jalan protokol Ibu Kota, bau asap knalpot teraduk dengan bising klakson kendaraan yang seperti parkir di tengah jalan.
Di dalam gerbong kereta listrik, orang-orang bergerak bukan karena mereka ingin, tapi didesak oleh orang lain yang takut terlambat bekerja.
Tapi, Senin pagi di Jalan Industri Kapal Dalam, Tugu, Cimanggis, Kota Depok, tidak seperti itu.
Di sana, burung-burung hinggap di pohon mangga dan rambutan seperti biasa.
Mengoceh tak sudah-sudah, beriringan dengan langkah kaki kecil anak-anak yang di dalam kepalanya berpikir dengan semangat, “Main apa hari ini?”
Di sana, mereka berlari terburu-buru untuk mengejar teman mainnya. Memulai percakapan bukan dengan kata, kecuali senggolan badan atau sebuah tepukan di pundak.
Atau, bisa juga dengan tatapan, seringai, lalu lomba lari tanpa aba-aba dengan sebelah tangan sama-sama menggenggam tas bekal.
Jika ada seseorang yang sedang patah hati, sepertinya mereka cocok untuk duduk di kursi kayu panjang salah satu warung di Jalan Industri Kapal Dalam pagi-pagi.
Menatap ke area gerbang oranye di sudut sekolah yang memelihara pohon mangga, rambutan, melinjo yang tumbuh besar-besar.
Karena di sudut sekolah itu, sebuah dekapan, kecupan di kening, doa yang dibacakan di pucuk rambut, telapak tangan saling beradu, terjadi tidak berjeda.
Dari seorang ayah kepada putri yang teramat dijaganya, dari seorang ibu kepada anak laki-laki kebanggannya.
Atau apapun hubungan itu, cukup untuk menunjukkan kepada si patah hati bahwa kasih sayang dengan ketiadaan pamrih itu terhambur.
Sekaligus mematahkan gagasan bahwa Senin pagi itu selalu bertensi tinggi.
Jika itu pukul 7.30, lebih ataupun kurang, akan ada satu atau dua orang guru piket yang berjaga di belakang gerbang oranye.
“Assalamu’alaikum,” kata guru perempuan sambil bersedia memberikan punggung tangannya untuk dicium oleh anak-anak sekolah dasar.
“Assalamu’alaikum cantiiiik,” kata itu kepada seorang anak perempuan TK yang sudah siap dengan segala keperluan belajarnya.
Ekspresi dan gesturnya berbeda, lebih ceria nan membangun semangat.
Satu per satu, silih berganti, rutinitas itu bergulir. Dari kecup orang tua yang melepas anak belajar, sesama teman yang siap bermain, siswa yang “salim” dengan gurunya di gerbang sekolah.
Hingga mereka berjalan menyusuri “lorong” beratapkan kanopi pepohonan tropis yang sudah berumur.
Semut-Semut The Natural School. Namanya memang seperti sekolah alam, yang berfilosofi bahwa pembelajaran dilakukan di luar ruangan seperti di bawah pohon, kebun, atau kolam.
Meski sekolah ini sangat sejuk karena banyak pohon besar yang menaungi berbagai segi sekolah, siswa Semut-Semut tetap belajar di kelas.
Sesekali anak-anak keluar kelas untuk mengamati pohon kopi, melinjo, sirih gading raksasa, atau pohon bunga lainnya sebagai proses pengamatan langsung pelajaran sains.
Natural School yang tersemat dalam nama sekolah itu lebih memiliki arti pendidikan dan pertumbuhan natural.
Atau, jika boleh disebut, fitrah manusia dalam belajar dan bertumbuh, sesuai usia mereka.
Sebagaimana fitrah seorang anak yang selalu ingin tahu, suka bermain sampai puas, melompat, memanjat, berlari, mengamati, berinteraksi, yang semuanya seperti tersedia di sekolah ini.
Tidak hanya pepohonan dan tanaman, berbagai hewan seperti lebah, kelinci, lele, kakak tua, bahkan belatung atau maggot dipelihara dan jadi objek pembelajaran.
Ketika sudah waktunya, anak-anak bebas bereksplorasi pada seluruh tempat di penjuru sekolah yang dulunya adalah sebuah kebun.
Jika bicara fasilitas, semua lembaga atau yayasan yang berkelebihan uang akan dengan mudah menyediakan apapun, untuk mempercantik brosur pemikat calon orang tua siswa baru.
Yang berbeda adalah nilai-nilai yang ditanamkan, selalu dipupuk, dirawat, hingga kelak menjadi kokoh.
Di Semut-Semut, anak-anak dibiarkan berkembang sehebat-hebatnya, terbang setinggi-tingginya, tapi memastikan kaki mereka tetap menjejak pada dua pijakan: Islam dan Indonesia.
Meski bukan sekolah dengan label Islam Terpadu (IT), nilai-nilai Islam yang membawa aturan kebaikan dalam seluruh perkara kehidupan manusia diterapkan di sini.
Nama Semut-Semut diambil dari satu surat dalam Al Quran, An-Naml, dengan segala filosofi serangga berkaki enam.
Yang meliputi kecerdasan, nalar, perencanaan, organisasi sosial, gotong royong, dan sistem komunikasi yang memungkinkan mereka memberi peringatan, agar tidak terinjak oleh pasukan Nabi Sulaiman.
Secanggih apapun generasi alpha mahir mengoperasikan aplikasi di gawai dan komputernya, guru-guru tetap membumikan permainan benteng, boy-boyan, lompat karet, congklak, gobak sodor, dan apapun itu namanya serta dari mana asal daerahnya.
Jika saja tawa itu berbentuk padat ketika keluar dari mulut guru dan murid, “ha-ha-ha” akan berserakan di tiap kelas, selasar, lapangan basket, kebun tengah, kantin, gerbang sekolah, bertumpuk-tumpuk.
Area fasilitas sekolah yang menjadi satu antara sekolah dasar dan taman kanak-kanak membuat siswa tiap jenjang saling menghormati dan menyayangi.
Adik kelas selalu memanggil “Kak” pada yang lebih tua, dan kakak kelas mendampingi adik-adiknya dengan panggilan “Dek”.
Untuk beberapa anak, perbedaan usia bukan jadi penyekat persahabatan di antara mereka.
Sekolah inklusi yang memberi ruang pada anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan teman lainnya, adalah praktik tenggang rasa dari pelajaran di buku sekolah.
Anak-anak belajar untuk tidak membedakan apalagi merundung teman spesial mereka, melainkan mendampingi, membantu, dan terbiasa memberikan apresiasi kecil yang terasa besar bagi siswa inklusi.
“Happy Teacher, Cheerfull Kids” moto sekolah itu. Guru-guru di Semut-Semut sepertinya memang memiliki panggilan dalam hatinya masing-masing untuk mengajar. Tidak hanya sebatas bekerja untuk memenuhi kecukupan hidup.
Guru di Semut-Semut seperti kakak, atau orang tua bagi muridnya. Bagi orang tua siswa, guru seperti rekanan yang sama-sama berusaha mendidik, sebagaimana anak menjadi tanggung jawab yang akan diperhitungkan kelak di akhirat.
Tiap liburan yang terlalu panjang, guru-guru itu merindu muridnya. Bahkan, salah seorang guru menangis ketika hari terakhir mengajar di kelas pada akhir tahun ajaran.
Hari Guru adalah sebuah hari raya di sekolah Semut-Semut.
Ucapan terima kasih dan apresiasi tidak reda disampaikan oleh para orang tua murid yang bergerombol masuk ke area sekolah.
Untuk merayakan kepada setiap pengajar, “Hari ini adalah hari besarmu!”
Begitu hangat? Ya. Karena itulah anak-anak tidak pernah malas-malasan berangkat sekolah.
Orang tua begitu antusias ketika terlibat dalam proses pembelajaran anak di sekolah.
Karena, “seleksi” dari sekolah ini yang membentuk sifat yang sama, yang dominan, yang paling banyak muncul, haruslah kebaikan.
Prime Principal Yayasan Semut Beriring Arfi Destianti akan mewawancara orang tua calon murid yang ingin menyekolahkan anaknya di Semut-Semut.
Tujuannya hanya satu: menyamakan visi sekolah dengan visi orang tua.
Agar orang tua tidak berpandangan bahwa dengan menyerahkan anak dan membayar biaya sekolah, telah menyelesaikan tugasnya untuk mendidik.
Lalu, menuntut keturunannya menjadi pintar dan berbudi luhur setelahnya.
Karena, sekolah hanya melanjutkan apa yang telah dimulai di rumah. Guru memupuk dan merawat, tapi benih bibitnya berasal dari yang ditanam sejak kecil oleh keluarga.
Nilai dan karakter tidak serta merta lahir di ruang kelas, melainkan tumbuh dari percakapan, kebiasaan, dan kasih yang pertama kali diajarkan di rumah.
Sekolah adalah tempat menuntut ilmu, guru yang mengajarkan pengetahuan, tapi hanya orang tua yang bisa menanamkan arah ke mana anak tumbuh bergerak.***