Oleh: Muhammad Irfan Abdul Aziz
PONTIANAK, borneoreview.co – Selasa petang, 9 September 2025 kita dikejutkan dengan serangan Israel ke wilayah Qatar yang menargetkan pimpinan gerakan perlawanan Palestina. Tentu dunia internasional pun terkejut, karena serangan tersebut dilakukan di tengah-tengah proses negosiasi gencatan senjata antara Palestina dan Israel yang dimediasi oleh Qatar.
Pada peristiwa itu, penjajah Israel telah melakukan beberapa kali serangan. Selain lima orang Palestina, juga terdapat satu orang dari pasukan keamanan internal Qatar yang menjadi korbannya. Dengan demikian, serangan penjajah Israel ini bukan saja telah melanggar batas kedaulatan teritori hukum internasional, namun juga telah melampaui nilai moral terhadap pihak yang sedang bernegosiasi, bahkan terhadap pihak yang menjadi tuan rumah negosiasi tersebut.
Di tanah Palestina, penjajah Israel terus melakukan penyerangan, bahkan ke warga-warga sipil. Misalnya sehari sebelumnya (8/9/2025) penjajah Israel telah melakukan serangan yang lebih luas di Gaza. Setidaknya 67 jiwa menjadi korbannya, termasuk 14 orang yang sedang mencari bantuan.
Sebelum menyerang Qatar, penjajah Israel juga telah menyerang Suriah pada malam harinya. Padahal Israel dan Suriah telah melakukan pembicaraan damai secara langsung beberapa bulan terakhir ini. Serangan penuh arogansi tersebut juga masuk ke wilayah Tunisia, negara tempat singgahnya Global Sumud Flotilla, koalisi kemanusiaan dengan misi damai yang melibatkan lebih 50 kapal dari berbagai negara. Mereka akan lanjut untuk membuka blokade Gaza dan menyampaikan bantuan kemanusiaan.
Sehari setelah menyerang Qatar, penjajah Israel juga menyerang Yaman hingga jatuh korban jiwa sekitar 35 orang dari warga sipil dan melukai 131 orang. Serangan penjajah Israel ini menghantam pemukiman dan fasilitas medis. Serangan ke Yaman ini sebenarnya sudah sering berulang, dan semakin menguatkan kesan bahwa Israel bukan saja ancaman bagi Palestina namun juga ancaman bagi kawasan Arab.
Agresi di Tengah Proses Diplomasi
Serangan di tengah proses negosiasi gencatan senjata tentunya menegaskan bahwa penjajah Israel tak peduli dengan diplomasi. Negosiasi yang dijalani mestinya berorientasi menyelesaikan konflik dan memperhatikan kepentingan jangka panjang suatu negara serta stabilitas hubungan internasional. Negosiasi akan berlangsung baik bila terjaganya rasa hormat antar pihak yang bernegosiasi.
Inilah yang tak diwujudkan oleh pihak Israel. Alih-alih menjaga rasa hormat, ia justru mengagresi pihak yang sedang bernegosiasi. Alih-alih menyelesaikan konflik, ia justru membuka konfrontasi bahkan dengan pihak yang memediasi dan menjadi tuan rumah utama negosiasi.
Sementara itu, pihak perlawanan Palestina tampak lebih siap bernegosiasi. Sehingga detail dalam merumuskan proposal yang diajukan, dengan tetap memperhatikan riwayat negosiasi dengan penjajah Israel.
Pihak perlawanan Palestina tampak memiliki tujuan yang jelas dan realistis dalam negosiasinya. Mereka mengidentifikasi kepentingan nasional yang perlu dibela, sehingga meminta ditarik mundurnya pasukan penjajah dari wilayah Gaza serta menghentikan pemukiman ilegal di wilayah Tepi Barat. Mereka tidak mudah berkompromi pada hal yang mendasar, tentang kedaulatan dan kemerdekaan yang hakiki, bukan kemerdekaan yang tetap dikangkangi penjajahan.
Hal-hal inilah yang tak disetujui Israel. Lalu apa gunanya berdamai kalau pasukan penjajah Israel masih berkeliaran di Gaza, pemukiman illegal terus dibangun di Tepi Barat, serta warga Palestina terus-terusan ditangkap dan ditahan? Bukankah Ken Booth menegaskan dalam Critical Security Studies (2005), bahwa perdamaian hanya mungkin jika semua pihak berada dalam posisi setara.
Fatalnya, ketidaksetujuan itu disikapi dengan agresif oleh penjajah Israel dengan melakukan agresi. Ini semakin menunjukkan wajah sesungguhnya dari penjajah Israel, yang sejatinya memang ingin menguasai tanah Palestina seluruhnya bahkan wilayah-wilayah sekitarnya.
Serangan penjajah Israel di tengah negosiasi semacam ini bukanlah pertama kali. Beberapa bulan sebelumnya juga terjadi serangan ke Iran saat berlangsung negosiasi antara Iran dan Amerika Serikat. Saat itu (17/6/2025), Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Boroujerdi menegaskan, “Negosiasi tidak lagi memiliki pembenaran rasional jika dilakukan di tengah agresi militer. Ini bentuk sabotase terhadap perdamaian.”
Atau penjajah Israel memang ingin menciptakan kondisi ‘ripeness’ yang dipaksakan, sebagaimana istilahnya William Zartman. Yaitu kondisi saat salah satu pihak dibuat tak mampu lagi melawan. Bila itu yang dilakukan, sesungguhnya penjajah Israel memang tak memilih jalur diplomasi.
Riwayat Penjajah Israel
Dunia menyaksikan adanya stagnasi proses perdamaian dalam satu dekade terakhir. Hal itu karena penjajah Israel terus menolak tuntutan Palestina. Tuntutannya realistis, hentikan pembangunan pemukiman ilegal dan kembali ke batas 1967. Atau ditambah dengan buka blokade Gaza. Realistis, karena selama pemukiman ilegal dan gaza diblokade maka tak akan terwujud kedamaian. Tapi itu sulit bagi Israel yang sedari awal memang ingin menguasai seluruh tanah Palestina, bahkan hingga wilayah antara sungai Nil (Mesir) dan sungai Eufrat (Suriah dan Iraq).
Maka kita menyaksikan negosiasi 20 Menlu dan perwakilan negara yang diinisiasi Prancis pada Juni 2016 untuk solusi dua negara itupun gagal. Kemudian Konferensi Perdamaian Timur Tengah pada Januari 2017 juga gagal karena diboikot Israel. Rusia dan Tiongkok yang mencoba berinisiatif menginisiasinya pun gagal. Kondisinya diperparah saat Knesset mengesahkan Undang-Undang yang menghapus Al Quds dari proses negosiasi. Padahal Al Quds dan Al Aqsha adalah garis merah bagi umat Islam, ibukota bagi Palestina, yang mesti steril dari penjajahan.
Di sisi lain, agresi penjajah Israel terus dilancarkan. Mereka melakukan operasi Pilar Pertahanan ke wilayah Gaza pada 14 – 21 November 2012 yang dilawan oleh pejuang Palestina dengan operasi Batu Neraka. Kemudian Israel kembali mengagresi dengan operasi Tepi Pelindung ke wilayah Gaza pada 7 Juli – 26 Agustus 2014 yang dilawan oleh pejuang Palestina dengan operasi Daun yang Dimakan Ulat. Pada 10 – 21 Mei 2021, pejuang Palestina melawan dengan operasi Pedang Al Quds setelah penjajah Israel semena-mena terhadap kampung Sheikh Jarrah hingga meluncurkan operasi Penjaga Tembok.
Agresi militer yang mengorbankan ribuan nyawal sipil tersebut terus dilakukan oleh penjajah Israel. Maka tak heran bila Mahkamah Pidana Internasional pun mengeluarkan surat perintah penangkapan Benjamin Netanyahu atas dugaan kejahatan perang.
Bahkan, agresi-agresi tersebut tetap berlanjut di masa-masa negosiasi diplomasi damai. Dan menyerang secara arogan bukan hanya wilayah Palestina, namun juga negara-negara lainnya di sekitarnya. Atau, itu memang realisasi dari Kesepakatan Abad Ini yang pernah diumumkan Presiden Donald Trump –sebagai sekutu Israel- pada 28 Januari 2020?***
*Penulis merupakan Ketua Biro Diplomasi & Kerjasama Luar Negeri, BDPLN DPP PKS