JAKARTA, borneoreview.co – Taat pajak, ibarat bertemu kekasih yang lama tak bersua atau ketemu.
Bila cinta berarti memberi, maka membayar pajak adalah salah satu manivestasi cinta pada negeri.
Pajak yang dipungut dengan adil dan dikelola secara amanah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, tentu bakal menciptakan kepatuhan pajak yang tinggi bahkan (bisa jadi) membayarnya dengan senang hati.
Tak perlu diancam dengan denda atau diiming-imingi dengan pemutihan, pajak yang dipungut, dikelola, dan “dikembalikan” dengan benar, akan menimbulkan kerelaan warga untuk membayarnya.
Jawa Barat terkini mungkin bisa menjadi contoh. Memang, pada awalnya dirangsang dengan program pemutihan berupa penghapusan tunggakan dan denda.
Namun, dengan pembuktian kerja nyata yang berarti pajak rakyat dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan publik, itu menjadi kampanye efektif dalam mengundang masyarakat menjadi patuh pajak.
Tidak perlu iklan di berbagai media dan medium berbiaya besar, cukup dengan memastikan bahwa iuran (pajak) yang dipungut dari rakyat digunakan sebagaimana mestinya.
Di beberapa kesempatan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Demul) menyampaikan pernyataan bahwa dana hasil pungutan pajak harus dialokasikan sesuai peruntukannya.
Seperti pajak kendaraan bermotor (PKB) yang harus dikembalikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur jalan berikut fasilitas dan pemeliharaannya.
Dengan hitungan yang cermat juga transparan, dilanjutkan perencanaan yang matang, akan digunakan untuk apa saja dana perolehan pajak, hal itu dapat makin menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah.
Semisal perencanaan Gubernur Demul atas pendapatan PKB awal tahun ini sebesar Rp8 triliun, yang diperoleh dari pajak kendaraan sejumlah Rp5 triliun dan Rp3 triliun dari balik nama kendaraan.
Dari dana sebesar itu apa yang hendak dia kerjakan? Menurut hitungannya, kebutuhan infrastruktur jalan dapat diselesaikan hanya dengan Rp4 triliun.
Sisanya, Pemprov Jabar akan membangun flyover, underpass, hingga pengembangan transportasi massal seperti LRT (Light Rail Transit) dan BRT (Bus Rapid Transit), juga menggarap jalan tol tanpa bantuan investor swasta.
Ketika rakyat membayar pajak kendaraan, mereka berhak menikmati jalan yang baik.
Demul akan memastikan hal itu dengan secara konsisten mengalokasikan seluruh pendapatan pajak kendaraan untuk infrastruktur jalan.
Bahkan, dalam satu tahun saja, ia yakin mampu menyelesaikan seluruh perbaikan jalan provinsi.
Jika kepastian dan transparansi penggunaan dana pajak diterapkan sebaik itu dari pemerintah pusat hingga ke bawah, maka warga akan dengan suka rela menunaikan kewajibannya membayar pajak.
Sulitnya pencapaian target pajak oleh pemerintah karena keengganan para wajib pajak memenuhi kewajibannya, bisa jadi hanya perkara rasa percaya atau tidak dipercaya.
Percaya bahwa potensi penyelewengan dana pajak cukup besar. Tidak percaya bahwa uang pajak akan “kembali” pada masyarakat dalam bentuk perbaikan pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur.
Sehingga betapa penting membuat masyarakat “percaya”. Kata sederhana namun untuk memperolehnya harus dilakukan dengan perjuangan sungguh-sungguh memberantas korupsi dan penyimpangan dalam pengelolaan uang pajak.
Agar slogan Dirjen Pajak “Pajak Kita, Untuk Kita” benar adanya, bukan dianggap cakap angin belaka.
Sesuai Asas
Pajak, memang merupakan iuran wajib bagi warga kepada negara yang dapat dipaksakan oleh peraturan perundangan. Namun begitu segala yang bersifat terpaksa tentu tidak menyenangkan.
Meski sifatnya wajib, bila lembaga perpajakan sudi berinovasi dalam hal pendekatan dan teknis pemungutannya kepada masyarakat, maka membayar pajak dengan kesadaran pasti akan lebih indah kedengarannya.
Bagaimana agar pemungutan pajak tampak menyenangkan dan menggiurkan layaknya iklan investasi yang menjanjikan? Bila kondisinya sesuai beberapa asas pemungutan pajak seperti berikut:
– Kemudahan. Layanan pembayaran pajak haruslah makin dipermudah, jika perlu petugas yang menjemput bola atau mendekatkan tempat pelayanan kepada masyarakat semisal menggunakan mobil pajak untuk layanan keliling.
Sementara di kantor pajak ciptakan layanan sehangat mungkin, dengan petugas yang ramah dan melayani, sigap juga cekatan sehingga tidak menimbulkan antrean panjang yang membuat para pembayar pajak terpaksa buang-buang waktu yang tak perlu.
Warga masyarakat telah rela membayar pajak secara rutin itu adalah hal bagus yang patut diapresiasi, maka jangan juga direpotkan dengan harus melapor SPT meski hanya setahun sekali.
Bukankah setiap wajib pajak melakukan pembayaran pajak telah otomatis tercatat secara digital, mengapa masih harus melapor?
Semestinya ada inovasi administrasi yang bisa meniadakan kewajiban melapor.
Karena agak tak masuk akal ketika warga sudah berkorban membayar pajak masih pula direpotkan dengan kewajiban melapor. Sampai ada seloroh: “Kita yang bayar, kita juga yang repot melapor”.
– Beralasan. Penentuan obyek pajak haruslah tepat dan beralasan terhadap apa saja yang sepantasnya dikenakan pajak pun terkait besaran pungutannya, tidak terkesan mengada-ada dengan (seolah-olah) apapun dipajaki demi mengoleksi pundi-pundi pendapatan kas negara.
Misalnya pajak penghasilan dan pajak untuk barang-barang mewah, adalah contoh jenis obyek yang memang pantas dipajaki.
Hal ini sesuai dengan asas ekonomi dalam pemungutan pajak sebagaimana teori yang dikemukakan Adolf Wagner (Mantan Menteri Dalam Negeri Bavaria).
– Kemanfaatan. Bagaikan menanam investasi, pajak yang jelas dan terasa manfaatnya bagi masyarakat, tentunya akan mengundang antusiasme warga untuk menunaikannya.
Pelayanan birokrasi yang mudah dan murah, fasilitas umum yang bagus, jalanan mulus adalah beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa pajak yang telah dibayarkan masyarakat digunakan dengan baik.
Ahli ekonomi W.J. Langen dalam teori lima asas pemungutan pajak, salah satunya menyebut asas manfaat di mana pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
– Keteladanan. Di luar teori namun penting adalah keteladanan para pejabat dan aparat pajak.
Setidaknya beri teladan dengan tidak menunggak pajak, tidak hidup bermewah-mewah dan sering jalan-jalan ke luar negeri untuk menghindari timbulnya syak wasangka publik bahwa setoran pajak mereka telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Mereka akan malas membayar PKB (misalnya) bila merasakan jalanan banyak yang rusak sementara para pejabat pajak banyak yang plesiran.
Jangan sampai mereka menyimpulkan bahwa pendapatan PKB tidak digunakan untuk memperbaiki jalan melainkan untuk jalan-jalan.
– Amanah. Transparansi dan akuntabilitas menjadi hal penting dalam membangun kepercayaan warga negara supaya mereka rela menyetorkan sebagian hartanya untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Reputasi baik pengelola pajak sangat menentukan tingkat kepatuhan pajak masyarakat.
Bila setidaknya kelima hal itu terpenuhi, bukan perkara sulit untuk menaikkan kepatuhan pajak dan mencapai target pendapatan negara dari sektor pajak.
Jangan lupa bahwa bangsa kita terkenal sebagai yang paling dermawan di dunia berdasarkan laporan World Giving Index yang dirilis oleh Charities Aid Foundation, dan predikat itu telah kita peroleh tujuh tahun berturut-turut hingga 2024.
Dalam penelitian untuk penentuan peringkat kedermawanan itu terungkap masyarakat Indonesia bahkan rela memberi bantuan kepada orang asing yang belum dikenalnya.
Logikanya, bila “memberi” kepada orang asing saja masyarakat kita rela melakukannya, apalagi memberi kontribusi pada negaranya demi kebaikan bersama, dalam bentuk pajak.
Bisa jadi suatu hari nanti membayar pajak menjadi kegemaran baru warga Indonesia. Agar angan-angan ini tak terkesan bualan.
Lembaga pemungut dan pengelola pajak bisa membuktikannya dengan mengambil tantangan dalam berbenah memperbaiki reputasi diri dan institusi demi merebut kepercayaan publik.(Ant)