Hapus Stigma Nikel Kotor, IMI Ajak Perusahaan Tambang Adopsi Teknologi Bersih

nikel

JAKARTA, borneoreview.co – Chairman Indonesia Mining Institute (IMI), Irwandy Arif, mengajak perusahaan tambang di sektor nikel untuk mengadopsi teknologi bersih.

Maksudnya, teknologi bersih dan berkelanjutan itu untuk menghapus stigma dirty nickel atau nikel kotor.

Pasalnya, stigma dirty nickel atau nikel kotor masih menjadi tantangan dalam hilirisasi nikel Indonesia.

“Penggunaan electric vehicle juga disebut bisa mengurangi biaya operasional tambang, bahkan bisa sampai 30 persen,” ujar dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Ia juga mendesak perusahaan tambang untuk mulai memanfaatkan alat tambang rendah emisi, seperti penggunaan bahan bakar nabati (BBN) untuk alat berat.

Menurut dia, penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) tidak hanya mendorong pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi daya tarik utama bagi investor global.

“ESG ini satu-satunya senjata kita supaya diterima di (pasar) Eropa atau Amerika,” ujar dia.

Stigma dirty nickel atau nikel kotor masih menjadi tantangan dalam hilirisasi nikel Indonesia. Tudingan ini berakar dari kekhawatiran terhadap dampak lingkungan operasi industri, mulai dari penambangan hingga pengolahan.

Untuk menangkal stigma tersebut, para pemangku kepentingan industri mendorong perbaikan tata kelola dengan menerapkan prinsip pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth), yang mencakup praktik penambangan yang baik (good mining practice) dan inovasi dalam pengelolaan limbah.

Oleh karena itu, selain melalui penerapan prinsip ESG, ia juga menekankan bahwa mewujudkan good mining practice langkah kunci mengatasi stigma nikel kotor.

Menurut dia, praktik ini menyangkut tiga tahap yang saling tumpang tindih, berkaitan, dan tidak bisa dinegosiasikan.

“Untuk disebut menerapkan good mining, pelaku usaha harus memastikan seluruh tahapan berjalan tanpa mengabaikan penyelidikan umum, studi kelayakan, hingga proses pemulihan pasca-tambang,” ujar dia.

Ia menjelaskan seluruh tahapan tersebut wajib mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, keselamatan kerja, konservasi sumber daya, hingga program tanggung jawab sosial perusahaan.

Kegiatan tambang juga harus dilandasi kepatuhan hukum dan keterbukaan informasi kepada publik.

“Sepertinya perusahaan menengah ke atas sebagian besar sudah menerapkan. Tetapi harus dipertanyakan pertambangan menengah ke bawah atau yang kecil,” kata dia.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *