PONOROGO, borneoreview.co – Tugas guru terpenting adalah menebarkan cinta. Jika imaji kebencian lindap di hati kecil seorang guru, jelas tidak akan memberikan vibrasi pendidikan mental terbaik.
Untuk itu, pembelajaran guru membutuhkan eksistensi cinta dalam beragam wujudnya.
Ada dua buku menarik, mengapa pembelajaran berbasis cinta menjadi menarik dalam konteks kekinian.
Apalagi, setelah Kemenag mengeluarkan Panduan Pembelajaran Kurikulum Berbasis Cinta 2025.
Pertama, buku Aksin Wijaya berjudul Berislam dengan Cinta, khususnya bab Seni Mencintai, Mengada, dan Seni Dicintai. Kedua, buku karya Edi Sutarto berjudul Pemimpin Cinta.
Intinya, kedua buku ini menggambarkan bagaimana kompleks dan substilnya roh cinta bagi sesama makhluk, selain cinta kepada Sang Sumber Cinta.
Guru, dalam konteks mutakhir, memang dalam kondisi dilematis, tidak seleluasa era 80-an atau 90-an, ketika tantangan teknologi media nyaris tidak ada.
Disrupsi digital sering kali mengikis emosi, perhatian, moral, bahkan rasa cinta secara perlahan.
Di sinilah, dibutuhkan bagaimana seni guru berperan dalam pendidikan berbasis cinta.
Bagaimana Islam, misalnya, menggunakan modus mencintai dan mengada, Tuhan, manusia, dan alam.
Aksin Wijaya mengelompokkan cinta menjadi; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, cinta lingkungan, dan cinta tanah air.
Seni pembelajaran berbasis cinta, karena itu akan menyuburkan empat lingkup cinta tersebut.
Sebagai pendidik, tantangan terbesar sekarang adalah bagaimana mengajarkan kasih sayang dalam semua sisi pendidikan yang diraktikkan.
Bagaimana menghadapi anak yang cuek, malas, tidak sadar diri, penyendiri, bahkan mengalami goncangan mental secara tidak sadar.
Di luar itu, pendidik juga dikejar-kejar oleh tugas administrasi, yang makin menjauhkan mereka dari hakikat mendidik bagi kehidupan siswa.
Bagaimana seni mengajarkan penuh cinta, tentu merupakan akar penting, yang menarik direnungkan, dieksplorasi, dan dikreasikan secara menarik.
Ibarat seorang dalang, guru memang wajib mahir berperan dalam konteks sebanyak mungkin peran tokoh.
Seni mengajar berbasis cinta berikut barangkali menarik direnungkan dan dipraktikkan.
Pertama, lahirnya guru berjiwa rahman dan rahim. Guru dalam konteks ini adalah guru yang berkesadaran atas nilai kasih sayang.
Kasih kepada yang berbeda keyakinan dan iman, pun penuh sayang dengan yang seiman.
Semua agama hakikatnya mengajarkan cinta.
Hanya guru bermata cinta yang akan terbuka hati tidak membedakan sesama, tersentuh hati dalam berempati rasa, dan menumbuhkan rasa cinta anak didik.
Fungsi cinta, salah satunya adalah mendorong keberadaan manusia untuk mengada, mengekspresikan eksistensi diri.
Guru penuh cinta adalah dia yang berkesadaran dalam mengenali potensi anak didik. Membimbing dan mengembangkan.
Serta, mengantarkannya mampu hidup mandiri dan penuh kesadaran cinta pada diri dan sesamanya.
Anak-anak bermasalah dalam beragam wujudnya, guru cinta wajib hadir dan memiliki selusin cara mendekat, mengulik, dan mengulurkan tangan agar si anak terhindar dari jurang kegelapan.
Kedua, adanya kesadaran pendidik bahwa materi apa pun yang diajarkan, wajib meningkatkan kesadaran cinta terdidik terhadap sesama makhluk dan Tuhan.
Hakikat semua bidang studi bisa digunakan untuk menanamkan hakikat cinta.
Empat jenis hakikat cinta, sebagaimana diungkapkan Aksin wijaya bisa dipantik dan diulik lewat materi belajar, baik bersifat sains maupun sosial humaniora.
Jika setiap materi yang disuguhkan guru berkaki-tangan cinta, maka kebiasaan hidup penuh empati otomatis akan menjadi habitus mental yang diliputi kepedulian dan pengorbanan sesama.
Perangkat hati berwarna cinta, seperti perhatian, kepedulian, kerelaan, hasrat, empati, rasa memiliki, takut kehilangan, dan adanya rasa cemburu yang positif, akan menjadi modal kebersamaan hidup yang positif.
Seni mengajar ber-roh cinta akan senantiasa menyalakan hati dalam berbagai kondisi, baik di kelas, luar, ataupun di rumah.
Apalagi, jika sekolah secara bersama-sama menyinergikan nilai cinta hidup terintegrasi dengan informal (rumah) dan nonformal (masyarakat).
Ketiga, adanya guru yang memandang kolega dan anak didik dengan penuh cinta.
Syarat demikian, jelas tidak akan membeda-bedakan eksistensi diri manusia, selain dapat menumbuhkan nilai kebersamaan dalam orientasi dan kepentingan kemanusiaan yang sama.
Tolong-menolong dan saling menghargai sebagai wujud cinta, misalnya, akan menjadi hal otomatis, ketika realita sosial memanggilnya.
Ingat, di kehidupan masyarakat desa, hal ini, jelas masih tumbuh subur.
Tradisi gotong royong, berupa aktivitas “sambatan” (bekerja tanpa imbalan) di desa kala membangun rumah, merupakan contoh perwujudan hakikat cinta sosial kemanusiaan yang sudah berakar.
Demikian juga realita hidup penuh cinta di masyarakat desa, tampak pada saat hajatan keluarga, seperti acara pernikahan, undangan selamatan/syukuran.
Terutama, saat anggota masyarakat berduka, anggota keluarga meninggal.
Tugas guru dan sekolah tinggal memunguti, mendaras, dan mengangkatnya sebagai materi pembelajaran cinta yang nyata dan menyentuh jiwa.
Bukankah sesungguhnya materi belajar siswa itu nyata dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi seringkali terabaikan dalam pembelajaran formal.
Proses pembelajaran, selama ini tidak jarang terjebak pada materi bersifat teoritis, bukan hakikat praktis dalam kehidupan nyata.
Apalagi, di tengah kungkungan administrasi pendidik yang menggunung.
Apa yang dialami kolega guru, misalnya, berkaitan dengan keluarga dan anak-anaknya, kita bisa jadikan media saling menanam dan menumbuhkan cinta.
Kegiatan sekolah berbasis kekeluargaan, seperti arisan keluarga sekolah dan peduli duka, menarik dilestarikan dalam membangun budaya sekolah penuh kasih.
Arisan keluarga besar institusi pendidikan, sekarang mulai memudar, banyak yang sudah meninggalkan.
Untuk itu, melalui progam Kurikulum Cinta, yang digemakan Kemenag, menarik dibangkitkan ulang.
Mari ciptakan habituasi cinta secara alami di keluarga sekolah.
Keempat, bagaimana guru cinta yang berkesadaran lingkungan. Banyak hal kecil di sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk menanamkan cinta lingkungan.
Di sebuah sekolah di Ponorogo, misalnya, ada program bertema pembiasaan 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Pembiasaan itu, seperti bebersih kelas, menyiram tanaman, dan berbenah suasana agar indah.
Anak-anak diajar menyapu, membersihkan lingkungan, peduli tanaman sekitar, mengairi tanaman sekitar.
Guru hadir memberi contoh langsung, bukan sekadar memerintah.
Guru penting menemani dalam kegiatan pembiasaan, sehingga teladan pembelajaran cinta lingkungan menjadi masif dan infiltratif meresap ke mental bawah sadar anak didik.
Pembiasaan pendidikan itu penting, sebab di sekolah rata-rata kebersihan dibebankan pada petugas kebersihan.
Padahal, di masa sekolah SD dan SMP generasi 60-an hingga 80-an, diwujudkan melalui program piket kelas.
Piket kelas dan program pembiasaan, merupakan hal sederhana, tetapi menarik dihidupkan kembali dalam rangka membiasakan rasa cinta pada lingkungan.
Kelima, guru yang diliputi hakikat cinta kepada tanah air. Ketika guru mencontohkan diri sebagai model guru terbaik, peduli pada anak, respek terhadap sesama, rajin dan giat mengajar, maka akan menjadi model besar cinta bagi anak didik.
Guru yang sadar atas diri akan melahirkan anak-anak yang sadar diri pula. Menjadi anak kreatif dan mandiri tidak menjadi beban kehidupan, tidak menjadi beban keluarga dan negara.
Anak-anak yang berkesadaran cinta kepada tanah air adalah mereka yang memiliki etos kerja keras, belajar keras, ulet, pantang menyerah, peduli, empati.
Juga penuh kasih, hanya akan lahir jika guru menjadi perwujudan dan model cinta hakiki terhadap tanah air.
Keenam, adanya guru berlimpah dengan cerita cinta. Guru-guru yang memiliki khasanah cerita hikmah, baik cerita pengalaman atau rekaan bernilai cinta, akan menjadi upaya lain penyentuh hati dan jiwa.
Pembelajaran berbasis cinta akan menjadi efektif jika pendidik adalah kolektor kisah cinta kehidupan yang ulung dalam beragam dimensi, cinta Ilahi, kemanusiaan, lingkungan, dan tanah air.
Begitu banyak buku bacaan, materi literasi di sekolah atau media internet, yang dapat digunakan sebagai materi, sekaligus sarana pengulik nilai-nilai cinta kehidupan.
Kisah-kisah manusia teladan, baik dalam kisah pahlawan atau sehari-hari, menjadi materi imajinasi yang bisa menjadi simulator ajaib bagi pikiran, rasa, dan jiwa anak didik.
Akan sangat efektif jika guru menjadikan itu semua sebagai penyedap pembelajaran materi apa pun yang disuguhkan di ruang kelas.
Terakhir, pentingnya kesadaran cinta religius guru kepada hakikat keilahian.
Tuhan meliputi segala makhluk di Bumi, maka segenap hal yang ada di semesta raya, alangkah indahnya senantiasa digunakan dalam penanaman hakikat cinta keberadaan Sang Ilahi.
Tuhan yang berkehendak dan yang menguasai semesta dengan sifat rahman dan rahimnya akan mengalirkan nafas kehidupan terbaik kepada manusia dan semesta.
Filosofi Kebijakan
Jika kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) yang ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 tentang pentingnya pendidikan berbasis cinta.
Maka, tugas guru adalah melaksanakan secara terbaik penuh kreasi dan inovasi.
Sebab, pesan filosofi kebijakan demikian, tentu bersifat filosofis yang disiapkan dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Sebuah imajinasi tentang karakter generasi masa depan yang dirindukan, yakni Generasi Emas Indonesia yang cerdas, terampil, berakhlak mulia, dan berintegritas tinggi.
Imajinasi generasi berkecerdasan komprehensif, inovatif dan produktif, serta memiliki kesadaran cinta.
Pembelajaran dan penanaman cinta melalui ulikan nilai-nilai, seperti religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, peduli, dan berintegritas.
Penuh aroma cinta, akan menjadi kado Indonesia terindah di ulang tahun ke-100 kelak.
Pesan pembelajaran cinta bersifat filosofis dan substansial. Bukankah akar kehidupan dengan beragam perspektifnya adalah cinta?
Di tengah kehidupan penuh dengan disrupsi, maka balutan nilai dalam beragam hakikat dan wujud cinta akan menguatkan nasionalisme di satu sisi, dan di sisi lain jelas menghadirkan sosok generasi yang purna dalam hidupnya.
Kekuatan cinta dalam pendidikan nasional akan menjadi fondasi dahsyat dalam mewujudkan manusia Indonesia ke depan.
Jika Gordon Dryden dan Jeannette Vos, dalam buku “Revolusi Belajar” mengutip pendapat Nasibitt tentang pentingnya nasionalisme budaya di tengah globalisasi dunia.
Maka, hanya pendidikan berbasis cinta yang akan menguatkannya.
Begini pesan Nasibitt, “Semakin kita mengglobal dan menjadi saling bergantung secara ekonomi, kita pun semakin bertindak manusiawi;
kita semakin menegaskan kekhasan kita, semakin ingin mempertahankan bahasa kita, dan berpegang teguh pada akar dan kebudayaan kita.
Walaupun Eropa bergabung secara ekonomi, saya kira bangsa Jerman akan semakin Jerman, dan bangsa Prancis akan semakin Prancis”.
Pernyataan ini merupakan tanda besar akan pentingnya cinta tanah air, nasionalisme sebagai sebuah bangsa unggul. Globalisasi justru memanggil kita semakin cinta kepada tanah air.
Dengan apa? Dengan meningkatkan kualitas diri, kesadaran cinta, serta memiliki kecakapan literasi global dan lokal sekaligus untuk menjadi manusia seimbang.
Demikian pula, pembelajaran mendalam, kebijakan Kemendikdasmen.
Tentu akan memberikan ruang luar biasa untuk eksplorasi cinta secara mendalam yang berkaitan dengan segala persoalan kehidupan.
Pembelajaran setiap materi penting diulik mendalam, ditelisik koneksi nilai kehidupan, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tugas guru memang semakin kompleks, yakni menyiapkan generasi global berkaki lokal, penuh cinta, mandiri dan kreatif, sehingga kompetitif di masa depan.
Kolaborasi positif antara kolega guru, diskusi dan berbagi, melibatkan tiga pilar pendidikan, merupakan sinergisitas yang wajib diwujudkan dalam praktik pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan tidak boleh merasa super, sebaliknya wajib merangkul keluarga dan institusi masyarakat, agar pendidikan menjadi holistik berbasis akar-akar cinta kehidupan nyata.
Guru cerdas intelektual, penuh cinta, mahir hidup dalam kompetisi global, serta mampu bekerja terbaik dalam mewujudkan mimpi generasi emas ke depan.
Mari menjadi guru berjiwa seni, seni mengajarkan hakikat hidup yang diliputi hikmah penuh cinta.
Seni adalah guru kehidupan, bukan sekadar teori demi teori, tetapi guru yang dipenuhi dengan mutiara sari dari teori yang asyik dipraktikkan di kehidupan sehari-hari.
Sebuah anyaman nilai-nilai hidup yang terpatri abadi, menjadi karakter pribadi generasi, dan berdaya saing di tahun 2045.***
*) Dr H Sutejo MHum adalah Ketua Perwakilan YPLP PGRI Kabupaten Ponorogo 2025-2030, Koordinator Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Ponorogo, dosen di lingkungan LLDIKTI Jawa Timur