PONTIANAK, borneoreview.co – Memberi peluang berkarya kepada warga binaan pemasyarakatan, bukan soal empati sesaat atau upaya memperhalus citra institusi.
Melainkan keputusan kebijakan yang menentukan, apakah sistem pemasyarakatan benar-benar bekerja untuk masa depan manusia.
Persoalan utama pemasyarakatan, selama ini bukan hanya kepadatan lapas atau keterbatasan sumber daya.
Tapi kegagalan menyiapkan warga binaan kembali ke masyarakat, sebagai individu yang utuh, percaya diri, dan memiliki fungsi sosial yang diakui.
Di titik inilah program Beyond Beauty, perlu dibaca secara lebih kritis dan strategis.
Gagasan Beyond Beauty berangkat dari kesadaran bahwa hukuman tidak boleh berhenti pada pencabutan kebebasan, tetapi harus diikuti pemulihan kapasitas hidup.
Warga binaan bukan sekadar individu yang harus diawasi, melainkan manusia dengan intervensi tepat, dapat kembali berkontribusi.
Ketika negara membuka ruang industri kreatif bagi mereka, negara sedang menguji satu asumsi penting.
Bahwa perubahan perilaku lebih mungkin tumbuh melalui kepercayaan, bukan semata-mata kontrol.
Pendekatan ini tampak nyata dalam kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Indonesia Fashion Chamber yang melibatkan warga binaan dari 24 lembaga pemasyarakatan.
Momentum tersebut mengemuka dalam rangkaian “Bali Fashion Trend 2026” yang digelar di Ubud, Gianyar, pekan lalu.
Hal yang lebih penting dari acara itu sendiri adalah pesan kebijakan yang dibawanya.
Yakni, arah pemasyarakatan mulai digeser agar terhubung dengan dunia nyata, dunia kerja, dan dunia pasar, bukan hanya berputar di dalam tembok institusi.
Melalui Beyond Beauty, warga binaan dilibatkan sebagai co-creator dalam industri fesyen profesional.
Beragam produk hasil pembinaan, seperti batik, anyaman, bordir, hingga kerajinan kulit dikembangkan bersama para desainer Sofie, Lisa Fitria, dan Irmasari.
Sehingga menjadi karya fesyen kontemporer dengan nilai estetika, sekaligus daya saing komersial.
Warga binaan tidak lagi diposisikan sebagai tenaga produksi semata, melainkan sebagai bagian dari proses kreatif yang menuntut standar kualitas dan tanggung jawab profesional.
Salah satu koleksi yang ditampilkan memadukan batik tradisional dengan desain urban modern kontemporer bergaya street wear.
Seluruh proses produksinya melibatkan warga binaan dari berbagai unit pemasyarakatan.
Antara lain lapas di Jambi, Bengkulu, Manado, Malang, Semarang, Pontianak, Sumenep, dan Madiun, dengan total 24 lapas berkolaborasi dalam program ini.
Karya-karya tersebut dipersiapkan melalui pendampingan intensif, mulai dari pengembangan desain, hingga pemenuhan standar kualitas produk siap pasar.
Sehingga hasil pembinaan tidak berhenti sebagai kerajinan internal lapas, tetapi diarahkan memasuki ekosistem industri kreatif yang sesungguhnya.
Pasar Internasional
Selain memperoleh apresiasi publik, karya hasil kolaborasi ini juga mulai menarik minat pasar internasional.
Salah satu desainer, Sofie, mengungkapkan bahwa dalam rangkaian “Bali Fashion Trend 2026”, telah diterima permintaan awal atau order inquiry dari pembeli asal Prancis dan Malaysia.

Minat tersebut menjadi sinyal positif atas kualitas dan daya saing produk hasil pembinaan warga binaan pemasyarakatan di pasar global.
Hal itu sekaligus menguji kesiapan sistem pemasyarakatan, untuk berhadapan dengan standar pasar yang lebih luas.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menegaskan bahwa pemasyarakatan harus dipandang sebagai ruang pembinaan dan kesempatan kedua.
Pernyataan ini menyentuh inti persoalan pemasyarakatan modern. Tanpa kesempatan kedua yang konkret, pembinaan mudah tereduksi menjadi rutinitas administratif yang tidak mengubah apa pun.
Ketika warga binaan hanya dilatih, tanpa pernah diuji dalam standar profesional, jarak antara lapas dan masyarakat akan terus menganga.
Agus menilai proses kolaborasi dalam Beyond Beauty tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga membangun kepercayaan diri serta identitas positif warga binaan.
Ketika karya mereka diapresiasi publik dan pasar, proses pemulihan harga diri dan kepercayaan diri benar-benar terjadi.
Hal ini sejalan dengan temuan rehabilitasi sosial bahwa identitas positif merupakan fondasi utama reintegrasi.
Tanpa rasa percaya diri dan pengakuan sosial, mantan warga binaan akan selalu berada dalam posisi rentan dan mudah terjerumus kembali dalam lingkaran masalah.
Agar tidak berhenti sebagai kisah inspiratif, program semacam ini perlu diuji keberlanjutannya.
Minat awal dari pasar internasional menunjukkan potensi ekonomi yang nyata, tetapi potensi selalu datang bersama risiko.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah sistem pemasyarakatan siap menjaga konsistensi kualitas, volume produksi, dan etika kerja jika permintaan meningkat.
Selain itu, apakah warga binaan akan memperoleh posisi yang adil, dalam rantai nilai atau justru terjebak sebagai tenaga murah, tanpa perlindungan.
Kebijakan Lanjutan
Peluang berkarya di dalam lapas juga harus dihubungkan dengan strategi pasca-pemasyarakatan.
Tanpa jembatan, setelah masa pidana berakhir, kepercayaan diri yang dibangun dapat runtuh ketika berhadapan dengan stigma dan realitas pasar kerja yang keras.
Karena itu, Beyond Beauty perlu dibaca sebagai pintu masuk kebijakan lanjutan.
Seperti, sertifikasi keterampilan yang diakui industri, kemitraan dengan brand fashion nasional, inkubasi usaha, serta skema penyerapan kerja bagi warga binaan yang telah bebas.
Apresiasi terhadap Indonesia Fashion Chamber patut ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas.
Keterlibatan industri, bukan sekadar pelengkap acara, melainkan komponen strategis reformasi pemasyarakatan.
Dunia usaha membawa standar profesional, jejaring, dan logika pasar yang selama ini absen dalam pembinaan lapas.
Ketika standar tersebut dibagikan secara konsisten, warga binaan tidak hanya belajar membuat produk, tetapi juga belajar tentang tanggung jawab, tenggat waktu, dan kualitas kerja.
Program ini sejalan dengan arah reformasi pemasyarakatan serta implementasi nilai-nilai KUHP Baru 2025 yang menekankan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Tantangannya adalah memastikan nilai-nilai itu terwujud dalam praktik yang terukur.
Beyond Beauty berpeluang menjadi model nasional, jika dilengkapi indikator keberhasilan yang jelas.
Seperti keberlanjutan kerja pasca-bebas, peningkatan pendapatan, dan penurunan residivisme. Tanpa ukuran tersebut, reformasi berisiko berhenti pada narasi.
Pada akhirnya, memberi peluang berkarya kepada warga binaan adalah keputusan politik dan moral, sekaligus.
Negara memilih membuka jalan dan menumbuhkan kepercayaan. Industri memilih memberi ruang bagi kualitas yang lahir dari tempat yang sering dipinggirkan.
Masyarakat diajak melihat pemasyarakatan, bukan sebagai ruang akhir, melainkan ruang transisi.
Jika kepercayaan ini dijaga dengan kebijakan yang konsisten dan adil, pemasyarakatan tidak lagi sekadar mengurung kesalahan masa lalu, tetapi menumbuhkan kemungkinan masa depan.***
