Site icon Borneo Review

Tempayan Air: Warga Pontianak Banyak Gigi Ronga Akibat Konsumsi Air Hujan

Tempayan Air

Warga di Kota Pontianak, terbiasa menggunakan tempayan air untuk menampung hujan. Gunakan air hujan, warga Pontianak , banyak yang alami gigi keripos atau gigi rongak. (Ist)

PONTIANAK, borneoreview.co – Kondisi kampong halamanku di Kota Pontianak, berada di rawa muara sungai besar.

Ketinggian tanah di Kota Pontianak, kurang dari 5 meter di atas permukaan laut. Butuh pengaturan tata air yang tepat, agar penduduknya dapat hidup sehat, nyaman dan produktif.

Pasang surut air laut berpotensi membuat banyak wilayah tergenang. Sebaliknya, saat kemarau kebasahan lahan gambut harus mampu dijaga, untuk menghindari kerentanan terbakar.

Bagi masyarakat yang hidup di kawasan rawa, air yang berlimpah di musim hujan dapat menimbulkan masalah. Demikian pula di musim kemarau, ketiadaan air menimbulkan masalah yang lain.

Penyakit yang berkaitan dengan masalah penyediaan air bersih dan sanitasi pun kerap melanda kampong halamanku. Seperti, demam berdarah dengue, malaria, diare dan muntaber.

Saat ini, rusaknya ekosistem gambut di seputaran kampong halaman, hadir fenomena melonjaknya penyakit infeksi saluran pernapasan akut.

Penyakit itu langganan hadir, akibat buruknya kualitas udara yang dihirup warganya.

Penyediaan air bersih selalu menjadi tantangan di kampong halamanku dulu. Meskipun air berlimpah, secara kualitas tak layak dikonsumsi.

Air sumur pun tak bagus dipergunakan. Karat besi air rawa jadi penyebabnya. Untuk bersihkan, air permukaan dan air tanah, secara moderat masih dapat digunakan.

Banyak masyarakat yang mengandalkan air mandi dan cuci dari sungai dan parit yang ada. Hanya di musim kemarau, air ini berubah menjadi payau karena bercampur air laut.

Mandi dengan air payau, kerap membuat sabun tak berbusa dan tak nyaman rasanya. Untuk air minum dan mencuci bahan makanan, air hujan menjadi alternatif utama.

Saat belum tersedia air minum galonan yang diperjualbelikan, hampir semua rumah memiliki penyimpanan air dalam bentuk tempaan atau tong air.

Ada yang berupa tempayan-tempayan semen. Ada yang sudah menggunakan tong berbahan fiber. Ada pula yang membuat bungker semen di bawah tanah, untuk penyimpanannya.

Makanya, rumah-rumah yang ada, pasti memiliki talang air yang tersambung dengan tempat penyimpanannya dari atap rumah.

Di perumahan atau rumah-rumah yang didirikan pada era 1950an, seperti tangsi militer dimana aku dibesarkan, ada tong penyimpanan air hujan besar berbentuk segi empat dari semen.

Di rumahku, tong yang dinamai zeding ini, ukurannya 3 kali 3 kali 3 meter kubik.

Sementara zeding kolektif bagi penghuni yang tinggal di barak, berukuran 5 kali 5 kali 3 meter kubik.

Talang air pada masaku kecil masih menggunakan talang seng. Talang dan pipa paralon pada masa itu, belum jaman digunakan.

Kalau terjadi kerusakan, talang seng harus diperbaiki dengan cara dipatri. Untungnya, pada masa itu masih banyak tukang patri yang berkeliling menawarkan jasanya.

Pada era 70 hingga 90an, banyak rumah mandiri yang menyimpan air hujan di tong air, berbentuk seperti tempayan sayuran berkapasitas 1-1,5 meter kubik. Biasanya tempayan ini dijajarkan di pinggir rumah.

Banyaknya tempayan yang dijajarkan, dapat menggambarkan seberapa banyak penghuni rumah tersebut.

Kini, tong dari fiber yang menjadi primadona, karena selain lebih kuat, berkapasitas tampung lebih banyak dan harganya lebih terjangkau.

Masyarakat di kampong halamanku, ternyata sudah jauh lebih dahulu melakukan pemanenan air hujan atau rain water harvesting.

Sekarang ini, pemanenan air hujan banyak direferensikan oleh studi-studi terbaru, sebagai alternatif menghadapi krisis air bersih dunia.

Tapi, mengkonsumsi air hujan bukannya tanpa beresiko. Banyak yang menghubungkan rapuhnya gigi dengan konsumsi air. Yang kadar kalsiumnya lebih rendah, dibandingkan air sumur atau air permukaan ini.

Wajar, banyak warga kampong halamanku yang kemudian giginya tak lagi lengkap. Atau, di kampongku dikenal dengan sebutan rongak.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Exit mobile version