Tanah Seribu: Pusat Pemerintahan Kolonial Belanda yang Tak Lagi Tersisa

Kantor Pos Lama Pontianak

PONTIANAK, borneoreview.co – Kampung halamanku, Pontianak, adalah kota yang cukup unik. Kota ini terbagi menjadi tiga bagian.

Tiga bagian itu, mengikuti terbelahnya Sungai Kapuas menjadi dua anak sungai. Yakni, Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil.

Pemukim pertama kota, menempati bagian percabangan atau bagian sisi timur. Yang lebih dikenal dengan daerah Tanjung.

Pada bagian Tanjung ini lah terletak pusat Kesultanan Qadriah, kerabat penguasa yang membuka kota Pontianak.

Bagian kedua kota, berada di sisi utara yang menyatu dengan Pulau Kalimantan dan dikenal sebagai Siantan.

Bagian terakhir, yang merupakan bagian sisi selatan dan barat kota, dimana pusat kota sekarang berada, dahulu lebih dikenal dengan nama Tanah Seribu atau Tanah Satu Pal atau Verkendepaal.

Penamaan ini disebabkan adanya perjanjian antara Sultan Pontianak dan Kolonialis Belanda pada 1779, yang bersepakat menjadikan wilayah ini sebagai pusat aktivitas kolonialis.

Perjanjian ini menyatakan, luasan wilayah yang dapat digunakan tersebut adalah seribu depa atau satu pal. Istilah depa dan pal sudah tak populer lagi digunakan saat ini.

Sebagai informasi, satu depa adalah panjang yang diukur dari ujung jari ke ujung jari lain dari kedua lengan yang direntangkan atau setara dengan 1,8 meter. Jadi, satu pal atau seribu depa setara dengan 1,8 kilometer.

Nah, Tanah Seribu yang dimaksud diukur dari sisi Sungai Kapuas, karena pada masa itu baru transportasi sungai yang digunakan, atau wilayah yang dibatasi Parit Besar hingga ke Parit Sungai Jawi (pada masa kemudian, dikenal juga sebagai Gertak Satu).

Kawasan ini tak memiliki batas ke sisi dalamnya, karena pada masa itu dapat saja masih berupa hutan belantara.

Di kawasan Verkendepaal ini kemudian dibangun beragam infrastruktur pelaksanaan administratur kolonial dan pendukungnya.

Pergudangan dan pertokoan kemudian bertumbuh di dalamnya, selain perumahan-perumahan bagi pegawai kolonial.

Termasuk membangun sebuah reservoir luas yang digunakan untuk menghalau air asin yang akan masuk ke jaringan parit di dalam kota.

Sayangnya, kini tak banyak lagi yang tersisa. Beberapa yang masih tersisa adalah Gedung Kantor Pos Besar yang didirikan pada 1858. Atau, Kantor Bank Indonesia (dahulu merupakan kantor De Javasche Bank) yang didirikan para 1906.

Reseirvoir besar yang pernah ada, tak lagi tampak bersisa. Kini, telah hilang ditimbun tanah dan menjadi kawasan Pertokoan Nusa Indah.

Reservoir ini multi fungsi, karena di atas dan sekitarnya juga dibangun Tangsi Militer, yang setelah 1950-an dinamai Asrama Sudirman.

Tak heran, jika hingga kini ada orangorang tua yang masih menyebut Pasar Nusa Indah dengan sebutan Pasar Sudirman.

Tanah Seribu pun telah semakin melebar dan membesar. Pembangunan tak hanya berlangsung di kawasan bertanah aluvial.

Kini, kawasan-kawasan bertanah gambut dalam telah dipaksakan digunakan. Padahal, dahulu menjadi kawasan yang dihindari.

Kodrat ekologis dan hidrologis harusnya tak lah boleh diingkari, karena kita adalah umat yang berfikir.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *