JAKARTA, borneorevew.co – Beberapa waktu terakhir, Indonesia kembali diterpa bencana hidrometeorologi akibat tingginya curah hujan yang mengancam sejumlah wilayah.
Selain itu, aktivitas vulkanik juga masih berlangsung, seperti erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 7 Juli 2025 lalu.
Serangkaian kejadian bahaya dan bencana tersebut menjadi tantangan besar bagi masyarakat, termasuk para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang beroperasi di daerah rawan bencana.
UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan penguatan ekonomi lokal.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (sebelum pemisahan kementerian) tahun 2024, jumlah UMKM di Indonesia tercatat lebih dari 64 juta unit, dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar lebih dari 61 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa UMKM bukan sekadar usaha berskala kecil dan menengah, tetapi juga merupakan fondasi penting bagi ekonomi Indonesia.
Dengan peran yang begitu besar, memahami kondisi UMKM, seperti usaha manufaktur mikro dan kecil di berbagai sektor menjadi sangat penting, terutama dalam konteks ketahanan terhadap bencana.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun data Industri Mikro dan Kecil (IMK) melalui Survei IMK tahunan, yang mendata pelaku usaha di sektor manufaktur dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang.
Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 4.500.584 unit usaha IMK di Indonesia yang mana 62,06 persennya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Dari jumlah tersebut, industri makanan menjadi sektor yang paling dominan, dengan jumlah mencapai 1.800.827 unit usaha.
Jika ditelusuri lebih dalam, mayoritas pelaku usaha mikro dan kecil di sektor manufaktur masih menghadapi berbagai keterbatasan. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir seluruh unit usaha IMK (99,45 persen) belum berbadan hukum.
Di sisi lain, sekitar 89,59 persen dari total pelaku usaha ini masih mengandalkan teknologi manual. Dan 68,05 persen unit usaha juga mengalami kendala operasional, baik dalam hal bahan baku maupun persoalan lain.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha mikro dan kecil di sektor manufaktur masih berada dalam situasi yang sangat rentan, baik secara kelembagaan, teknologi, maupun bahan baku.
Dalam konteks risiko bencana, hal ini memperkuat urgensi dukungan terhadap peningkatan kapasitas dan ketahanan usaha mikro dan kecil di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 1 Januari hingga 19 Juni 2025, telah tercatat sebanyak 1.685 kejadian bencana, atau hampir setengah dari total kejadian bencana sepanjang tahun 2024 yang mencapai 3.472 peristiwa.
Bencana hidrometeorologi masih mendominasi, yakni mencapai 99,4 persen dari total kejadian hingga pertengahan tahun.
Situasi ini tentu berdampak pada keberlangsungan UMKM, mulai dari gangguan operasional, hambatan distribusi, hingga penurunan produktivitas.
Sayangnya, kerentanan UMKM terhadap bencana kerap kali luput dari perhatian, terutama karena banyak pelaku usaha menjalankan aktivitas bisnisnya dengan sumber daya terbatas dan manajemen yang belum terpisah dari rumah tangga.
Seperti yang terjadi pada sektor usaha manufaktur mikro dan kecil, data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa 84,77 persen pelaku usaha menggunakan modal sepenuhnya milik sendiri.
Sementara itu, 13,03 persen menggunakan modal campuran, dan hanya 2,20 persen yang memanfaatkan modal sepenuhnya dari pihak lain seperti perbankan, koperasi, perseorangan, maupun swasta.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha manufaktur skala kecil masih bergantung pada sumber daya pribadi, yang berpotensi memperlemah daya tahan mereka terhadap gangguan eksternal, termasuk kejadian bencana.
Di balik kerentanannya, UMKM justru menyimpan potensi besar untuk menjadi pilar ketangguhan bagi masyarakat.
Meskipun rentan terhadap guncangan seperti bencana, UMKM dapat menjadi garda terdepan dalam membangun ketangguhan komunitas dan pemulihan pascabencana.
Pada Hari UMKM Internasional 27 Juni lalu, Perwakilan Khusus Sekretari Jenderal United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR), Kamal Kishore, menyatakan bahwa “Resiliensi UMKM merupakan bagian penting dari ketangguhan masyarakat”.
Namun, ketangguhan tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Pembangunan resiliensi UMKM terhadap bencana membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak yang dapat menyentuh hingga lapisan ke bawah — bukan sekadar deklaratif, namun juga aplikatif, konstruktif, dan berkelanjutan.
Terlebih, UMKM merupakan penopang mata pencaharian bagi masyarakat, yang ketika terjadi bencana langsung terdampak dan paling dibutuhkan untuk bangkit seawal mungkin.
Upaya membangun ketangguhan UMKM perlu didorong dari berbagai arah. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan yang mendukung UMKM dalam pengurangan risiko bencana dan pemulihan pascabencana.
Perluasan akses untuk pembiayaan, bantuan, asuransi, maupun subsidi yang berbasis data sangat penting untuk memperkuat daya tahan usaha.
Peningkatan sosialisasi mengenai prosedur pendaftaran program pemerintah untuk UMKM perlu digencarkan, agar pelaku UMKM memahami hak dan peluang yang tersedia bagi mereka.
Peningkatan kesadaran akan pentingnya pendaftaran badan hukum juga perlu didorong, mengingat legalitas usaha memudahkan pemutakhiran data, pemetaan risiko, serta penyaluran bantuan yang lebih tepat sasaran.
Pemetaan ini akan semakin efektif apabila didukung oleh data yang terus diperbarui secara berkala.
Peningkatan literasi terkait kebencanaan dan adaptasi di wilayah rawan bencana juga merupakan elemen penting dalam membangun komunitas UMKM yang tangguh.
Dengan pemahaman terkait risiko dan kesiapsiagaan terhadap bencana, pelaku usaha dapat merencanakan strategi yang adaptif sesuai dengan lingkungan usahanya.
Penguatan jejaring antar pelaku UMKM, pembentukan komunitas berbasis lokal, serta pemberdayaan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga menjadi pendekatan strategis.
Melalui kolaborasi dengan perusahaan besar, UMKM dapat memperoleh akses pada praktik terbaik dan solusi inovatif yang bisa diterapkan di tingkat lokal.
Keseluruhan upaya membutuhkan komitmen dan kesadaran bersama untuk memandang UMKM bukan sebagai kelompok yang lemah, tetapi sebagai salah satu aktor penting dalam pembangunan dan penguatan resiliensi nasional.
Sebab, mengabaikan ketangguhan UMKM di tengah risiko bahaya dan bencana sama dengan membiarkan tiang ekonomi berguncang tanpa fondasi yang kuat.
UMKM bukan sekadar roda kecil penggerak ekonomi, melainkan nafas dan pilar penting yang menopang ketahanan ekonomi Indonesia di tengah bayang-bayang bencana.
*) Nawang Indah Cahyaningrum adalah Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)