Setahun Pemerintahan Prabowo dan Gibran, ke Mana Wahyu Makutharama?

Wahyu Makutharama

MAGELANG, borneoreview.co – Masih terpampang lukisan besar tentang lakon wayang “Wahyu Makutharama” di tembok ruang tamu rumah dalang Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo, di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sejumlah kenalannya yang pelukis dan pecinta wayang membuat lukisan itu, menjelang dusun setempat menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XXII pada 2023.

Festival setahun sebelum Pemilu 2024 itu adalah agenda rutin dan mandiri diselenggarakan para seniman petani komunitas berbasis dusun-dusun kawasan lima gunung di kabupaten tersebut.

Hingga saat ini sang dalang tidak pernah gamblang menceritakan pesan hendak disiarkan atas lukisan “Wahyu Makutharama”, baik benang merah dengan Festival Lima Gunung 2023 bertema “Kalis ing Kahanan” maupun Pemilu 2024.

Suasana nasional ketika festival tahun tersebut telah masuk atmosfer persiapan pesta demokrasi.

Pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung 14 Februari 2024, sedangkan pemilihan kepala daerah secara serentak, 24 November 2024.

Ia sebatas bercerita tentang lakon itu, sebagaimana umumnya dikenal, terutama dalam masyarakat berkultur Jawa.

Kisahnya, tentang Arjuna atas perintah gurunya, Begawan Kesawasidi (penjelmaan Begawan Abiyasa), mencari “Wahyu Makutharama” sebagai kekuatan spiritual pemimpin bijaksana.

“Wahyu Makutharama” hanya turun kepada figur layak dan pantas memiliki legitimasi sebagai pemimpin. Boleh jadi ada pemimpin absah secara formal, akan tetapi tidak berhasil mendapatkan legitimasi, sebagaimana terlihat dalam kepemimpinan otoriter.

Imbas pemimpin tanpa legitimasi itu, mungkin saja yang oleh zaman kekinian sering disebut “insecure”, merasa tak aman.

Ada juga sosok pemimpin dengan wahyu tersebut, namun tak menggenggam keabsahan secara formal. Pada umumnya berwujud kharisma pemimpin informal, pemuka, sesepuh, sosok senior, atau tokoh.

Perbedaan kehadiran para figur konvensional itu, mungkin juga bisa dirasakan dengan kehadiran para sosok di dunia digital, sebagai pemengaruh dan pendengung, dalam tulisan, narasi, animasi, video, audio, atau emotikon.

Alangkah komplet, kiranya pemimpin legal-formal juga lengkap dengan perangkat jiwa legitimasi.

Ia berada, tidak hanya karena formal dilantik atau disumpah melalui suatu seremoni kenegaraan, namun juga memiliki rekam jejak, karena mereka menempuh perjalanan batin personal yang meneguhkan dan menangguhkan.

Sebelum “Wahyu Makutharama” melegitimasi Arjuna, dikisahkan bahwa sang begawan menaburkan wejangan tentang Astabrata (delapan nasihat).

Yang bersumber benda-benda penting jagat raya dengan ciri-ciri wadak masing-masing, yang ditarik menjadi perlambangan spiritual batin kepemimpinan manusia.

Wejangan Astabrata menyangkut Matahari menyifatkan pemimpin sebagai energi kehidupan, Bulan memberikan terang, bintang petunjuk arah atau keteladanan, mendung sebagai kharisma, Bumi mengenai keteguhan berpendirian.

Samudera menyangkut sifat keterbukaan, api lambang keberanian menegakkan kebenaran, dan angin sebagai kemampuan menjangkau semua kalangan atau segala ihwal.

Dengan turun “Wahyu Makutharama” atas Arjuna, kiranya boleh dikatakan kesatria utama, ahli menggunakan senjata, serta mahir berperang itu, menjadi sosok pemimpin komplet karena juga bersenjatakan jiwa kepemimpinan mumpuni, berupa Astabrata.

Meskipun tak ada cerita keterhubungan pesan lukisan “Wahyu Makutharama” dengan pesta demokrasi.

Barangkali secara seketika bisa dimengerti bahwa memilih pemimpin bukan sekadar iuran suara untuk kemenangan sang jago.

Namun, pemilu sekaligus kerja batin untuk pembebasan dari “insecure” terhadap figur pemimpin. Ia menang legal dan sekaligus beroleh wahyu legitimasi.

Legalitas dan legitimasi yang saling menguatkan membuat pemimpin afdal. Pengaruh kepemimpinan formal, bermartabat, bijaksana, dan berwibawa.

Sehingga merembet terhadap stabilitas roda pemerintahan, dan perjalanan sukses dinamika pembangunan yang dilihat dan dirasakan, menjadi milik publik karena kepentingan umum terlayani dengan baik.

Tak Cukup

Sukses pemerintahan memang tak cukup diukur dalam kinerja setahun. Apalagi periode formal pemimpin pemerintahan Indonesia selama lima tahunan.

Bahkan, sukses hasil kinerja pemerintahan bisa saja baru dirasakan setelah melewati periode tersebut.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Pesiden dan Wakil Presiden periode 2025-2029 pada 20 Oktober 2024.

Pasangan itu menang pemilu dengan sorotan karena berbagai kontroversial, antara lain terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi, keberpihakan presiden, penyalahgunaan bantuan sosial, netralitas aparat, dan penanganan pasca-pemungutan suara.

Setidaknya, film dokumenter “Dirty Vote” (pertama) dengan jutaan penonton dalam waktu relatif singkat ketika itu, menghadirkan dugaan persoalan kecurangan pemilu tersebut.

Namun demikian, secara legal pada akhirnya pasangan itu sah menjadi RI-1 dan RI-2, dengan program strategisnya: Asta Cita.

Prabowo-Gibran melakukan awal tugas-tugas pemerintahan, antara lain proses transisi pemerintahan, konsolidasi kekuatan politik, memilih para pembantu menjadi Kabinet Merah Putih, sinkronisasi program dan alokasi anggaran, serta usaha memenuhi janji kampanye.

Pemerintah tentu saja berkepentingan menarasikan tujuan pembangunan dan pentingnya peran untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat, serta nama besar bangsa dan negara.

Selama setahun terakhir, pemerintah juga tak kalah pelik merespons berbagai dinamika persoalan dan tantangan terkini kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.

Serta, membangun keterlibatan di ranah global, terutama demi kepentingan nama bangsa dan negara.

Selain memulai pelaksanaan program unggul dan populis, seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, dan Tiga Juta Rumah dengan masing-masing kerumitan masalah.

Pemerintah juga mengatasi persoalan, seperti sektor pajak dan anggaran negara, penambangan merusak lingkungan, merespons pagar laut, menangani bencana alam, ketenagakerjaan, unjuk rasa, perilaku pejabat, dan beberapa kali perombakan kabinet.

Begitu persoalan dinamika global dan era digital, juga dihadapi.

Kritik, pujian, dan harapan seakan menjadi vitamin sehari-hari jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran.

Media massa, baik arus utama maupun media sosial, salah satu entitas yang menghadirkan secara kritis informasi dan keriuhan pandangan tentang keadaan pemerintahan, pelaksanaan program, dan kebijakan merespons persoalan.

Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara Jakarta, bertepatan setahun pemerintahannya, mendaku keberhasilan pemerintahan karena kerja kolaboratif para menteri yang berasal dari berbagai latar belakang.

Amplifikasi klaim keberhasilan itu, juga menjadi unjuk catatan kinerja sukses antar-kementerian dan lembaga, termasuk jajaran pemerintah daerah menjelang akhir tahun ini.

Pemerintahan level tinggi menyematkan anugerah kinerja kepada pemerintahan tingkat bawah.

Tanda kehormatan atau penghargaan kenegaraan juga disematkan kepada sosok-sosok di lingkarannya.

Keberhasilan kinerja pemerintahan terkesan mereka nilai, klaim, dan puji sendiri.

Namun, bisa juga dianggap sebagai laporan publik mengenai progres kinerja.

Tentu saja, pemerintah mesti menjelaskan pula landasan berbagai peraturan perundang-undangan untuk keabsahan berbagai kinerja dan kebijakan.

Bahkan, persoalan pelaksanaan MBG yang landasan ketentuan ternyata disoroti belum komplet, mesti segera dituntaskan.

Secara legalitas, Prabowo-Gibran diakui siapa saja warga dan elemen bangsa, bahkan masyarakat dunia, sebagai presiden dan wapres yang sah, buah pemilihan.

Prabowo-Gibran mau tidak mau absah memimpin pemerintahan periode ini.

Akan tetapi, model kepemimpinan, gestur merespons realitas dan persoalan, serta catatan jejak mereka, boleh jadi membuat “Wahyu Makutharama” dianggap sebagian kalangan belum turun sepenuhnya atas mereka.

Apalagi, realitas perjalanan negara dan bangsa bukan lakon jagat pewayangan.

Pemaknaan secara titis atas “Wahyu Makutharama” barangkali mengisi ruang dialog batin untuk penguatan legitimasi terhadap kepemimpinan mereka.

Tentu saja, mereka harus tetap bekerja memimpin jalannya pemerintahan dan program-program pembangunan.

Legitimasi mereka mungkin bakal terus diuji waktu dan diperkuat dengan perdebatan tentang penguatan bernegara dan berbangsa, yang semoga secara sehat!(Ant)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *