Site icon Borneo Review

Sotong Pangkong: Makanan Khas Pontianak Saat Bulan Ramadhan

Sotong Pangkong

Sotong pangkong merupakan makanan khas di Pontianak yang ada setiap bulan puasa atau ramadham (Ist)

PONTIANAK, borneoreview.co – Saat ini di kampong halamanku, Pontianak, sudah terdapat beberapa gerai yang menjual sotong pangkong yang tidak hanya buka di bulan puasa.

Dahulu, sotong pangkong, makanan khas ini hanya ada pada malam-malam di bulan Ramadhan.

Para penjualannya, yang umumnya anak-anak sebayaku, biasanya bertebaran di pingir-pingir jalan di perkampungan atau di sekitar halaman mesjid.

Mereka hanya bermodalkan satu buah meja kecil untuk menempatkan mangkok kecil sebagai wadah makan dan panci berisikan sambal cair, tungku pemanggang, dan satu landasan tempat me-mangkong (memukul) berikut palunya.

Sederhana pembuatannya. Bahan yang dibutuhkan hanyalah sotong atau cumi yang sudah dikeringkan dan banyak diperjualbelikan.

Moluska laut yang masuk ke ordo Sepiida ini dipotong-potong sebelum dipanggang di atas api kurang lebih 5 menit sampai matang.

Sebelum disajikan bersama sambal cair, sotong tersebut dipukul-pukul di atas landasan sampai menjadi empuk.Kalau saat banyak pembeli, tak jarang para pembeli pun tak sungkan untuk ikut berpartisipasi me-mangkong sotong yang akan dikonsumsinya.

Sementara untuk membuat sambal cair hanya membutuhkan cabai merah, bawang merah dan bawang secukupnya.

Ketiga bahan utama ini digerus/ ulek hingga halus. Hasil gerusan ini kemudian dimasukkan ke air matang dan dicampurkan sedikit cuka untuk menambah rasa.

Cara mengkonsumsi makanan ini juga cukup unik. Biasanya sotong yang telah direndam di dalam sambal cair akan diisap-isap sampai hilang rasa sambal cairnya.

Kemudian, sotong tersebut direndam kembali ke dalam sambal cair untuk selanjutnya diisap-isap kembali. Begitu seterusnya.

Jika sudah tak lagi berasa rasa sotongnya, barulah potongan sotong yang tersisa ditelan.

Tak heran, jika untuk mengkonsumsi sepotong sotong pangkong, kami kerap menghabiskannya hingga setengah jam-an.

Kami juga sambil bercakap-cakap dengan teman ataupun penjualnya.

Akibatnya, shalat Isya berjamaah di mesjid pun lewat. Apalagi kalau pas ada yang menarik dipandang sedang beli di tempat yang sama.

Riwayat terawehnya pun bakal ditunaikan sendirian di rumah.***

Penulis: Dr Pahrian Siregar

Exit mobile version