MATARAM, borneoreview.co – Pertambangan selalu menghadirkan paradoks. Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran dengan kontribusi besar terhadap ekonomi daerah.
Di sisi lain, pertambangan meninggalkan luka ekologis pada alam, dan masalah sosial yang sulit disembuhkan.
Dari Afrika hingga Amerika Latin, dari Kalimantan hingga Papua, dilema itu serupa. Yakni, tambang rakyat sering kali berdiri di persimpangan, antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Di Indonesia, Undang-Undang Minerba mencoba menawarkan jalan tengah melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Legalitas ini diharapkan menjadi pintu resmi bagi masyarakat mengelola tambang skala kecil secara aman, adil, dan berkeadilan.
Namun, pertanyaan penting muncul, apakah legalisasi cukup untuk menjamin keadilan sosial, transparansi, dan keberlanjutan lingkungan?
Pertanyaan itu kini menemukan relevansinya di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sebanyak 13 koperasi dari Lombok Barat, Sumbawa, Dompu, hingga Kabupaten Bima mengajukan IPR melalui sistem online single submission (OSS) maupun jalur manual.
Momentum ini terlihat menjanjikan. Tambang rakyat yang selama ini kerap berjalan dalam bayang-bayang ilegal mulai masuk ke ranah legal.
Tetapi pengalaman panjang di berbagai daerah mengingatkan kita bahwa legalitas bisa menjadi topeng baru jika tanpa pengawasan ketat dan tata kelola yang sehat.
Tambang memang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi NTB. Pada Triwulan I 2025, kontribusinya sekitar 16 persen terhadap struktur ekonomi, meski menurun dari 21,1 persen di triwulan sebelumnya.
Dari sisi investasi, sektor pertambangan masih menempati posisi teratas, dengan nilai mencapai Rp23,2 triliun pada tahun 2023.
Angka itu menunjukkan betapa besarnya peran sektor ini bagi arus modal di NTB.
Namun, kontribusi besar itu tidak serta-merta menghadirkan manfaat luas. Sumbangan pertambangan terhadap penciptaan lapangan kerja relatif kecil, di bawah dua persen dari total tenaga kerja.
Bandingkan dengan sektor pertanian dan pariwisata yang lebih menyerap tenaga kerja.
Ini menunjukkan pertambangan menghasilkan nilai ekonomi tinggi, tetapi dengan manfaat yang timpang, tanpa efek ganda yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Legalisasi Tambang
Di atas kertas, IPR memberi ruang legal yang lebih aman dibandingkan aktivitas tambang ilegal. Peprov NTB bahkan sudah mulai menjajaki pilot project untuk menguji implementasi IPR.
Gubernur menilai legalisasi penting agar ada kontrol, ketimbang membiarkan tambang ilegal yang tidak terkendali.
Meskipun demikian, proses administrasi bukanlah jaminan. Selain kelengkapan dokumen UKL-UPL, struktur pengurus, dan rencana reklamasi pascatambang, ada tantangan nyata dalam praktik pengelolaan.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, bahkan mengingatkan agar izin koperasi tidak sekadar formalitas.
Legalitas harus diuji dalam implementasi nyata, terutama terkait wilayah yang rawan tumpang tindih dengan IUP perusahaan besar, serta dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan.
Risiko besar mengintai jika izin hanya menjadi legitimasi bagi elit lokal atau pemodal besar untuk menguasai sumber daya.
Tanpa pengawasan ketat, koperasi yang mestinya menjadi wadah kolektif bisa bergeser menjadi kendaraan kepentingan sempit atau bahkan celah baru bagi praktik korupsi yang lebih halus.
NTB memiliki jejak pahit dalam hal kerusakan lingkungan akibat tambang. Di Lombok Timur, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) merusak sungai dan pesisir, memicu risiko kesehatan akibat penggunaan bahan kimia berbahaya.
Di Sumbawa, konflik sosial kerap mewarnai persaingan antara penambang lokal dan pemodal besar.
Semua ini menjadi peringatan bahwa legalitas tanpa disiplin lingkungan hanyalah label kosong, tanpa substansi perubahan.
Bentuk Koperasi
Koperasi diyakini bisa menjadi instrumen solidaritas dan pemerataan manfaat. Mekanismenya berbasis musyawarah anggota dan pembagian hasil yang seharusnya adil.
Namun idealisme koperasi bisa runtuh ketika modal besar masuk dan menggeser orientasi dari kesejahteraan bersama menjadi sekadar kendaraan akumulasi keuntungan.
Karena itu, penguatan kelembagaan koperasi menjadi keharusan, seperti halnya audit rutin, pelatihan manajerial, transparansi keanggotaan, hingga publikasi hasil produksi.
Koperasi harus kembali ke jati dirinya sebagai rumah bersama, bukan sekadar bendera legal untuk tambang rakyat.
NTB memiliki peluang menjadi pionir reformasi tata kelola tambang berbasis koperasi dengan tiga langkah strategis.
Pertama, digitalisasi dan keterbukaan data. Izin, volume produksi, lokasi tambang, hingga rencana reklamasi harus dipublikasikan secara daring agar masyarakat dapat ikut mengawasi.
Kedua, partisipasi publik. Akademisi, media, dan masyarakat sipil dilibatkan sebagai pengawas aktif. Transparansi adalah benteng utama untuk menghindari penyimpangan.
Ketiga, penegakan hukum dan etika politik. Korupsi tambang sama artinya dengan merampas masa depan.
Penegak hukum, pemerintah daerah, dan legislatif harus tegas dan transparan, tanpa kompromi terhadap kepentingan pribadi atau kelompok.
Model Nasional
Persoalan tambang rakyat tidak hanya ada di NTB, tetapi juga di Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Hal yang membedakan adalah apakah NTB mampu menjadikan momentum ini sebagai laboratorium reformasi tata kelola?
Jika berhasil, NTB akan menjadi model nasional dalam pengelolaan tambang rakyat berbasis koperasi yang legal, transparan, dan ramah lingkungan.
Sebaliknya, jika gagal, NTB hanya akan menambah daftar panjang daerah yang menyerah pada praktik tambang yang destruktif.
Koperasi yang mengajukan IPR sejatinya sedang mengetuk pintu masa depan NTB. Pilihan ada di tangan kita.
Menjadikan tambang sebagai kendaraan kesejahteraan kolektif atau menjebloskannya ke jurang kerusakan lingkungan dan sosial.
Potensi NTB begitu besar, tetapi yang lebih penting adalah integritas, keberanian, dan cinta negeri ini. Hanya dengan itu, legalitas tidak akan berubah menjadi legitimasi praktik buruk.
Pertambangan sejati bukan sekadar menggali isi Bumi, tetapi menggali masa depan dengan kepala tegak dan visi yang jelas.***