JAKARTA, borneoreview.co – Barangkali tak banyak di Indonesia, perempuan yang memilih menjadi entomolog atau ahli serangga.
Damayanti Buchori merupakan pengecualian. Ketertarikannya akan serangga, bermula dari hobinya membaca koran saat duduk di bangku sekolah dasar.
Saat itu, ia membaca sebuah artikel di sebuah koran tentang hama wereng yang menyerang sawah.
“Saya mikir apa itu hama wereng? Terus ada yang mengatakan ini terjadi karena adanya hama baru di Indonesia, yang sebelumnya tidak ada,” kata Damayanti, saat ditemui di Bogor, beberapa waktu lalu.
Rupanya sejak kecil, rasa penasaran Damayanti cukup tinggi. Apa sih hama baru? Kenapa mereka dibilang hama baru?” begitu pikirnya.
Dari hasil penelusurannya, ia mengetahui bahwa wereng bukanlah hama yang benar-benar baru.
Cuma karena adanya perubahan ekologi atau lingkungan yang menyebabkan munculnya hama itu. Berangkat dari hal itu, ia mulai tertarik dengan ekologi.
Minatnya akan ekologi membuatnya melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) selepas SMA.
Ia memutuskan mengambil program studi hama dan proteksi tanaman. Alasannya sederhana, karena ia ingin belajar lingkungan dan ingin memiliki pembeda dengan yang lain atau antimainstream.
Lagi pula pada program studi itu, ia mempelajari serangga yang membuatnya tertarik pada bidang lingkungan.
Pendidikan magister dilanjutkan di University of Illinois at Urbana Champaign Amerika Serikat pada program studi enotomologi dengan fokus pada kedelai.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB itu melanjutkan pendidikan Indiana University di Bloomington, Amerika Serikat pada 1993, dengan fokus pada serangga yang berguna bagi pertanian.
Ia tertarik untuk menekuni serangga berguna, terutama yang bisa mengatasi serangga hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi.
“Nah, waktu studi S3, saya kemudian terjun pada riset mengenai serangga berguna,” kenangnya.
Peneliti kancah global itu menjelaskan, bahwa ada beberapa kategori serangga berguna. Tapi yang umumnya terkait dengan serangga hama, adalah dua jenis serangga berguna. Yakni, predator dan parasitoid.
Ia kemudian menekuni parasitoid yang ketika itu belum banyak dikenal masyarakat. Berbeda dengan predator, yang langsung “menyerang dan membunuh hama”.
Parasitoid itu “impostoraak” dalam game Among Us yang menyerang musuh dari dalam.
Parasitoid merupakan serangga yang bentuknya kecil dengan ukuran seperti semut, tapi memiliki manfaat luar biasa.
Parasitoid diibaratkan “pahlawan mungil” bagi petani, karena membantu petani mengatasi hama secara alami.
Uniknya, parasitoid meletakkan telurnya di dalam tubuh ulat. Saat telur menetas, maka akan memakan tubuh “inangnya” (ulat) dari dalam sampai inangnya atau ulat tadi mati.
Dengan kata lain, parasitoid seperti layaknya pembunuh alami yang membantu mengurangi populasi hama tanpa bahan kimia.
Peraih penghargaan International Conservation Scientist Award pada 2006 dari Wildlife Trust, New York itu memberi contoh salah satu serangga yang menjadi hama tanaman.
Yaitu, ngengat (moth) yang masuk ke dalam ordo Lepiodptera dan aktif di malam hari.
Parasitoid biasanya menyerang ngengat yang masih dalam fase larva, dengan cara meletakkan telur ke dalam tubuh larva.
Pelan-pelan membunuh larva dari dalam, sehingga larva ngengat tersebut tidak bisa berkembang menjadi ngengat dewasa.
Inilah cara parasitoid mengurangi populasi hama di lapangan.
Ia mempelajari serangga berguna. Yang secara alami memang sudah mempunyai tugas untuk menyerang hama-hama pemakan tanaman.
Kemampuan parasitoid untuk menyerang hama tanaman dan meletakkan telurnya dalam larva (ulat-ulat) pemakan tanaman, membuat ulat-ulat tadi mati.
Jadi, kalau orang mau menoleh dan belajar dari alam, sebenarnya alam itu sudah punya jawaban, atas permasalahan manusia.
“Kita tidak perlu pakai pestisida, asal keseimbangan itu ada,” imbuh dia.
Dengan kata lain, serangga memiliki peranan penting dalam pertanian berkelanjutan.
Saat petani menggunakan pestisida, tidak hanya membunuh hama, tetapi membuat predator dan juga hama menjadi mati.
Padahal menurut riset lintas negara yang dilakukannya, keberagaman memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Dapat Penghargaan
Damayanti mendapatkan penghargaan Frontiers Planet Prize. Ketika itu, ia melakukan riset bersama Prof Purnama Hidayat, terkait perubahan tata guna lahan dan keanekaragaman hayati di Jambi.
Riset itu merupakan bagian dari riset internasional, mengenai pengembangan sistem pertanian terpadu.
Temuan studi menunjukkan bahwa penerapan sistem pertanian yang terpadu, akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Aspek sosial diukur mulai dari ketahanan pangan, kesejahteraan dan pendapatan.
Riset itu melihat perubahan tata guna lahan dan keanekaragaman hayati pada perkebunan sawit, kerap dikonotasikan dengan erosi, kekeringan dan kehilangan keanekaragaman.
Salah satu keunikan dari riset yang dilakukan di Jambi, adalah, dibangunnya “pulau ekologis” sebagai sistem agroforestri untuk sawit.
Yaitu, ditanamnya beberapa jenis pohon. Seperti, sungkai, jelutung, meranti, durian, jengkol, dan pete. Pohon itu ditanam di antara perkebunan sawit.
Riset ini adalah riset besar yang dilaksananan oleh IPB bersama-sama Universitas Jambi, Universitas Tadulako dan Goetingen University, serta melibatkan ratusan peneliti selama 12 tahun.
“Fokus dari riset pulau ekologis adalah, bagaimana meningkatkan keanekaragaman di tengah lahan sawit,” katanya.
Pada “pulau ekologis” tersebut diteliti keanekaragaman serangga yang muncul, ketika dilakukan diversifikasi tanaman.
Ternyata, serangga yang muncul pun beragam dan dapat berfungsi sebagai musuh alami hama.
Hasilnya, semakin beragam maka semakin baik dan menguntungkan bagi pendapatan.
Produksi panennya meningkat, pendapatan masyarakat bertambah. Aspek sosial juga diukur.
Dengan kata lain, kehidupan petani menjadi lebih baik dengan tidak menggunakan pestisida.
“Lingkungan pun semakin sehat,” kata Direktur Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin (CTSS) IPB Bogor tersebut.
Pada Agustus lalu, Damayanti meraih penghargaan juara internasional dalam edisi ke-3 Frontiers Planet Prize terkait riset lintas negara yang mengambil data 24 studi kasus dari 11 negara, salah satunya Indonesia.
Fokus dari riset tersebut, adalah untuk mempelajari pengaruh dari lima strategi diversifikasi dalam pertanian.
Yakni, diversifikasi ternak, jenis tanaman pertanian, pengelolaan lahan, penanaman tanaman non- pertanian (non crop plants), dan konservasi air.
Hasil studi lintas negara ini menunjukkan bahwa penerapan diversifikasi sistem pertanian akan mempunyai dampak positif pada lingkungan (keanekaragaman, layanan ekosistem dan eksternalitas lingkungan yang berkurang) dan relasi sosial (kesejahteraan, produksi dan ketahanan pangan).
Untuk studi kasus di Indonesia, data yang dilibatkan adalah hasil penelitian keanekaragaman serangga. Yang diteliti pada lahan kebun karet, dan kebun kelapa sawit.
Penghargaan bergengsi tersebut, memberikan insentif sebesar 1 juta USD kepada proyek sains paling inovatif yang memberikan solusi nyata bagi keberlanjutan bumi.
Frontiers Planet Prize diselenggarakan Frontiers Research Foundation, bertujuan mendorong dan mengakselerasi penelitian sains yang berdampak langsung terhadap keselamatan planet.
Diversifikasi sistem pertanian, sudah dicontohkan oleh para leluhur dan dilakukan secara turun menurun.
Dulu, di lingkungan rumah selain memiliki kolam ikan, beternak ayam dan kambing, juga menanam tanaman lain seperti sayur-sayuran, tanaman obat, buah-buahan hingga pohon jati.
Namun, Revolusi Hijau ala Orde Baru mengubah pola pikir menjadi monokultur.
“Padahal sebenarnya kemunduran dengan adanya Revolusi Hijau, karena fokus pada produksi saja tetapi mengesampingkan aspek lain,” cetus dia.
Dari studi ini, terbukti bahwa keberagaman itu meningkatkan “livelihood” atau penghidupan, yang tidak bisa dinilai hanya dari sekadar materi.
Kemandirian atas pangan menjadi faktor kunci dalam kesejahteraan (livelihood) yang sering terlupakan.
Kemandirian karena berdaulat atas pangan, saat memetik kelapa atau mencabut singkong dari kebun sendiri, selama ini sering tidak dihitung sebagai pendapatan.
Kemandirian ini memberikan rasa security (aman) dan kebahagiaan tersendiri yang tidak selalu bisa dimonetisasi.
Temuan studi itu juga menjustifikasi kebiasaan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, bahwa diversifikasi pertanian merupakan contoh keberlanjutan.
Maka tak heran, ia menyebut Indonesia seharusnya pusat percontohan dunia untuk keberlanjutan.
Ke depan, ia berharap pemerintah sebagai pembuat regulasi mampu membuat kebijakan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Tidak hanya fokus pada kesejahteraan manusia, tetapi juga non-manusia.
Pasalnya jika non-manusianya hilang, maka lambat laun manusia pun bisa lenyap.
Ia menegaskan lagi, manusia tidak bisa mengembalikan aspek nonmanusia, seperti harimau Jawa yang sudah punah, misalnya.
“Tetapi kita bisa menyelamatkan yang masih tersisa, atau melakukan restorasi pada lingkungan yang rusak dengan menanam pepohonan yang asli,” kata anggota Asia Impact Leaders Forum (AILN)- Asia Venture Philanthropy Network (AVPN) tersebut.***