BANJARMASIN, borneoreview.co – Sungai Jingah merupakan kawasan di Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin Utara, Kalimantan Selatan. Sedari dulu dipenuhi rumah kayu khas Banjar.
Kala itu, berderet sejumlah rumah kayu Banjar yang megah yang dihuni warga kaya, sehingga menjadikan kawasan itu dikenal sebagai kompleksnya para saudagar di Banjarmasin.
Kawasan rumah kayu tersebut memang dihuni para saudagar Banjar, pada pertengahan abad ke-19 itu.
Mereka yang tinggal di sana adalah pengusaha tembakau, bawang, tikar purun hingga tempat pembuatan kapal.
Beberapa jenis rumah Banjar yang umum ditemui antara lain: Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Palimbangan, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Tadah Alas, Rumah Balai Laki, Rumah Balai Bini, Rumah Cacak Burung (Anjung Surung), Rumah Lanting, Rumah Joglo Gudang dan Rumah Bangun Gudang.
Satu contoh rumah Banjar kuno yang masih lestari di Sungai Jingah ialah Rumah Bangun Gudang yang didirikan pada 1925 milik saudagar bernama H A Gani Kamar.
Bangunan itu berbentuk empat persegi panjang dengan atap berbentuk limas. Selain sebagai tempat tinggal, rumah itu dulu juga digunakan untuk menyimpan barang dagangan.
Bangunan itu dipengaruhi arsitektur Arab dilengkapi ornamen dan ukiran kaligrafi, serta daun pintu dan jendela berlapis dua yang terlihat unik.
Rumah kayu yang juga masih lestari adalah Rumah Balai Laki yang dibangun saudagar H Saad pada 1928.
Rumah persegi empat panjang tersebut bagian bubungan atap depannya menyerupai pelana kuda dan dilengkapi pelataran lebar di bagian depan rumah.
Rumah itu berpagar kayu yang dibentuk dengan ukiran dan ornamen yang khas, dilengkapi dua daun pintu tinggi.
Pada kiri kanan rumah ada dua daun jendela berlapis. Aura masa lalu masih kuat memancar dari bangunan itu.
Menurut seorang tokoh Sungai Jingah, Zaini (70), ada sekitar 22 rumah Banjar, dengan beragam jenis masih berdiri hingga kini. Meskipun, sebagian sudah ada yang rusak karena tidak dihuni.
Kebanyakan rumah Banjar kuno di wilayah tersebut berjenis rumah bubungan tinggi, dengan khas atap yang menjulang dan melengkung, serta bangunan yang memanjang ke depan dan menghadap sungai.
Hampir semua rumah Banjar kuno yang bertahan di wilayah Sungai Jingah masih memperlihatkan keaslian, sisa kemewahan.
Meskipun sudah mulai memudar, dengan banyaknya rumah beton dengan berbagai corak dan desain moderen di sekitarnya.
Kokoh dan Kuat
Satu rumah Banjar kuno yang dihuni Fathurrahman (73), terlihat masih kokoh pada era moderen ini.
“Saya lahir di rumah ini. Saya anak terakhir dari sembilan saudara. Semuanya lahir di rumah ini,” kata Fathurrahman.
Pemilik rumah tersebut adalah ayah dari Fathurahman. Dia dulu sebagai seorang kadi atau penghulu serta pemuka agama sebelum masa kemerdekaan RI.
Namun, jauh sebelumnya, rumah tersebut dibangun dan dimiliki saudagar permata yang berbisnis hingga ke luar negeri.
Rumah tersebut dilengkapi dua daun pintu yang tingginya sekitar dua setengah meter dengan lebar sekitar dua meter, ada ukiran halus menghiasinya.
Jendela rumah itu juga masih asli dengan empat daun pintu yang terbagi dua di atas dan dua bawah.
Atau, bisa dibuka separuh atas dan tertutup bagian bawahnya, terbuat dari bahan kayu keras, hingga terlihat masih kokoh sampai saat ini.
Rumah itu juga masih berpagar di pelatarannya dengan tinggi sekitar satu meter berbahan balok kayu ulin. Lantai rumahnya juga dari papan kayu ulin yang tebal dan lebar.
Ada tangga untuk naik ke pelataran rumah tersebut, juga berbahan kayu ulin.
Tapi, dapur rumah kuno itu sudah rusak, tinggal tersisa kerangka dari balok kayu ulin yang masih berdiri kokoh.
Tinggi pondasi atau penopang lantai rumah itu lebih dari dua meter.
Artinya, rumah itu cukup tinggi dari tanah, hingga keberadaannya aman di wilayah yang sering tergenang air karena berdekatan dengan sungai dan tanah rawa.
Itu juga sisa-sisa kekhasan rumah zaman dulu yang beradaptasi dengan keadaan alam Banjarmasin yang terkenal juga dengan Kota Seribu Sungai.
Cagar Budaya
Sebuah bangunan rumah Banjar di Sungai Jingah yang bernilai tinggi, ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Selain karena strukturnya yang khas, juga karena ada makam tokoh ulama di dalamnya. Yaitu, makam Surgi Mufti.
Surgi Mufti adalah nama dari Syekh Jamaluddin yang dulunya mufti kerajaan Banjar pada masa penjajahan Belanda.
Ulama yang lebih dikenal Datu Surgi Mufti tersebut wafat pada 6 Juni 1929. Dia merupakan cicit dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama paling terkemuka di tanah Banjar.
Rumah itu menjadi pusat wisata religi. Itu sebabnya Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII Provinsi Kalimantan Tengah dan Selatan menetapkannya sebagai cagar budaya pada 2011.
Pemkot Banjarmasin pun menetapkan kawasan Sungai Jingah sebagai kawasan berbasis Kekayaan Intelektual (KI) dan berpotensi menjadi kota tua, kampung bahari, kota pusaka atau desa wisata.
Pemkot Banjarmasin juga menetapkan Sungai Jingah merupakan satu dari 36 destinasi wisata yang ada di kota dengan luas sekitar 98 kilometer persegi itu.
Keistimewaan yang dimiliki kawasan Sungai Jingah itu, jika dikelola dengan baik dan profesional, bisa memberikan peningkatan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.
Bisa saja memfungsikan beberapa rumah menjadi rumah makan khas Banjar, misalnya.
Atau, menjadikan salah satu rumah sebagai tempat penjualan suvenir khas Banjar, studi foto pakaian adat, atau museum budaya Banjar.
Penginapan dengan suasana tempo dulu di kawasan itu, boleh jadi, bakal menjadi daya tarik kuat bagi wisatawan.***