UU dan Perpres MBG, Urgensi Bagi Tata Kelola yang Baik dan Berkelanjutan

SPPG

JAKARTA, borneoreview.co – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana dalam satu kesempatan Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, mengatakan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola Makan Bergizi tengah dipersiapkan.

Memang, hampir 10 bulan sejak diselenggarakan bertahap secara nasional (mulai Januari 2025), Program Makan Bergizi Gratis (MBG), belum memiliki aturan pelaksana yang menjadi dasar hukum penerapan aturan teknis, di bawahnya secara nasional.

Oleh karenanya, Peraturan Presiden yang mengatur soal tata kelola proyek MBG, menjadi urgensi bagi pemerintah.

Proyek MBG sendiri merupakan janji unggulan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, tatkala berkampanye dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.

Tujuannya mulia, mencegah anak-anak Indonesia kelaparan, sehingga mereka mendapatkan gizi yang bagus tatkala mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Kendati begitu, tujuan mulia saja tidak cukup. Tujuan mulia, tanpa perencanaan, tata kelola, pertanggungjawaban hukum, serta upaya teknokratik yang menyertainya, justru akan menjadi hal yang dapat menimbulkan kerugian.

Baik berupa menimbulkan korban jiwa, kegagalan fiskal, bahkan lebih jauh menyebabkan erosi kepercayaan terhadap pemerintahan.

Sejauh ini, tercatat sekitar 7 ribu kasus keracunan akibat MBG. Hal ini diikuti dengan dikeluarkannya status kejadian luar biasa (KLB) di berbagai daerah.

Terbaru, Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan status KLB setelah 148 siswa keracunan akibat mengonsumsi makanan dari program MBG.

Oleh karenanya, aturan main mengenai MBG perlu dibuat dan tidak hanya mengatur soal tata kelola. Tapi lebih jauh dari itu, seperti pertanggungjawaban hukum yang menyertainya.

Tata Kelola

Sejak diselenggarakan awal Januari, dapat dikatakan MBG tidak memiliki aturan main yang mengatur mengenai tata kelola.

Praktis dasar dari diselenggarakannya MBG hanya berupa rancangan anggaran 2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2025/2029.

Sementara mengenai kewenangan kelembagaan, tugas, alur pemerintahan, serta pertanggungjawaban tidak pernah diatur secara tegas dalam aturan, seperti undang-undang dan peraturan presiden.

Memang, sejak Agustus 2025 sudah ada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional.

Perpres ini menjadi dasar kewenangan dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang salah satunya sebagai lembaga penyelenggara proyek MBG.

Sejauh inipun BGN telah bekerja sama dengan sejumlah pihak terkait, seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, TNI/Polri, dan pemerintah daerah.

Salah satu bentuk konkret kerja sama tersebut ialah pendirian satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG).

Kendati begitu, proses pemilihan dan penunjukan SPPG justru menjadi sorotan tajam.

Mengutip kajian dari Transparancy International Indonesia (TII), sejumlah permasalahan yang terjadi di lapangan soal SPPG.

Seperti konflik kepentingan kronis mitra pelaksana, pengadaan barang dan jasa yang rawan manipulasi, lemahnya pengawasan, dan meningkatnya risiko kerugian negara.

Sejumlah permasalahan tersebut, seyogianya dapat menjadi daftar inventarisasi masalah, dalam perancangan aturan main MBG.

Oleh karenanya, perlu adanya dasar bagi aturan main yang lebih kuat, seperti dalam bentuk undang-undang tersendiri yang khusus berbicara soal MBG.

Bentuk Undang-Undang

Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 yang terakhir kali diubah melalui UU Nomor 13 Tahun 2022, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, merupakan dasar konstitusional dalam prosedur dan substansi dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam bagian ketentuan umum dari UU ini dijelaskan bahwa Peraturan Presiden adalah peraturan perundang undangan yang ditetapkan oleh presiden.

Untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Sementara itu, materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang. Materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Di lain sisi, UU merupakan produk hukum yang disusun oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam Pasal 10 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur bahwa hal-hal yang dapat menjadi muatan undang-undang.

Meliputi pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Perintah undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.

Pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dalam undang-undang.

Teori jenjang hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky dapat menjadi dasar dalam menjelaskan argumentasi ini.

Ia membagi norma hukum atas jenjang-jenjang. Yakni, Staatsfundamentalnorm yang berisikan norma fundamental negara.

Staatsgrundgesetz yang berisi dasar negara yang di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar.

Formelles Gesetz yang di Indonesia terejawantahkan dalam bentuk Undang-undang dan Perppu.

Verordnung dan Autonome Satzung yang di Indonesia diejawantahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta Peraturan Teknis dalam Kementerian ataupun Lembaga tertentu.

Masing-masing jenis teori tersebut memiliki ciri khas muatan dan sifatnya yang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam konteks ini, penting kita melihat dari pengaturan MBG. Sebagai sebuah proyek yang memiliki rantai produksi yang panjang dan melibatkan pelbagai macam pihak.

Mulai dari organ pemerintahan pusat dan daerah, melibatkan anggaran yang sangat besar, serta adanya penambahan tugas dan lembaga pemerintahan lainnya.

Maka, sudah menjadi alasan kuat mengapa penting MBG diatur menggunakan undang-undang.

Pertama, MBG melibatkan fungsi BGN sebagai lembaga yang menjalankan tugas koordinasi.

Dalam konteks ini, kerja sama yang dilakukan oleh MBG, khususnya dalam hal kerja sama dengan pemerintah daerah, apakah sesuai dengan prinsip otonomi daerah?

Dengan adanya BGN, justru menunjukkan terjadinya sentralisasi pemerintahan yang seolah-olah diatur oleh pemerintahan pusat.

Jikapun pemerintah daerah memiliki kewenangan, maka harus diatur dengan tegas, sejauh mana peran serta apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan asas-asas otonomi daerah di Indonesia.

Kedua, melibatkan anggaran yang sangat besar. Dengan pagu anggaran dalam RAPBN 2026 sejumlah Rp335 triliun.

Maka, sudah waktunya perlu adanya aturan selevel UU untuk mengatur mengenai tata kelola, tugas dan fungsi lembaga, kerja sama, serta bentuk pertanggungjawaban dengan adanya program MBG.

Hal ini juga tidak terlepas dari adanya pengenaan sanksi pidana yang tidak dapat diatur menggunakan aturan turunan.

Ketiga, menciptakan keberlanjutan pembangunan. Perlu menjadi sorotan lainnya ialah adanya aturan selevel UU menunjukkan keberlanjutan kebijakan.

Jangan sampai, kebijakan ini yang sudah terjadi proses pengadaan barang dan jasa dan melibatkan anggaran yang besar justru dengan mudah dapat diganti sesuai dengan pergantian pemerintahan.

Oleh karenanya, keberadaan UU, selain mengatur tata kelola juga penting menyiapkan blue print dari proses penyelenggaraan MBG itu sendiri.

Di akhir, tindakan Presiden Prabowo untuk membuat peraturan presiden yang mengatur soal MBG merupakan langkah maju dalam menyediakan aturan main dalam proyek besar ini.

Kendati begitu, hal demikian bukan berarti cukup, justru dengan diperkuat dengan aturan selevel UU, akan menjamin aturan main yang solid.

Terutama dalam hal koordinasi, pengawasan dan pertanggungjawaban, serta keberlanjutan dari proyek MBG itu sendiri.***

*) Nur Fauzi Ramadhan adalah Co-Founder Asah Kebijakan Indonesia, Civitas Akademika Universitas Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *