Site icon Borneo Review

Sungai Bangkong: Tangsi Militer, Pensiunan Tentara KNIL dan Rumah Sakit Jiwa

Kodok Bangkong (Bufo asper)

Kodok Bangkong (Bufo asper) menjadi nama salah satu wilayah di Kota Pontianak. (Ist)

PONTIANAK, borneoreview.co – Tangsi militer tempatku menghabiskan masa kecil, dan rumah orangtuaku tempat menghabiskan masa remaja, berada di Kelurahan Sungai Bangkong.

Pada 2002, Kelurahan Sungai Bangkong menjadi bagian dari kecamatan Pontianak Kota. Dahulu, nama Sungai Bangkong identik dengan rumah sakit jiwa yang ada di kampung halamanku.

Bangunan Rumah Sakit Jiwa terbuat dari kayu dengan kolong tinggi dan jendela-jendela besar, serta sesekali terdengar suara riuh rendah di dalamnya, plus pohon beringin raksasa di dekatnya.

Bagiku, rumah sakit jiwa membuatku menyeramkan di masa kecil. Saat ini, rumah sakit tersebut, juga berfungsi sebagai rumah sakit rehabilitasi ketergantungan obat.

Rumah Sakit Sungai Bangkong juga menjadi tempat tes kejiwaan bagi para calon wakil rakyat. Yang hendak maju dalam pemilihan legislatif atau calon-calon komisioner komisi-komisi pendukung pemerintahan.

Taman makam pahlawan dahulu pun terletak di kelurahan ini, sebelum dipindahkan ke Desa Arang Limbung di Sei Raya, Kubu Raya.

Letaknya berdampingan dengan makam wakaf yang masih ada dan pas di depan tangsi militer tempatku bermukim.

Banyak cerita-cerita aneh, saat pemindahan dilakukan di akhir 1970-an. Kini, lahan bekas taman makam pahlawan ini telah berubah fungsi menjadi klinik kesehatan tentara.

Aku masih ingat, saat belajar bersama beberapa teman sekolah dasar di rumah seorang teman. Ayah temanku sang empunya rumah menanyakan pada kami darimana asal nama Sungai Bangkok.

Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya. Dengan sabar beliau menjelaskan, bahwa kata itu berasal dari banyaknya bangkong atau kodok, yang dijumpai di wilayah itu dahulu saat dibuka oleh pendatang Bugis.

Kodok bangkong dimasukkan ke dalam suku Bufonidae dan dikenal secara ilmiah sebagai Bufo asper.

Ada beberapa nama lokal lainnya dari kodok, seperti: kodok buduk sungai, kodok puru besar, atau kodok batu.

Hewan amfibi ini dapat dijumpai cukup luas, mulai dari Indochina di utara hingga ke Sumatera, Kalimantan dan Jawa.

Di masa kecilku, ada saran untuk menghindari hewan ini, karena dipercaya jika terkena kencingnya dapat mengakibatkan kutil.

Beberapa bagian kawasan ini, sempat menjadi perkebunan karet di jaman Belanda. Selain kelompok pemukim Bugis yang membuka kawasan Sungai Bangkong.

Beberapa pemukim awalnya juga pensiunan KNIL dari Jawa. Mereka diberikan tanah garapan paska pensiun dari tugasnya.

Biasanya, rumah-rumah pemukim Jawa dan turunannya ini paling mudah diidentifikasi, karena halaman rumahnya kerap terdapat tanaman melinjo (Gnetum gnemon).

Pemukim dari Pulau Madura, kemudian mulai masuk ke kawasan ini di akhir 1960-an, yang awalnya bermukim menjaga kebun-kebun rambutan yang banyak diusahakan.

Sebagian besar mereka kemudian bekerja di sektor informal. Juga memelihara sapi. Di era 1980 hingga 1990an, amat mudah melihat sekumpulan orang yang mencari rumput.

Mereka menggunakan sepeda ontel di sore dan pagi hari. Banyak yang menyebut mereka sebagai Bongar atau Bocah Ngarit.

Kini, seiring kondisinya yang sudah menjadi kota dan bertumbuhnya komplek-komplek perumahan di sana.

Kuamati baik bangkong, pemeliharaan sapi, pohon-pohon melinjo dan aktivitas para bongar pun semakin jarang terlihat.***

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Exit mobile version