KETAPANG, borneoreview.co – Warga negara asing asal China berinisial YH terbukti melakukan penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang. Menurut Kementerian ESDM, YH berhasil menggasak 774 kg emas dan 937 kg perak, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,02 triliun.
Kasus ini bukan pertama kalinya warga China terlibat dalam pertambangan emas di Kalimantan. Sejarah mencatat, aktivitas ini telah berlangsung sejak 300 tahun lalu. Pada 1740, Sultan Mempawah mengundang 20 warga China karena keahlian mereka dalam menambang emas. Kolaborasi ini awalnya menguntungkan kedua belah pihak, hingga mengundang migrasi besar-besaran warga China ke Kalimantan.
Menurut Bondan Winarno dalam Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997), keterampilan dan etos kerja warga China membuat mereka mendapat tempat istimewa. Mereka diberi jaminan keamanan, permukiman, dan peralatan tambang. Dampaknya, perekonomian lokal tumbuh pesat, menarik pedagang Eropa dan Arab ke Kalimantan.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa warga China mulai bertindak di luar batas. Berdasarkan riset Any Rahmayani dalam Montrado 1818-1858: Dinamika Kota Tambang Emas (2015), mereka membentuk 14 organisasi tambang berbasis republik. Organisasi ini menguasai tambang, mencetak uang, hingga memungut pajak, yang memicu konflik dengan kesultanan dan warga lokal.
Pada 1842, salah satu organisasi, Thaikong, terlibat konflik dengan warga Dayak yang berujung pada larangan aktivitas tambang oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu, warga China beralih profesi menjadi pedagang, pengusaha perjudian, hingga pemilik rumah bordil.
Kasus YH menjadi pengingat bahwa praktik eksploitasi tambang yang melibatkan warga asing masih menjadi tantangan serius di Kalimantan hingga kini. Pemerintah diharapkan dapat bertindak tegas untuk melindungi kekayaan alam dan mencegah kerugian negara. (Cnb)