Takok dan Tebiat: Ungkapan Kekesalan terhadap Karakter dan Prilaku Seseorang

Diampuni

PONTIANAK, borneoreview.co – Pada masa kecil di kampong halaman, Pontianak, kelakuan dan kenakalan diriku dan teman sebaya, selalu diamati oleh orang tua, keluarga, tetangga dan lingkungan sekitarnya.

Saat dirasakan sudah melampaui batas atau membahayakan, tak sungkan mereka untuk menyampaikan kepeduliannya secara langsung.

Ada yang caranya lembut, namun tak jarang yang melakukannya secara keras, baik hanya sekedar berkata-kata atau berteriak, ada juga yang bertindak hingga mengejar kami.

Meskipun kerap diomelin, diteriaki, dikejar-kejar atau dilarang. Namanya juga anak-anak, beberapa aktivitas dan kenakalan sering kami lakukan berulang kali.

Bahkan, terkadang ada yang kami lakukan sekedar memancing omelan atau kemarahan, tanpa bersunguh-sungguh melakukannya.

Jaman itu, rasanya hidup tak berwarna, jika tak ada keributan yang berlangsung.

Bagi yang melakukannya mungkin dianggap sebagai kegembiraan. Tapi korbannya akan merasakan sebal dan terganggu.

Kelakukan yang menganggu dan menyebalkan ini, sering dinyatakan sebagai “tebiat” oleh yang terganggu.

Tak jarang kita akan bendengar omelan, “Jangan nak betebiat,” yang maknanya kira-kira jangan dilakukan lagi, sebuah kelakukan yang menganggu dan menyebalkan itu.

Nah, jika sudah berkali-kali diingatkan, namun sang pelaku tak jua berubah atau berhenti melakukan kelakuan tersebut.

Maka, status tebiat itu akan berubah menjadi “takok”.

“Dah takok dah, mane nak mengubahnya,” kira-kira begitu ungkapan kekesalan atas kelakukan seseorang yang tak kunjung berubah.

Takok sendiri arti harifah sebenarnya adalah cekungan di sebuah batang kayu, yang tak dapat dikembalikan seperti sedia kala.

Biasanya, untuk mempermudah memanjat pohon kelapa, pemilik pohon akan membuat takok-takok bak tangga di batang pohon tersebut.

Seiring bertumbuhkembangnya pohon kelapa, takok ini akan tetap ada dan tak dapat dipulihkan.

Kayaknya, betebiat dan takok, tak hanya berlangsung pada masa kecil, yang sudah dewasa dan tua pun, masih sering melakukannya.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *