PONTIANAK, borneoreview.co – Ketika angka kemiskinan nasional perlahan turun, kita seakan menemukan secercah harapan, ditengah dinamika sosial-ekonomi yang tidak mudah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional mencapai 8,47 persen.
Angka itu lebih rendah dibandingkan 9,03 persen pada Maret 2024. Angka ini sekaligus merupakan catatan terendah, sepanjang satu dekade terakhir.
Hanya saja, di balik capaian positif itu, ada dinamika yang perlu dicermati lebih dalam.
Yaitu, penurunan kemiskinan di daerah perkotaan yang cenderung lebih lambat, dibandingkan daerah perdesaan.
Selama periode September 2020 hingga Maret 2025, angka kemiskinan perkotaan turun dari 7,88 persen menjadi 6,73 persen. Atau, hanya berkurang 1,15 poin persentase.
Sementara di perdesaan, angka kemiskinan turun lebih cepat, dari 13,20 persen menjadi 11,03 persen. Atau, berkurang 2,17 poin persentase.
Fakta ini menegaskan, wajah kemiskinan perkotaan memiliki kompleksitas tersendiri. Yang tidak bisa hanya dijawab dengan pendekatan konvensional.
Agaknya, kemiskinan di perkotaan berkaitan erat dengan urbanisasi. Di Indonesia, urbanisasi berkembang pesat dalam tujuh dekade terakhir.
Jika pada tahun 1950, hanya sekitar 15 persen penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan. Kini, lebih dari separuh populasi tinggal di perkotaan.
Fenomena ini membawa implikasi ganda. Di satu sisi, kota menawarkan akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang relatif lebih baik dibanding perdesaan.
Namun, di sisi lain, urbanisasi yang tidak terkendali memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru di wilayah kumuh. Ada kondisi sanitasi buruk. Keterbatasan air bersih. Kepadatan hunian yang tidak sehat.

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, pada 2022, sekitar 24,8 persen populasi urban dunia masih tinggal di kawasan kumuh. Angka yang hanya turun tipis dari 25 persen pada 2015.
Di Indonesia, meski akses air bersih dasar di perkotaan sudah mencapai 97,6 persen dan sanitasi dasar 91,6 persen, namun akses terhadap sistem pembuangan limbah yang layak masih sangat terbatas.
Yakni, hanya sekitar 2 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa, kualitas hidup penduduk dalam kondisi kemiskinan kota masih jauh dari memadai.
Lebih jauh, persoalan urbanisasi dan kemiskinan ini, tidak bisa dilepaskan dari harga tanah dan properti di kota-kota besar yang terus melambung.
Banyak keluarga miskin tidak mampu membeli, atau menyewa hunian layak. Mereka terpaksa tinggal di rumah petak sempit, atau permukiman informal.
Situasi ini kian pelik, karena lapangan kerja formal di perkotaan juga tidak bertambah, secepat laju migrasi penduduk.
Akibatnya, banyak warga miskin kota yang menggantungkan hidup pada sektor informal. Seperti berdagang kaki lima atau menjadi pekerja harian lepas.
Mereka rentan kehilangan pendapatan sewaktu-waktu, alias terkurung dalam kondisi kemiskinan.
Pertumbuhan penduduk perkotaan tanpa perencanaan inklusif, juga memperlebar jurang ketimpangan. Kemiskinan perkotaan seringkali berbeda wajah dengan kemiskinan perdesaan.
Jika di perdesaan kemiskinan identik dengan keterbatasan aset lahan dan rendahnya produktivitas pertanian.
Di kota, kemiskinan lebih banyak terkait dengan tingginya biaya hidup, akses perumahan layak, maupun ketersediaan transportasi publik.
Tidak jarang, keluarga miskin perkotaan tinggal di wilayah bantaran sungai yang rawan banjir, atau di gang sempit yang sulit dijangkau layanan kesehatan.
Tanpa perumahan terjangkau dan sistem transportasi publik yang efisien, perkotaan bukan ruang peluang, tapi bisa menjadi jebakan bagi penduduk miskin.
Kondisi ini menegaskan pentingnya menautkan agenda pengentasan kemiskinan (SDGs 1), dengan pembangunan kota berkelanjutan (SDGs 11).
Jika dicermati lebih jauh, SDGs 1 menargetkan berakhirnya segala bentuk kemiskinan di mana pun.
Sedangkan SDGs 11, menekankan pentingnya menjadikan kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Keduanya tidak bisa dipandang terpisah. Kota berkelanjutan adalah prasyarat untuk mengurangi kemiskinan perkotaan. Pada saat yang sama, pengurangan kemiskinan akan memperkuat ketahanan kota.
Sebagai contoh, keberadaan transportasi massal yang terintegrasi, bukan hanya memudahkan mobilitas pekerja.
Juga menurunkan biaya transportasi harian. Yang biasanya menyedot porsi besar dari pendapatan masyarakat miskin kota.
Begitu pula, ketersediaan ruang terbuka hijau dan fasilitas umum yang inklusif, dapat menjadi “penyeimbang sosial”.
Yang memberi kesempatan bagi warga miskin untuk menikmati kualitas hidup lebih baik, tanpa biaya besar.
Dengan kata lain, keberlanjutan kota harus dipahami sebagai strategi kesejahteraan, bukan sekadar agenda lingkungan.
Integrasi kebijakan kedua tujuan global ini akan menghasilkan dampak ganda yang signifikan.
Pembangunan infrastruktur publik yang berkualitas, penyediaan perumahan layak, serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, bukan hanya meningkatkan kualitas hidup. Juga mendorong mobilitas sosial kelompok miskin.
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyinergikan antara agenda SDGs 1 dan SDGs 11.
Inovasi kota cerdas (smart city), misalnya, dapat menjadi instrumen untuk mengintegrasikan data sosial-ekonomi dengan perencanaan tata ruang.
Jakarta smart city adalah contoh, bagaimana data publik dapat dipakai untuk merencanakan transportasi, memantau kualitas udara, hingga merancang program perlindungan sosial.
Data yang terbuka dan terintegrasi, memungkinkan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Selain itu, data yang berkualitas adalah fondasi kebijakan yang efektif. Tanpa data, kita hanya menebak-nebak dalam kegelapan.
Namun, penerapan konsep kota cerdas seringkali masih menghadapi kendala, terutama dalam hal kesenjangan digital.
Warga miskin yang tidak memiliki akses internet atau perangkat digital, berisiko tertinggal dalam sistem layanan publik berbasis teknologi.
Karena itu, transformasi digital kota harus berjalan seiring dengan upaya memperluas inklusi digital. Sehingga semua warga, tanpa terkecuali, bisa memperoleh manfaatnya.
Tantangan berikutnya adalah pembiayaan. Kota membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur publik. Sementara sumber daya fiskal pemerintah, seringkali terbatas.
Karena itu, diperlukan skema pembiayaan inovatif yang memadukan anggaran sosial dengan investasi kota.
Misalnya, proyek pembangunan transportasi massal, dapat disinergikan dengan program pengentasan kemiskinan melalui subsidi tiket bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Begitu pula pembangunan perumahan layak, dapat digabungkan dengan skema bantuan sosial, untuk kelompok rentan.
Melalui pendekatan seperti ini, setiap rupiah anggaran tidak hanya menghasilkan manfaat tunggal. Juga efek ganda, yaitu mengurangi kemiskinan, sekaligus memperkuat keberlanjutan kota.
Selain itu, partisipasi masyarakat harus menjadi fondasi dalam perencanaan kota. Kota yang berkelanjutan, tidak bisa dibangun hanya dari meja birokrat atau investor.
Perencanaan kota harus melibatkan suara mereka yang sehari-hari hidup, di tengah keterbatasan.
Perencanaan partisipatif memungkinkan masyarakat menyampaikan kebutuhan yang paling mendesak. Mulai dari akses air bersih, penerangan jalan, hingga fasilitas pendidikan dasar.
Tanpa keterlibatan warga, pembangunan kota berisiko melahirkan kebijakan yang bagus di atas kertas, tapi jauh dari realitas di lapangan.
Kemajuan dalam menurunkan angka kemiskinan nasional patut diapresiasi. Tapi jika kita abai terhadap kemiskinan perkotaan, capaian itu bisa kehilangan momentum.
Setiap kebijakan pembangunan kota yang abai pada kelompok rentan, pada dasarnya memperlebar jurang ketidaksetaraan.
Integrasi antara SDGs 1 dan SDGs 11, adalah jalan terbaik untuk memastikan, pengentasan kemiskinan tidak hanya menghitung berapa banyak orang yang keluar dari garis kemiskinan.
Juga menjamin mereka hidup dalam lingkungan yang aman, sehat, dan bermartabat.
Sudah saatnya perkotaan dipandang bukan sekadar pusat pertumbuhan ekonomi. Melainkan juga pusat kesejahteraan sosial.
Melalui transportasi publik yang efisien, perumahan layak yang terjangkau, serta infrastruktur ramah lingkungan, kota bisa menjadi mesin pengentasan kemiskinan.
Setiap kebijakan kota yang berbasis data dan inklusif, adalah investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia.
Mari kita wujudkan kota yang tidak hanya indah di mata turis atau investor, tapi juga ramah bagi warganya, terutama mereka yang paling rentan.
Dengan begitu, kita bukan hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan. Juga memastikan bahwa, kota menjadi ruang hidup yang bermakna bagi semua.***
*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari adalah Statistisi di BPS