Site icon Borneo Review

Wol, Tekstil dan Industri Berkelanjutan

Domba Kain Wol

Domba yang jadi bahan untuk membuat kain wil. (Ist)

JAKARTA, borneoreview.co – Dalam peta industri tekstil dan perlengkapan interior global. Wol sering kali dianggap sebagai material tradisional.

Namun, wol sudah tergantikan oleh serat sintetis, karena alasan biaya, volume produksi massal, dan efisiensi logistik.

Dalam beberapa tahun terakhir, posisi wol kembali diperhitungkan, terutama dalam konteks ekonomi berkelanjutan.

Serat alami ini menawarkan bukan hanya nilai estetika dan kenyamanan. Juga peluang strategis membangun rantai nilai baru. Yang mengutamakan transparansi, etika, dan efisiensi lingkungan.

Secara historis, industri wol memiliki akar panjang dalam sistem pertanian dan peternakan yang berorientasi lokal.

Produksi wol tidak dapat dilepaskan dari praktik pengelolaan lahan dan ternak yang berkelanjutan, serta keterlibatan komunitas petani dan pelaku UKM di daerah rural.

Namun, yang menarik dalam konteks kontemporer adalah bagaimana industri wol sedang mengalami reindustrialisasi.

Bukan dengan pendekatan masif, melainkan dengan menggarap ceruk pasar yang semakin tumbuh. Yakni, sektor premium yang sadar lingkungan. Seperti, perhotelan, arsitektur interior, dan wellness.

Kondisi ini tercermin dalam kerja sama antara produsen wol dari Selandia Baru, dengan pelaku industri tempat tidur di Indonesia yang diumumkan dalam pameran Food & Hospitality Indonesia 2025.

Kolaborasi ini membawa sejumlah aspek ekonomi yang patut dicermati, mulai dari dinamika rantai pasok lintas negara, peluang substitusi impor bahan sintetis.

Diharapkan, berpotensi mendorong diversifikasi industri manufaktur berbasis bio-material.

Wol yang digunakan dalam kolaborasi tersebut berasal dari lebih dari 200 peternakan etis di kawasan Tairāwhiti, Selandia Baru, dan diproses tanpa bahan kimia keras.

Dalam bahasa ekonomi sumber daya, ini menunjukkan adanya integrasi antara praktik produksi primer (peternakan) dan industri hilir (pengolahan tekstil) yang dilakukan secara vertikal dengan kontrol kualitas tinggi.

Efek ekonomi dari pendekatan ini cukup signifikan, karena menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dengan ekologi minimum footprint.

Itu dua variabel yang semakin menjadi standar global dalam pasar ekspor.

Ekonomi Sirkular

Direktur Operasional Wisewool, Angus Hansen, menyampaikan bahwa wol tidak hanya merupakan bahan terbarukan yang dapat terurai secara alami.

Juga menghindarkan pelepasan mikroplastik seperti yang terjadi pada produk berbahan sintetis.

Dalam konteks ini, produk berbasis wol dapat masuk ke dalam skema ekonomi sirkular, yang semakin banyak diadopsi oleh negara-negara maju dan pasar konsumen muda.

Artinya, ada peluang nyata untuk menjadikan wol sebagai komoditas unggulan dalam kategori produk hijau.

Yang dalam jangka panjang dapat membuka akses ke pasar global dengan regulasi lingkungan yang ketat.

Bagi Indonesia, kolaborasi ini membuka ruang untuk melakukan transformasi industri tempat tidur dan tekstil rumah tangga melalui pendekatan baru berbasis bahan alami.

Selama ini, sebagian besar produk matras dan tekstil domestik masih mengandalkan material busa, lateks sintetis, atau plastik.

Selain bergantung pada bahan baku impor juga memiliki dampak lingkungan cukup besar dalam proses daur ulangnya.

Penggunaan wol bisa menjadi titik masuk untuk memperkuat ekosistem produksi nasional yang lebih resilien.

