JAKARTA, borneoreview.co – Istilah thrifting, merujuk pada kegiatan belanja pakaian bekas, dalam beberapa tahun terakhir kian menggema dan menjadi perhatian masyarakat.
Thrifting awalnya dimaksudkan sebagai pilihan untuk memperoleh pakaian bekas yang masih layak digunakan. Kini fenomena itu dianggap sebagai bagian tren gaya hidup yang mencerminkan cara masyarakat mengkonsumsi fesyen.
Pengamat mode Dewi Utari menilai tren thrifting berkembang bukan semata karena faktor ekonomi, tapi juga perubahan cara pandang terhadap konsumsi. Di tengah kenaikan biaya hidup, thrifting menjadi bentuk perlawanan halus terhadap budaya konsumtif dan fast fashion.
Hadirnya thrifting dinilai mendorong gaya hidup hemat lantaran menawarkan alternatif berpakaian dengan harga miring, fungsional, dan tetap berkarakter tanpa harus membeli pakaian baru. Namun, thrifting tidak bisa dipandang semata sebagai solusi hemat, terutama praktik ini berubah menjadi tren massal dan viral. Nilai frugal yang menjadi semangat awalnya berisiko bergeser.
“Ketika berubah menjadi tren massal dan viral maka nilai frugalnya bergeser. Banyak orang akhirnya tetap membeli berlebihan hanya karena murah, bukan karena kebutuhan,” kata Dewi Utari.
Geliat pasar mengiringi praktik thrifting dari transaksi langsung di pasar loak hingga penjualan intensif melalui platform digital dan media sosial menawarkan pakaian bekas impor berlabel ternama.
Pilihan model pakaiannya pun beragam, dari jenis crewneck, jeans, kaus, cardigan, hoodie, rok, trousers, kemeja. Seolah-olah pembeli tengah berburu “harta karun” berupa pakaian unik atau busana bermerek yang masih layak pakai dengan harga murah. Tak jarang, ada pakaian yang diklaim sebagai edisi langka hingga menjadi daya tarik yang kerap sulit diabaikan.
Alih-alih semata sebagai cara berhemat, thrifting sering kali bergeser dan kerap dimaknai sebagai ajang konsumtif. Pilihan busana tak lagi semata soal kenyamanan atau selera, melainkan simbol pernyataan diri. Rasa takut tertinggal tren untuk kebutuhan foto yang tampil untuk panggung bernama media sosial pun menjadi dorongan.
Konsumsi pun menjadi bagian dari ekspresi diri—melalui merek yang dikenakan, warna yang ditampilkan, citra hidup yang ingin diperlihatkan.
Keberadaan tren thrifting atau baju bekas kian menjadi perhatian, di mana meskipun membeli baju bekas bisa membantu mengurangi limbah tekstil, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Tren thrifting ini meningkatkan pasokan pakaian bekas, termasuk masuknya pakaian bekas impor ilegal, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya sampah tekstil dan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan di Indonesia.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 38,61 juta ton timbulan sampah sepanjang 2024. Menurut jenisnya, sampah kain menyumbang sekitar 2,64 persen.
Sampah pakaian belakangan ini juga menjadi sorotan karena berpotensi menimbulkan mikroplastik. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova sebelumnya menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di Jakarta. Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka.
Dewi Utari mengatakan masalah mikroplastik justru lebih banyak berasal dari jenis material pakaian, di mana sebagian besar pakaian thrifting berbahan sintetis seperti polyester atau acrylic.
“Ketika dicuci, serat mikro dari bahan ini terlepas dan masuk ke aliran air, lalu berakhir di laut dan rantai makanan. Ironisnya, thrifting yang tidak terkurasi justru bisa mempercepat siklus limbah,” ujar dia.
Selain menambah volume sampah, tren thrifting kini menjadi sorotan karena praktik impor pakaian bekas ilegal. Aktivitas ini jelas melanggar aturan dan berisiko merusak ekosistem industri lokal, terutama ketika tekstil dan pakaian impor dijual dengan harga sangat rendah sehingga produsen dalam negeri kehilangan kesempatan yang setara di pasar.
Praktik thrifting dengan barang impor kini berada di bawah pengawasan ketat pemerintah. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bakal mencegah terbukanya pasar bagi barang-barang impor ilegal. Apabila pasar domestik dikuasai oleh barang-barang asal luar negeri, maka pengusaha domestik tidak bisa merasakan manfaat keekonomiannya.
Kembali ke Esensinya
Thrifting boleh jadi cara cerdas mengekspresikan gaya. Namun praktik belanja pakaian bekas itu juga harus diimbangi sikap yang mencerminkan hidup berkesadaran seperti ensensi awal yang lekat dengan nilai keberlanjutan.
Dewi menekankan, di titik ini, thrifting idealnya dikembalikan pada esensinya yaitu membeli seperlunya, memperpanjang usia pakai pakaian, dan mengurangi tekanan produksi baru. Tanpa kesadaran ini, pakaian murah yang dibeli tanpa perawatan dan kesadaran akhirnya tetap berakhir di tempat sampah.
“Artinya, thrifting hanya benar-benar ramah lingkungan jika dibarengi dengan edukasi seperti memilih bahan yang lebih awet, mencuci dengan benar, dan benar-benar memaksimalkan masa pakai,” tutur Dewi.
Praktik thrifting yang bertanggung jawab juga mendorong masyarakat untuk lebih kreatif dalam memadupadankan busana, menjadikan pakaian bekas sebagai media ekspresi diri yang unik tanpa harus menambah produksi baru. Kesadaran ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengubah cara masyarakat menghargai pakaian sebagai aset yang digunakan secara lebih lama. (Ant)
