Tenun Timor, Kain Songket yang Indah dan Rumit

Tenun Timor

KUPANG, borneoreview.co – Tangan yang terampil itu dengan lincah menggerakkan bilah kayu dengan bentangan benang berundak-undak dan rumit.

Jemari yang seolah telah mengingat tiap simpul benang; kaki yang sigap di pedal kayu sebagai penyanggah; bergerak dalam ritme yang tenang.

Keharmonisan itu pun menciptakan motif tenun yang khas dengan ciri Timor.

Desi, namanya. Salah satu perajin tenun di Rumah Tenun, Puncak Waringin, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perempuan ini memilih untuk meneruskan budaya tenun daerahnya.

Kebiasaan dia melihat sang ibu menenun sedari kecil ternyata membuatnya jatuh hati terhadap tenun.

Ia pertama kali mulai menenun saat berusia 19 tahun, dan sudah enam tahun berlalu sejak saat itu.

Desi menceritakan butuh waktu sekitar satu hingga tiga bulan untuk menyelesaikan satu kain tenun. Proses yang paling memakan waktu ialah pewarnaan.

Untuk pewarna alami, misalnya, membutuhkan waktu sekitar satu minggu hanya untuk menunggu benang menyerap warna secara utuh.

Sedangkan untuk bahan pewarna indigo, mencari bahan baku menjadi proses tersulit yang memperpanjang durasi pengerjaan tenun.

Selain pewarnaan, proses pengerjaan juga menjadi bagian yang menantang. Desi bisa menghabiskan satu hari penuh duduk berdiam di kayu tenun tradisional itu, atau biasa disebut gedogan.

Pinggangnya terjepit di antara dua bilah kayu, sedangkan kakinya terus dalam posisi lurus untuk memastikan benang meregang.

Meski begitu, setidaknya menenun bisa membantunya mencari penghidupan.

“Sukanya menenun bisa menghasilkan uang. Dukanya, duduk di sini dari pagi sampai sore,” kata Desi sambil tertawa.

Menurut Desi, satu kain tenun bisa membuatnya mendapatkan uang sekitar Rp800 ribu hingga Rp1 juta untuk kain dengan bahan baku alami.

Sementara yang menggunakan bahan pewarna indigo, ia bisa memperoleh Rp2,5 juta hingga Rp5 juta.

Pembelinya pun tak hanya berasal dari wisatawan domestik, juga wisatawan mancanegara yang ia sebut sebagai bule.

“Diikat lagi, sakit. Tapi kejar uang, bagaimana dong? Kejar waktu,” katanya lagi sambil tertawa.

Kolektif Wariskan Tenun

Desi merupakan cerita kecil dari gerakan kolektif penenun di Nusa Tenggara Timur.

Para penenun di Pulau Flores dan sekitarnya ini kompak membentuk kelompok tenun untuk saling memberdayakan. Mulanya, hanya terdapat lima kelompok tenun dengan 120 penenun.

Seiring waktu, jumlahnya kini berkembang menjadi 522 penenun yang tersebar di 31 desa.

Florina Sayuti menjadi salah satu pemimpin kelompok tenun. Kelompok tenunnya menjadi satu-satunya representasi penenun di Desa Repi, desa tempat tinggalnya.

Sebagian besar anggota kelompok tenunnya merupakan wanita paruh baya yang sudah berkeluarga, yang menjadikan tenun sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Mereka memperoleh Dana Desa untuk tenun dalam bentuk benang dan bahan baku.

“Kami harap ke depan Dana Desa untuk sektor tenun bisa membantu membangun rumah tenun, peralatan tenun, dan bantuan pemasaran,” ujar Florina.

Berdasarkan catatan desa, Desa Repi menerima Dana Desa sebesar Rp962,37 juta pada 2023, dengan porsi penyaluran untuk tenun sebesar Rp10,45 juta atau sekitar 1,08 persen dari total anggaran.

Anggarannya kemudian meningkat pada tahun berikutnya, dengan rincian Dana Desa yang diterima sebesar Rp958,08 juta dan alokasi untuk tenun senilai Rp124,25 juta atau 12,96 persen dari total anggaran.

Untuk tahun 2025, kelompok tenun Florina secara khusus menerima anggaran Dana Desa sebesar Rp2,3 juta.

“Kami ingin mengucapkan terima kasih Dana Desa yang diberikan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi makin sejahtera,” tuturnya.

Aksi kolektif itu tidak hanya berhenti pada level penenun. Instansi negara pun turut terlibat dalam upaya mewariskan tenun timur.

Salah satu pemain adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank. Instansi di bawah Kementerian Keuangan ini membuat program Desa Devisa untuk mendukung penenun di NTT.

Desa Devisa telah menjangkau berbagai desa di Kabupaten Alor, Belu, Sikka, Ende, dan Sumba Timur.

Pendamping program, CEO Tenunin Hayatul Fikri Aziz, mengatakan program ini telah membantu meningkatkan rata-rata pendapatan per bulan para penenun hingga 30 persen, dari mulanya Rp750 ribu hingga Rp1 juta menjadi Rp975 ribu hingga Rp1,3 juta.

Mama Sariat Tole merupakan salah satu tokoh pelestarian tenun di NTT yang berasal dari Kampung Hula di Pulau Alor.

Mama Sariat menggunakan benang kapas hasil tanam sendiri dan pewarna alami dari bahan lokal seperti tinta cumi, daun kelor, kunyit, hingga akar mengkudu.

Ia tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun.

Kain tenunnya pun telah menjajaki pasar dunia, mulai dari Tokyo hingga Belanda, sejak 2007.

Pewarna alami tinta cuminya menjadi daya tarik utama di pasar ekspor. Karyanya juga telah tampil di Prancis dan berbagai pameran global.

Produksi tenunnya kini mencakup beragam produk, seperti tas, selendang, hingga aksesoris lainnya.

Bagian penting lain dari cerita Mama Sariat adalah: dia tidak bergerak sendiri. Ia menjadi mentor dalam program Desa Devisa Klaster Tenun NTT, khususnya untuk mendampingi penenun dalam penggunaan pewarnaan organik dan benang alami.

Ia memberdayakan 77 orang dalam kelompoknya, terdiri atas 70 perempuan dan 7 laki-laki.

Partisipasi Negara

Masyarakat sudah bergerak aktif untuk mewariskan tenun; keberhasilan upaya ini tentu membutuhkan partisipasi nyata dari negara.

Seperti yang disampaikan Florina, keberlangsungan kelompok tenunnya bergantung pada dukungan Dana Desa.

Dana Desa merupakan salah satu komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, desa-desa di NTT masih bergantung pada Dana Desa, yang memenuhi porsi 66,2 persen dari anggaran Dana Transfer sebagai penopang utama anggaran desa.

Industri tenun di NTT pun menerima Rp5,74 miliar dari pagu Dana Desa dalam APBDes Tahun Anggaran (TA) 2025, setara 98,58 persen dari total kebutuhan anggaran.

Selain dari Dana Desa, sumber dana APBDes untuk tenun juga mencakup Alokasi Dana Desa sebesar Rp29,82 juta (0,5 persen), pendapatan lain-lain Rp41,72 juta (0,7 persen), serta Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Rp11,39 juta (0,2 persen).

Secara spesifik, anggaran Dana Desa yang disalurkan langsung untuk industri tenun yaitu sebesar Rp269,13 juta atau 4,7 persen dari total anggaran.

Dana itu diarahkan untuk pengelolaan usaha jasa dan industri kecil kain tenun/sentra tenun ikat.

Adapun secara umum, pagu Dana Desa untuk kegiatan terkait tenun didominasi oleh pengembangan sarana prasarana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi sebesar 34,4 persen atau Rp1,97 miliar.

Kemudian, untuk pengembangan industri kecil tingkat desa sebesar Rp1,65 miliar (28,7 persen) dan pembentukan, pelatihan, serta pendampingan kelompok usaha ekonomi produktif sebesar Rp700 juta (12,2 persen).

Anggaran Dana Desa juga digunakan untuk kegiatan pelatihan dan pemberdayaan perempuan sebesar 7,7 persen atau Rp443 juta.

Gelontoran dana itu tak dimungkiri berperan signifikan terhadap kelangsungan pewarisan tenun di NTT.

Bantuan anggaran tentu tidak bisa menjadi dukungan tunggal terhadap keberlangsungan industri tenun NTT.

Meski para penenun giat memproduksi kain tenun terbaik mereka, aktivitas jual-beli tidak akan terjadi bila tidak ada calon pembeli.

Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) LPEI mengisi peran ini. Program PKE juga memiliki perhatian khusus terhadap Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo.

Yang merupakan hasil kolaborasi bersama perbankan melalui skema blended financing, dengan nilai alokasi pendanaan sekitar Rp1 triliun.

Fasilitas PKE yang disalurkan melalui LPEI sebesar Rp500 miliar, yang digunakan untuk pembiayaan atas Hotel Meruorah dan area komersial senilai Rp100 miliar, pembiayaan proyek new development.

Yaitu, hotel mid tier, area komersial ekstension, marina, dan sarana penunjang Rp300 miliar, dan penjaminan kredit Rp100 miliar.

Program PKE DPSP Labuan Bajo yang dilakukan melalui Hotel Meruorah yang berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan sebanyak 179 ribu hingga 411 ribu orang.

Juga peningkatan ekspor Rp46,1 miliar sepanjang 2021 sampai 2024, berdasarkan data Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF).

Lewat inisiatif ini, diharapkan dapat membantu meningkatkan permintaan terhadap kain tenun di Nusa Tenggara Timur.

Di sisi lain, LPEI juga mempersiapkan langkah antisipatif terhadap dinamika perekonomian global untuk tetap menjaga aktivitas ekspor.

Program PKE berupaya memperluas pasar ekspor tidak hanya ke negara konvensional, tetapi juga nonkonvensional, misalnya ke Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, hingga Asia Selatan.

Dengan berbagai upaya, dari tangan-tangan yang terampil menenun hingga dukungan lembaga dan negara, warisan tenun dari Nusa Tenggara Timur tak hanya berhenti sebagai tradisi.

Ia terus merebak menjadi pernyataan budaya yang kian lantang, tak hanya di tanah sendiri, tetapi juga di panggung dunia.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *