MENTAWAI, borneoreview.co – Bidan Ilen mengembangkan payungnya, melangkahi jalan rabat beton dari dusun ke dusun.
Bidang Ilen naik-turun perbukitan, untuk menghampiri rumah warga yang meminta diperiksa kesehatannya.
Ia harus menempuh jarak sekitar setengah hingga dua kilometer, menuju rumah warga yang tidak mampu datang ke pondok bersalin desa (Polindes) yang ditempatinya sekaligus tempat praktiknya.
Hari itu Ilen mendatangi rumah seorang Lansia yang kerap disapa Teteu Lumang di Dusun Matektek untuk memeriksa kondisi kesehatan sang pasien.
Sebelumnya Ilen sudah menyarankan kepada keluarga Teteu Lumang agar Lansia tersebut segera dirujuk ke puskesmas, tapi saat Ilen kembali datang hari itu, ternyata Teteu akan diobati oleh Sikerei (dukun tradisional Mentawai).
“Biasanya, sebelum diobati secara medis oleh petugas kesehatan, warga di sini memanggil Sikerei dulu, karena kepercayaan orang di sini kuat terhadap Sikerei,” kata Bidan Ilen.
Ilen yang bernama asli Candra Kirana itu sudah 10 tahun menjadi bidan honor di Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Pada tahun 2024 ia baru diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Akses di sini susah, kalau mau ke pusat kecamatan harus naik pompong, lalu naik becak atau naik ojek,” katanya.
Kalau masyarakat harus dirujuk, itu makin susah, kadang warga tidak mau karena biayanya besar. Kalau ada yang melahirkan, kadang bisa mereka melahirkan sendiri, tidak perlu panggil kami karena akses yang sulit.
“Tiba-tiba sudah lahir saja, ya sudah yang penting selamat,” jelas Ilen.
Desa Matotonan berjarak hanya sekitar 44,4 kilometer dari pusat kecamatan di Muara Siberut dengan perkiraan waktu tempuh sekitar satu jam jika melewati jalur darat normal.
Namun, apa mau dikata, karena desa itu merupakan daerah pedalaman, maka perjalanan ke sana tidak dapat ditempuh sesuai ekspektasi.
Dari Muara Siberut, warga yang ingin kembali ke desa harus melewati jalur darat Trans Mentawai menggunakan motor atau mobil sekitar 1,5 jam.
Kondisi jalan sekitar 5 kilometer rusak berat dengan jalan tanah yang bergelombang, sisanya jalan rabat beton dan kerikil.
Sampai di Desa Ugai, perjalanan dilanjutkan dengan pompong atau sampan panjang bermesin dompeng sekitar dua jam menyusuri sungai Sarereiket. Durasi tempuh akan bertambah saat air sungai dangkal.
Perjalanan ke dusun lain di Matotonan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau menaiki motor.
Desa Matotonan sendiri terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Kinikdog, Dusun Matektek, Dusun Maruibaga, Dusun Onga dan Dusun Mabekbek.
Bidan Ilen adalah satu dari dua bidan yang bertugas di Matotonan. Ia ditempatkan di Dusun Onga.
Ia tidak hanya bertugas membantu ibu hamil melahirkan saja, tapi juga masyarakat yang berobat dan layanan kesehatan lain.
Satu bidan lagi, bidan Siska, ditempatkan di Dusun Kinikdog dan baru pindah satu bulan dari Desa Madobag.
Selain akses yang sulit, para bidan di pedalaman juga mengakui bahwa fasilitas kesehatan dan obat-obatan di sana minim.
Bidan Siska pindah dari Desa Madobag membawa keluarganya ke Desa Matotonan dan ditempatkan di rumah sosial terbuat dari kayu.
Rata-rata- rumah di pedalaman Mentawai memang masih berupa rumah panggung berbahan kayu.
Siska bersama suami dan anaknya harus merenovasi sendiri rumah mereka agar layak ditinggali sekaligus menjadi tempat praktek melayani masyarakat.
Awal mula bertugas di Matotonan, Siska langsung mendapat panggilan berobat dari tempat yang jauh dan mau tidak mau ia menjalani tugasnya itu dengan tulus.
“Pertama pindah ke sini, saya dapat panggilan berobat dari warga, saya harus berjalan kaki jauh, naik-turun melewati bukit,” kata Siska.
Pulang dari sana malah saya yang demam, jadi beban pikiran dan stres. Tapi sekarang saya mulai terbiasa.
Menurut Siska, fasilitas kesehatan yang ia miliki juga terbatas dan tidak lengkap, bahkan fasilitas dasar seperti tempat tidur periksa, alat pengukur tensi, dan stetoskop pun belum ia memiliki.
Jika ada warga yang berobat, ia melayaninya di teras rumah yang sekelilingnya dibuatkan tempat duduk serupa rumah tradisional Mentawai dengan satu meja kayu.
Di situ, Siska akan memeriksa denyut nadi warga secara manual menggunakan tangan.
“Kalau ada orang yang sesak napas, bingung saya mau kasih obat apa, oksigen pun tidak ada di sini. Kadang kalau ada pasien darurat yang butuh oksigen, kami minta rujuk saja langsung ke Puskesmas,” kata Siska.
Kalau ada pasien darurat tengah malam, kendala akan bertambah karena listrik di saat itu sudah tidak menyala.
Tenaga listrik yang disediakan PLN melalui mesin diesel bisa digunakan mulai sore hari hingga tengah malam.
Selepas waktu itu kondisi desa akan gelap gulita tanpa penerangan kecuali yang menggunakan lampu darurat. Pagi dan siang hari warga dapat memanfaatkan listrik tenaga surya yang kapasitasnya tergantung cuaca.
Penambahan Nakes
Ilen dan Siska harus berkolaborasi agar upaya menjaga kesehatan warga di Desa Matotonan berkelanjutan.
Jika Ilen sedang pergi ke pusat kecamatan, Siska harus siaga jika ada warga berobat atau dalam kondisi darurat, begitu juga sebaliknya.
Tentu saja jumlah tenaga kesehatan yang hanya dua orang itu jauh dari ideal untuk melayani sebuah desa.
Kepala Puskesmas Sarereiket, Malaikat, mengatakan, Puskesmas menambahkan dua tenaga kesehatan baru untuk ditempatkan di Desa Matotonan.
Puskesmas menambah dua perawat lagi untuk ditempatkan di desa ini, tujuannya agar tenaga kesehatan di sini.
“Saat mereka keluar desa, tidak terjadi kekosongan sehingga pelayanan kesehatan tetap berjalan,” kata Malaikat yang pagi itu mendampingi kedua perawat tersebut, bersama seorang dokter untuk melakukan imunisasi yang digelar sebulan sekali di balai adat Desa Matotonan.
Saat ini, jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Kepulauan Mentawai sebanyak 705 orang yang terdiri atas 361 PNS dan 344 PPPK
Jumlah tersebut masih jauh dari kata ideal karena Mentawai masih kekurangan dokter gigi, dokter umum, tenaga gizi. dan tenaga laboratorium.
Sementara itu, Puskesmas Sarereiket memiliki 28 tenaga kesehatan, meliputi 6 PNS dan 22 PPPK yang juga tersebar di Desa Rogdok, Madobag, Ugai, dan Matotonan dengan satu orang dokter umum.
Desa Matotonan dihuni sekitar 327 jiwa yang seluruhnya memiliki BPJS kesehatan sehingga mereka bisa berobat dan mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis meskipun berada di pelosok desa.
Data BPJS Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai menyebutkan, capaian peserta jaminan kesehatan di daerah itu sebanyak 98,95 persen dari total 96.570 jiwa.
Bagi yang tidak mampu, warga bisa mendapatkan bantuan iuran untuk BPJS kesehatan dari Pemerintah Provinsi Sumbar dengan kuota 11 ribu orang, dan Pemkab Mentawai dengan kuota sebanyak 7.157 orang.
Namun, Kepala BPJS Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sanugrah Pangabean mengakui, untuk pelayanan melalui Mobile JKN ada beberapa desa yang kesulitan jaringan internetnya sehingga tidak bisa digunakan.
Pada beberapa desa yang sulit sinyal internetnya, bukan berarti tidak melakukan secara daring. Pihaknya tetap melakukan pelayanan melalui pesan WhatsApp.
“Biasanya dari faskes yang akan membantu koordinasi dengan kita untuk daftarkan warga yang akan berobat,” kata Sanugrah.
Warga yang berobat cukup membawa kartu BPJS kesehatan atau memberikan nomor JKN atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan akan diinput secara manual, karena terkadang warga tidak membawa kartu fisik, katanya.
Hal itulah yang dirasakan Ilen, saat warga desa lupa membawa kartu BPJS. Bidan Ilen hanya meminta warga datang kembali untuk mengantarkan kartu BPJS-nya yang tertinggal di rumah.
Kemudian, Ilen melanjutkan kegiatan sehari-hari di rumah yang sekaligus menjadi tempat prakteknya itu.
Kisah Ilen dan Siska bukanlah sekadar cerita tentang pelayanan kesehatan. Ia adalah potret ketangguhan, dedikasi, dan harapan yang terus berjalan meski terpatah-patah oleh jarak dan keterbatasan.
Matotonan mungkin jauh di peta, tapi suara mereka yang digaungkan lewat tindakan Ilen dan Siska, menyerukan bahwa hak atas kesehatan tidak boleh bergantung pada letak geografis.
Di ujung negeri, harapan juga butuh pintu, dan bidan-bidan itulah yang menjaga pintu itu tetap terbuka.(Ant)