Ekspansi Sawit di Kalimantan Barat: Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ancaman Deforestasi

PONTIANAK, borneoreview.co – Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi penghasil perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Menurut data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, luas perkebunan sawit di Kalimantan Barat mencapai lebih dari 1,7 juta hektare pada tahun 2023. Sebagian besar ekspansi sawit ini terjadi di kabupaten Ketapang, Sanggau, dan Sintang.

Ekspansi sawit di Kalimantan Barat telah menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi lokal. Selain menciptakan lapangan kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja, sektor perkebunan kelapa sawit juga mendorong pembangunan infrastruktur seperti jalan dan fasilitas umum di daerah terpencil. Sumbangsih sektor ini terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi juga tidak dapat diabaikan.

Namun, di balik geliat ekonomi tersebut, ekspansi sawit di Kalimantan Barat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan. Ancaman terbesar adalah deforestasi, konflik lahan, serta kerusakan ekosistem yang mempengaruhi keberlanjutan lingkungan di wilayah tersebut.

Menurut laporan Global Forest Watch (2024), Kalimantan Barat kehilangan tutupan hutan sekitar 84 ribu hektare setiap tahun dalam satu dekade terakhir. Mayoritas kehilangan ini disebabkan oleh konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Daerah seperti Ketapang, Kapuas Hulu, dan Landak menjadi titik utama deforestasi akibat ekspansi sawit.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung atau wilayah dengan status ekosistem esensial. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kurangnya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dalam praktik industri sawit.

Laporan Auriga Nusantara mengungkap bahwa banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat beroperasi dengan izin bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah adat maupun kawasan konservasi. Akibatnya, terjadi penurunan biodiversitas dan ancaman terhadap satwa endemik seperti orangutan Kalimantan dan burung enggang gading.

Meskipun beberapa perusahaan sawit di Kalimantan Barat telah bergabung dalam skema keberlanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran masih sering terjadi. Hal ini menghambat transisi menuju industri sawit berkelanjutan.

Organisasi seperti Sawit Watch dan WALHI Kalbar terus menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah. Mereka juga menyoroti kurangnya partisipasi masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, dalam proses perizinan ekspansi sawit. Dalam banyak kasus, lahan adat diklaim tanpa kompensasi, yang memicu konflik lahan yang berkepanjangan.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN menggulirkan program evaluasi izin perkebunan sawit. Program ini menjadi langkah awal dalam memperbaiki tata kelola lahan, mengoptimalkan penggunaan HGU, dan mengembalikan wilayah adat yang diambil secara sepihak.

Inisiatif lokal juga mulai berkembang. Di Kalimantan Barat, langkah seperti penetapan hutan adat di wilayah Dayak Iban dan Dayak Kantuk di Kapuas Hulu menjadi contoh positif dalam melindungi hutan serta mengurangi konflik lahan.

Ekspansi sawit di Kalimantan Barat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, membuka peluang ekonomi bagi masyarakat dan daerah tertinggal. Namun di sisi lain, tanpa pengawasan dan kebijakan yang tegas, ekspansi sawit justru mempercepat deforestasi, merusak ekosistem, dan memperparah ketimpangan sosial.

Solusi ke depan adalah melalui reformasi kebijakan lahan, penegakan hukum lingkungan, serta penguatan hak masyarakat adat. Langkah-langkah ini penting untuk membentuk industri sawit berkelanjutan yang adil, inklusif, dan menjaga keberlanjutan lingkungan di Kalimantan Barat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *