Site icon Borneo Review

Sungai Sambas Menangis: Emas Ilegal, Air Keruh, dan Luka Warga Sejangkung

Pencemaran Sungai Sambas

Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang. Lumpur dan limbah tambang, bercampur bahan kimia berbahaya, diduga meracuni tubuh air Sungai Sambas. (borneoreview/istimewa)

PONTIANAK, borneoreview.co – Sedari lama, Sungai Sambas menjadi denyut kehidupan bagi warga Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Provinsi Kaimantan Barat.

Airnya mengalir tenang, memeluk 12 desa yang bertebaran di kanan dan kiri bantaran. Di sinilah orang-orang menaruh harapan dan mimpi. Airnya bukan sekadar untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menghidupi kebun, ladang, dan meja makan warga.

Namun sejak awal Juni 2025, wajah sungai itu berubah. Airnya yang dulu jernih bak kaca, kini keruh berwarna kuning pekat. Warga menatapnya dengan cemas. Seolah sebuah rahasia kelam dibisikkan arusnya: ada sesuatu yang merusak dari hulu, dan kehidupan di hilir sedang diuji.

Kecurigaan pun mengerucut, semua tanda mengarah pada aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang. Lumpur dan limbah tambang, bercampur bahan kimia berbahaya, diduga meracuni tubuh air Sungai Sambas yang selama ini menjadi nadi masyarakat.

Dari Hulu ke Hilir

Bagi masyarakat Sejangkung, sungai bukan hanya air yang mengalir. Sungai adalah dapur, sumur, dan kehidupan. Namun perubahan warna air mulai terasa ganjil sejak awal Juni. Tak ada badai, tak ada hujan besar, tetapi air mendadak kecokelatan, lalu menguning.

Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang. Lumpur dan limbah tambang, bercampur bahan kimia berbahaya, diduga meracuni tubuh air Sungai Sambas. (borneoreview/istimewa)

Medio Juni 2025, kabar buruk kian menyebar. Air sungai tidak lagi layak diminum, memasak pun tak aman. Bau logam samar tercium setiap kali ember dicelupkan. Warga gelisah, tetapi masih ada yang nekat mandi dan mencuci. Sampai akhirnya, akhir Juni 2025, gejala gatal dan iritasi kulit mulai mewabah.

Di media sosial, foto-foto air sungai yang keruh viral. Warga beramai-ramai bersuara, mengadukan keresahan mereka kepada Pemerintah Daerah Sambas. Sebagian mengirim surat, sebagian mendatangi kantor DPRD. Laporan demi laporan pun menumpuk, membentuk satu cerita yang sama Sungai Sambas sedang sekarat.

Warga Bergerak, Pemerintah Meraba

Suara keresahan warga akhirnya menggema di ruang-ruang birokrasi. Pada 15 Juli 2025, Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas resmi melayangkan surat kepada Gubernur Kalimantan Barat untuk menindaklanjuti dugaan pencemaran air.

18 Juli 2025, Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Kecamatan Sejangkung bersama para kepala desa melakukan hearing dengan DPRD Sambas. Ada tiga keputusan penting:

1. Pemerintah Kabupaten Sambas menyiapkan layanan kesehatan di Puskesmas Sejangkung dan Puskesmas Sajad.

2. DPRD Sambas berkomitmen mengawal laporan warga ke tingkat provinsi.

3. Rencana audiensi lintas daerah dan lintas instansi dengan Polda Kalbar dan Dinas LHK Provinsi.

Namun, langkah ini tidak mulus. 20 Juli 2025, pemerintah mengambil sampel air dari tiga titik dan mengirimkannya ke laboratorium PT Mutuagung Lestari Pontianak. Hasil uji laboratorium masih menunggu, sementara warga sudah lama kehilangan air bersih.

Pertemuan berikutnya pada 23 Juli 2025 dengan Dinas LHK Provinsi Kalbar justru buntu. Alasan yang diberikan penertiban PETI bukan wewenang mereka.

Puncaknya, 31 Juli 2025, pertemuan di Kantor Bupati Bengkayang bersama Wakil Bupati pun tak menghasilkan solusi konkret. Semua pihak mengakui masalahnya besar, tetapi keberanian menindak para pelaku PETI seolah masih tersangkut di jaring kepentingan.

Pencemaran Sungai Sambas tidak sekadar membuat air keruh. Luka yang ditinggalkan jauh lebih dalam.

Dampak Kesehatan

Kasus penyakit kulit meningkat drastis akibat mandi dan mencuci dengan air tercemar. Gangguan pencernaan dan diare merebak di beberapa desa.

Kekhawatiran terbesar kandungan merkuri dan bahan kimia berbahaya yang diduga dibuang langsung ke aliran sungai.

– Dampak Lingkungan

Air sungai berubah warna menjadi kuning kecokelatan, tak lagi layak konsumsi. Populasi ikan menyusut, biota sungai mati, dan ekosistem runtuh.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Warga dipaksa membeli air bersih dengan harga mahal. Biaya hidup melonjak, terutama bagi petani dan nelayan.

Tradisi mandi, mencuci, dan memasak di sungai yang diwariskan turun-temurun kini hilang.

Emas Hilir Derita

Dari penelusuran warga dan pemerintah daerah, dugaan kuat mengarah pada PETI di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang. Aktivitas penambangan emas tanpa izin di sepanjang hulu sungai memicu aliran limbah langsung masuk ke badan air.

Bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida yang digunakan untuk memisahkan emas, dibuang tanpa proses pengolahan limbah. Semua larut, hanyut ke Sungai Sambas, dan sampai ke hilir. Sepuluh desa di Sejangkung pun menjadi korban paling terdampak.

Siapa Menjaga Sungai?

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2025 menegaskan pentingnya penegakan hukum terhadap penambangan ilegal. Instruksi jelas diberikan kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku, cukong, dan pelindung aktivitas (Penambangan Emas Tanpa Izin) PETI.

Namun, warga Sejangkung masih menunggu bukti nyata. Harapan mereka sederhana:

– Tindakan tegas menghentikan aktivitas PETI.

– Investigasi lingkungan menyeluruh untuk mengukur kandungan berbahaya di air.

– Pemulihan ekosistem dan penyediaan air bersih.

– Jaminan kesehatan bagi warga terdampak.

Ketua BKAD Kecamatan Sejangkung, Roi’e Ali, menutup laporannya dengan kalimat penuh harap.

“Pencemaran Sungai Sambas bukan hanya soal keruhnya air, tapi tentang keruhnya masa depan. Jika sungai mati, maka matilah kami sebagai penjaga bantaran ini,” ucap Roi’e Ali mengingatkan.***

Exit mobile version