Hal itu, terutama jika suatu saat Indonesia dapat mulai membangun kembali sistem peternakan wol sendiri di wilayah-wilayah dataran tinggi.

Selain itu, kolaborasi seperti ini menciptakan efek demonstratif terhadap industri lokal bahwa permintaan terhadap produk dengan narasi keberlanjutan terus meningkat.

Terutama dari sektor perhotelan dan hospitality kelas atas yang ingin menyelaraskan citra mereka dengan nilai-nilai ramah lingkungan.

Dalam jangka panjang, ini dapat menggeser struktur permintaan industri dari sekadar efisiensi biaya menuju nilai yang lebih kompleks mencakup dampak sosial, jejak karbon, dan umur pakai produk.

Dalam lanskap industri yang mulai menaruh perhatian serius pada prinsip keberlanjutan ini, penggunaan wol alami kembali menemukan relevansinya, termasuk di sektor perhotelan.

Teguh Budiman, Direktur Utama produsen tempat tidur yang banyak digunakan dalam industri perhotelan di Indonesia.

Pihaknya, merespons tren ini dengan memanfaatkan 100 persen wol alami, sebagai material utama untuk lini tempat tidur terbaru mereka.

Hal itu, seraya memastikan proses produksinya minim dampak lingkungan.

Menurutnya, inovasi berbasis material alami seperti wol merupakan bagian dari tanggung jawab industri dalam mendefinisikan ulang kenyamanan sekaligus menjaga komitmen ekologis.

Ekonomi Hijau

Sementara itu, dari sisi perdagangan internasional, adanya rantai pasok wol alami ke Indonesia.

Juga dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika hubungan bilateral yang berbasis ekonomi hijau.

Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, Phillip Taula, dalam sambutannya menyebut, kolaborasi seperti ini mencerminkan semangat kerja sama.

Yang tidak hanya berbasis volume perdagangan, tetapi pada nilai tambah keberlanjutan, dan bisa dikapitalisasi secara bersama.

Ini memberi isyarat bahwa arah diplomasi ekonomi masa depan akan semakin ditentukan oleh kesamaan komitmen terhadap lingkungan dan tanggung jawab rantai pasok, bukan hanya tarif dan kuota.

Dari sisi struktur industri, keberadaan produk berbasis wol dalam rantai pasok perhotelan juga membuka peluang investasi baru di bidang pemrosesan material alami, logistik suhu rendah, dan desain interior berbasis bio-material.

Inovasi yang lahir dari kebutuhan keberlanjutan ini bisa menjadi basis untuk menciptakan industri perintis yang tidak berbasis volume besar.

Juga pada presisi, rekayasa bahan, dan orientasi pasar kelas menengah atas.

Ini adalah peluang penting dalam ekonomi pascapandemi, ketika daya beli konsumen tumbuh bersamaan dengan kepekaan terhadap keberlanjutan.

Namun demikian, perlu dicermati pula bahwa bahan alami seperti wol memiliki tantangan tertentu, terutama dalam hal skala produksi, biaya transportasi, dan kebutuhan edukasi pasar.

Kelembagaan industri wol harus kuat, baik dari sisi standardisasi kualitas, sertifikasi keberlanjutan, maupun sistem logistik rantai dingin yang dapat menjaga integritas produk.

Dalam konteks ini, intervensi negara melalui riset, insentif bahan baku, atau pengembangan peternakan wol lokal, bisa menjadi strategi jangka panjang yang mendukung pengembangan industri ini secara lebih mandiri dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, industri wol mencerminkan perubahan arah ekonomi material global. Dari produksi masif menuju produksi cerdas.

Dari seragam menjadi presisi. Dari pendekatan eksploitatif menuju regeneratif.

Dalam bayang-bayang krisis iklim dan ketidakpastian rantai pasok global, bahan-bahan alami seperti wol tak lagi sekadar peninggalan masa lalu, melainkan membuka peluang bagi masa depan.

Terlebih jika bangsa ini mampu membacanya dengan kacamata strategis dan kepentingan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.(Ant)

Exit mobile version